Al-‘Ashr

| Editor: Ramadhani
Al-‘Ashr
Saiful Maarif. (Koleksi pribadi)



DALAM khutbah salat Jumat di Masjid Istiqlal tepat di penghujung tahun (31/12/2021), imbauan khatib pada seluruh jamaah akan pentingnya renungan waktu terasa menemukan momentum dengan tepat.

Khatib tersebut adalah Dr. KH Marsudi Syuhud. Materi khutbahnya tentang imbauan untuk melakukan perenungan atas setahun perjalanan waktu yang ditempuh sekaligus perencanaan waktu berikutnya terasa begitu mengena dan kontekstual menjelang malam pergantian tahun.

Dengan mengangkat QS Al ‘Ashr (Masa) sebagai titik berangkat khutbahnya, khatib dengan mengalir dan dalam mengingatkan pada jamaah dan khatib sendiri untuk berupaya maksimal menghargai waktu, baik yang lewat ataupun yang akan datang.

Materi khutbah mengingatkan seringnya manusia terbuai oleh waktu, menyia-nyiakan waktu, dan tidak berbuat yang terbaik untuk memanfaatkannya.

Dalam simpulan sederhana, khutbah tersebut mengingatkan pada pentingnya manajemen waktu. Menukil berbagai sumber relevan, khatib mengingatkan betapa seringnya kita terbuai oleh waktu.

Seolah kita telah mengerjakan hal positif untuk diri sendiri, orang lain, bangsa, dan negara, namun nyatanya tidak. Di titik kerugian demikian, sesungguhnya waktu dan kesempatan baik telah dicuri dan menghilang.

Bagaimana hal tersebut bisa terjadi, siapa pencurinya? Mengapa seringkali kita terbiasa membuang waktu percuma dan merasa tidak berhasil menghasilkan sesuatu yang berharga di dalamnya?

Manajemen Mindset

Waktu dan upaya mengelolanya adalah sebagaimana hidangan makan sehari-hari yang merupakan perkara rutinitas yang kita kelola tiap saat, berkala, dan karenanya tangible.

Dengan kondisi demikian, ihwal mengelola waktu agar berdaya guna dan bermanfaat adalah perkara mindset. David Kadavy (Mind Management, Not Time Management, 2020) bahkan menyebut pengelolaan waktu sebagai perkara pengelolaan cara berpikir.

Singkatnya, motivasi untuk berbuat terbaik adalah perkara cara berpikir dalam diri. Perubahan menuju ke kondisi yang lebih baik terutama sekali dimulai dari cara berpikir. Dalam konteks birokrasi, itulah kurang lebih yang menjadi dasar Revolusi Mental yang digelorakan Presiden Joko Widodo.

Dalam membangun semangat perubahan cara berpikir tersebut, gairah (passion) dan ketekunan (perseverance) adalah bagian penting dari upaya untuk mengisi dan menjalani rutinitas.

Dua hal ini oleh Angela Duckworth (Grit, 2016) disebut sebagai grit, sebuah kegairahan untuk terus berupaya dengan penuh semangat positif dan gelora ketekunan.

Dalam bukunya, Duckworth menyatakan bahwa kunci keberhasilan usaha seseorang bukan (terutama) terletak pada kejeniusan orang tersebut, melainkan pada kombinasi unik antara gairah dan ketekunan dalam jangka panjang.

Grit, passion, dan perseverance tentu saja diperlukan bukan hanya untuk kepentingan personal dan pengembangan diri, namun juga kepentingan organisasi.

Hanya saja, proses dan tahapan yang dilaluinya membutuhkan upaya lebih lanjut. Nilai-nilai positif tersebut, sebagaimana banyak disuarakan para pemikir dan ahli pengembangan diri serta penulis how to¸ tetap membutuhkan disiplin diri yang kuat untuk mewujudkan apa yang menjadi target diri.

Dalam konteks demikian, Robin Sharma (The 5am Club, Own Your Morning, Elevate Your Life, 2018), penulis terkemuka dunia dalam bidang leadership dan pengembangan diri, memberi tips yang sangat “Islami”.

Betapa tidak, Robin Sharma dalam bukunya menekankan pentingnya menghargai waktu dengan memulai disiplin diri dari jam 5 pagi. Bangun pagi dan mempraktikkan apa yang disebutnya sebagai formula 20/20/20 akan sangat bermanfaat untuk disiplin diri dalam melewati rutinitas dan kesehatan.

Bangun pagi dan mempersiapkan diri dengan matang pada dasarnya adalah menghindari malam yang terbuang percuma dengan begadang yang tidak perlu dan bangun pagi untuk kesegaran diri dan pikiran.

Islam bukan hanya mengajarkan bangun pagi untuk kesegaran diri dan pikiran. Islam bukan hanya mengajarkan tentang perlunya bangun pagi untuk mendirikan salat Subuh sesuai waktu, namun juga perlunya menyisihkan waktu tersendiri pada sepertiga malam untuk bermunajat dan tafakkur kepada Allah SWT. Jadi, ide Sharma bukanlah sesuatu yang bersifat baru bagi konsep ibadah, kebiasaan, dan praktik baik dalam Islam.

Waktu dan Disrupsi

Sesungguhnya, dalam tataran lebih jauh, disiplin diri sangat diperlukan dalam kontestasi personal dan lingkungan kerja. Dalam laman digital resminya, lembaga McKinsey (2021) mencatat bahwa keterampilan dan kompetensi yang diperlukan untuk kontestasi personal dan lingkungan kerja berkembang dengan cepat dan memerlukan perhatian dan fokus tinggi.

Dalam konstelasi kompetensi mengelola birokrasi, misalnya, hal demikian menjadi keharusan karena di tengah disrupsi teknologi informasi dan berbagai perkembangan lainnya, konteks pekerjaan dan kompetensi yang dibutuhkan di dalamnya makin didekatkan dengan adaptasi dan transformasi teknologi digital dan artificial intelligence (kecerdasan buatan).

Dalam catatan McKinsey, terdapat tiga hal mendasar yang dibutuhkan agar mampu berkembang dalam kondisi penuh tantangan digital dan rancang bangun otomasi tersebut.

Pertama, kompetensi dan kemampuan diri untuk memberi nilai tambah atas sistem otomasi dan perangkat pintar (intelligent machines). Dalam pemahaman demikian, individu diharapkan tetap mampu berkontribusi dan memberi makna yang lebih jauh.

Kedua, tetap berperan dalam lingkungan digital yang memungkinkan individu menjadi “tuan” atas disrupsi teknologi digital dan perkembangan lainnya.

Ketiga, kesediaan dan kemampuan diri untuk terus beradaptasi terhadap kesempatan dan cara-cara baru sebagai buah dari disrupsi dan perkembangan yang demikian cepat.

Dalam perspektif demikian, jika gagal dalam memenuhi indikasi kompetensi yang dijabarkan oleh McKinsey, maka peluang untuk maju dan memberikan kontribusi dalam kontestasi tersebut dengan sendirinya akan menyempit.

Peningkatan diri dan kompetensi yang dibutuhkan di dalamnya, sebagaimana peringatan McKinsey, menjadi kunci penting untuk menghadapi beragam tantangan tersebut. Lagi-lagi, memanfaatkan waktu menjadi hal yang sangat penting untuk dijalankan.

Dengan khutbah yang sederhana namun dengan pesan yang demikian kuat, sebagaimana keyakinan para pemikir di atas, Kiai Marsudi Syuhud sejatinya mengajak kita semua untuk berbuat yang terbaik dengan memanfaatkan waktu yang tersedia dan perlunya muhasabah atas perjalanan yang dilalui.

Kita tahu, sebuah hadis masyhur yang diriwayatkan Imam Nasai dan Baihaqi telah mengingatkan pentingnya menghargai waktu dan kesempatan yang ada.

"Jagalah lima perkara sebelum (datang) lima perkara (lainnya). Mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu."

Hadis demikian sejalan dengan apa yang dinyatakan salah satu Kaisar Roma Marcus Aurelius, meski dengan semangat yang berbeda.

Dikatakan olehnya, “jangan hidup seolah-olah Anda bakal hidup seribu tahun lagi. Kematian mengintai Anda. Selagi Anda masih hidup, mumpung Anda masih ada di muka bumi ini, berjuanglah untuk menjadi orang hebat sejati.”

Saiful Maarif, Asesor SDM Aparatur Kementerian Agama

Editor: Ramadhani

Baca Juga: Menuju Pendidikan Islam Transformatif

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya