Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi, Sosial dan Politik
DI BALIK gemerlap angka produksi dan potensi ekonomi yang begitu besar, tambang batubara di Jambi menyimpan kisah kelam tentang tata kelola sumber daya alam yang jauh dari ideal. Provinsi ini seolah kaya di atas kertas, tapi bocor di lapangan. Di setiap lapisan birokrasi, dari izin tambang, penentuan kuota produksi, hingga pembayaran royalti, terselip jaringan kepentingan yang menggurita dan sulit disentuh. Inilah wajah telanjang mafia tambang batubara — aktor-aktor yang mengeruk kekayaan bumi Jambi tanpa tanggung jawab sosial dan lingkungan yang sepadan.
Baca Juga: Jangan Ragukan Saran Usman Ermulan, Pucuk Dicinta Ulam Pun Tiba
Jambi memiliki cadangan batubara sekitar 1,68 miliar ton, menjadikannya salah satu daerah penghasil batubara terbesar di Sumatera. Cadangan itu tersebar di Kabupaten Sarolangun, Batanghari, Tebo, dan Bungo, dengan infrastruktur tambang yang terus tumbuh. Data Dinas ESDM mencatat 94 perusahaan tambang batubara masih aktif, dan 51 di antaranya memegang izin resmi (IUP Operasi Produksi dan PKP2B). Namun, di balik legalitas administratif itu, banyak perusahaan yang beroperasi tanpa memenuhi kewajiban reklamasi lahan, tanpa laporan transparan soal produksi, bahkan tanpa kontribusi pajak dan royalti yang semestinya.
Masalah terbesar justru terjadi pada hulu: proses penerbitan izin tambang (IUP). Selama bertahun-tahun, penerbitan izin dilakukan secara tumpang tindih antara pemerintah provinsi dan pusat. Banyak izin yang diberikan tanpa verifikasi lingkungan yang memadai, sementara tumpang tindih lahan antara perusahaan besar dan tambang rakyat terus terjadi. Celah hukum ini dimanfaatkan oleh oknum pejabat dan pengusaha untuk melakukan praktik jual-beli izin atau “izin terbang”—perusahaan yang hanya memegang dokumen, tapi tidak pernah benar-benar menambang. IUP semacam itu sering dijadikan alat spekulasi, dijual kembali ke investor lain, atau digunakan sebagai dasar penguasaan lahan di luar mekanisme resmi.
Baca Juga: Bupati Fadhil Berikan Fasilitas ke Investor asal Singapura
Kekacauan di level izin berlanjut ke tahap produksi. Target produksi batubara Jambi tahun 2024 ditetapkan sebesar 38 juta ton, tetapi realisasinya hanya sekitar 19 juta ton atau separuh dari target. Penurunan ini bukan sekadar soal cuaca atau logistik, melainkan juga adanya indikasi manipulasi data produksi. Banyak perusahaan diduga melaporkan produksi lebih rendah dari realitas lapangan untuk mengurangi beban royalti. Bahkan, sebagian batubara yang keluar dari tambang tidak tercatat secara resmi karena jalur distribusi ilegal yang melibatkan pengusaha lokal dan oknum aparat di lapangan.
Jalur transportasi menjadi simpul penting dalam jaringan mafia tambang. Jalur darat yang menghubungkan area tambang ke pelabuhan di Sungai Batanghari seringkali menjadi arena konflik. Truk-truk batubara berkapasitas besar melintas di jalan provinsi dan kabupaten yang tidak didesain untuk beban berat, menyebabkan kerusakan parah dan kecelakaan berulang. Ketika masyarakat menuntut solusi, pemerintah daerah kerap terjepit di antara tekanan sosial dan tekanan politik dari kelompok usaha tambang. Sementara itu, janji pembangunan jalan khusus batubara yang diharapkan menjadi solusi justru berjalan lambat karena tarik menarik kepentingan investasi dan regulasi.
Baca Juga: Al Haris Ingatkan Para Sopir Truk Batu Bara Tertib dan Disiplin
Dari sisi penerimaan negara, kebocoran pun tidak kalah besar. Tunggakan royalti dan iuran tetap dari perusahaan tambang di Jambi pernah mencapai Rp132 miliar, dan hingga kini belum sepenuhnya tertagih. Padahal, royalti adalah tulang punggung penerimaan daerah dari sektor ini. Pemerintah pusat sebenarnya telah memperketat aturan melalui PP Nomor 18 Tahun 2025, yang menetapkan tarif PNBP (royalti) progresif antara 15% hingga 28% sesuai harga batubara acuan (HBA). Namun, kebijakan ini dihadapkan pada kenyataan lemahnya pengawasan lapangan dan praktik kolusi antara pelaku usaha dan aparat pengawas.
Lebih jauh lagi, aspek lingkungan nyaris menjadi korban utama. Kementerian ESDM mencatat bahwa 190 perusahaan tambang di Indonesia dibekukan operasinya karena tidak menempatkan jaminan reklamasi, dan 11 di antaranya berasal dari Jambi. Nama-nama seperti PT Anugrah Mining Persada, PT Batanghari Energi Prima, dan PT Batu Hitam Sukses menjadi contoh bagaimana banyak perusahaan menambang tanpa niat memulihkan kerusakan alam yang ditimbulkannya. Lubang-lubang tambang dibiarkan menganga, mencemari air dan tanah, serta mengancam keselamatan masyarakat sekitar.
Masalah reklamasi ini adalah wajah lain dari lemahnya integritas. Ketika izin diberikan tanpa evaluasi ketat, ketika jaminan reklamasi tidak diawasi, dan ketika pengusaha bisa lolos tanpa sanksi, maka sistem tambang hanya menjadi ladang rente. Pemerintah daerah pun seringkali tidak berdaya menghadapi perusahaan besar yang memiliki koneksi politik dan ekonomi kuat. Dalam konteks inilah, istilah “mafia tambang” bukanlah tuduhan kosong, melainkan realitas struktural yang dibangun di atas kompromi, ketergantungan, dan pengabaian hukum.
Tak berhenti di situ, mafia tambang juga menembus jalur kebijakan dan regulasi. Penentuan kuota produksi, penunjukan pelabuhan, hingga izin ekspor sering kali disesuaikan dengan kepentingan kelompok tertentu. Lobi-lobi di tingkat pusat dan daerah berlangsung senyap namun menentukan arah kebijakan energi. Ironisnya, ketika harga batubara dunia naik, keuntungan luar biasa justru mengalir ke kantong swasta, bukan kas negara. Sementara itu, masyarakat sekitar tambang hanya mendapat debu, jalan rusak, dan air yang tercemar.
Kisah batubara Jambi adalah potret miniatur bagaimana sumber daya alam dikuasai oleh segelintir orang, sementara tanggung jawab sosial dan ekologis diabaikan. Selama sistem izin masih bisa dinegosiasikan, pengawasan bisa “dibicarakan”, dan sanksi bisa ditunda, maka tambang batubara akan tetap menjadi sumber kekayaan bagi segelintir orang dan sumber penderitaan bagi banyak lainnya.
Jambi memang kaya batubara, tapi kekayaannya tidak jatuh ke tangan rakyat. Ia mengalir lewat celah kebijakan, melalui jaringan pengusaha dan oknum yang bermain rapi dari balik meja. Hingga hari ini, batubara Jambi tetap hitam — bukan hanya warnanya, tapi juga caranya dikelola. Dan selama hukum masih tumpul ke atas tapi tajam ke bawah, mafia tambang akan tetap beroperasi tanpa takut, di tanah yang kaya namun ditinggalkan oleh keadilan. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com