Balada Si Budi...
Inilah Balada si Budi, seorang anak yang dalam keadaan apapun juga, selalu penuh semangat. Si Budi juga senantiasa sabar dan tawakal, meski mungkin di mata kebanyakan orang sikap itu lebih merupakan kebodohannya ketimbang kearifannya.
Si Budi suci benar hatinya. Dia selalu berbaik sangka kepada siapa pun, bahkan kepada orang yang sengaja melecehkan atau menghinanya. Segala cercaan tak pernah dipandangnya sebagai makian. Hatinya memang sebersih salju dan seputih sutra.
Tubuhnya sehat wal afiat. Tak ada sesuatu yang kurang dari fisiknya, bahkan untuk anak rata-rata seumurannya, Si Budi sedikit lebih tinggi dan lebih besar. Ganteng pula. Dari segi ini dia tumbuh sebagai anak yang sempurna.
Hanya sayang beribu sayang, dia memiliki kelemahan mendasar sebagai anak manusia : otaknya bukan saja tidak sempurna, melainkan juga kemampuan berpikiranya di bawah rata-rata manusia normal sebayanya. Hal ini membuat pikiran Si Budi teramat sangat lambat. Dia sulit sekali memahami sesuatu. Kalau pun akhirnya dia mampu menyerap hal-hal sederhana, lumayan membutuhkan waktu lama.
Taklah mengherankan, jika si Budi sudah tiga kali berturut-turut tidak naik kelas. Upaya orang tuanya yang tak kenal lelah membantu Si Budi, sama sekali
tidak memberikan hasil apapun.
Kendati sudah dibantu dengan berbagai cara, dari pendekatan psikologi, medis, berbagai ritual adat dan agama, tak berbuah sama sekali. Pikiran Budi masih tidak sesuai dengan umurnya. Tanpa bermaksud menghina, IQnya termasuk “IQ jongkok.” Dibanding binatang yang cerdas, IQ Si Budi boleh jadi masih tipis di bawahnya.
Itulah sebabnya, jika tahun ini dia tidak naik lagi, si Budi harus dipindahkan ke sekolah khusus anak-anak di bawah kemampuan, alias Sekolah untuk Anak-anak berkebutuhan khusus.
Tak pelak, Si Budi menjadi bahan enjekan kawan-kawannya. Dari ejekan yang cuma iseng belaka, sampai olok-olok yang tak lagi menghargai manusia, sudah rutin diterimanya. Dasar si Budi berhati mulia,
dia tetap tersenyum tanpa sakit hati dihinadinakan seperti apapun.
Pun manakala kawan-kawannya sering menipunya, hati SI Budi sama sekali tak merasa pedih.
Balada si Budi menjadi semakin dramatis dan tragis, saat kawan-kawannya yang sepakat mengelabui dan melecehkan Si Budi.
Mereka ramai-ramai memanggil Budi.
“Kamu tahu kan Budi, kamu itu kalau diterangkan, susah mengerti?” tanya seorang dari kawan-kawannya itu.
Budi menangngguk.
Kawan-kawannya tertawa bersama.
“Itu tandanya kamu anak bodoh. Goblok!!!“ jelas seorang teman lainnya.
Budi cuma diam saja.
“Iya, kamu anak tolol! T O L O L!! Tolol!!!” teriak yang lainnya lagi.
Mereka bertambah riuh tertawa.
Budi masih diam aja.
Tak jelas apaka dia paham, atau tidak. Pastinya, dia sudah terbiasa menghadapi peristiwa itu. Jadi, walaupun mungkin faham, Si Budi tetap tidak merasa direndahkan. Lantaran kenyataannya memang demikian, Si Budi menerimanya dengan tulus.
Matahari bersinar terik. Udara terasa panas menyengat.
“Kamu mau berubah jadi anak yang pintar gak?” tanya anak pertama yang berkata kepada Budi.
Dengan jiwa yang ikhlas, Budi menangguk lagi.”Iya Mau!”
“Begini. Nanti kamu setiap hari, selama tujuh hari berturut-turut, pas matahari lagi bersinar terik di siang hari, kamu harus lari mengeliligi lapangan basket 10 kali, tanpa istirahat, dan tanpa pake pakian apa-apa, kecuali celana dalam saja, paham kamu?” tegas teman lainnya mengelabui Budi.
Budi kembali mengangguk.
“Kamu mau gak?” bentak anak lainnya.
“Ya ya ya...” jawab Budi penuh semangat.
Dia tak paham itu cuma tipu daya untuk menyakitinya.
Semua anak tertawa terpingkal-pingkal.
“Selain itu, selama tujuh hari itu, setiap maghrib kamu harus sholat tepat waktu! Ngerti kamu?”
Si Budi cengar cengir. “Seminggu harus shalat maghrib, sama dengan harus lari ya?” tanyanya.
Kawan-kawannya serentak tertawa dan menertawakannya.
“Iya betul!” tandas seorang temannya.”Tumben Si Budi rada gak bego!”
Si Budi cuma tersenyum. Mungkin baginya teman-temannya dianggap mau menghiburnya.
Temannya yang tadi melanjutkan, “Selain itu, waktu malam sebelum tidur, suruh ibumu menaruh tangannya di kepala kamu, minta dia doakan agar cita-cita kamu jadi anak pintar terkabul....”
Sekita meledak tawa para temannya.
Dan Budi pun bercerita peristiwa itu kepada ibunya.
Sang ibu merasa tertusuk hatinya karena tahu itu cuma anjuran yang menghina dari kawan - kawan Si Budi,
yang sama sekali tidak dimengerti Si Budi. Betapapun anaknya “sangat terbelakang” hati seorang ibu mana yang takan teriris jika anaknya diperlakukan seperti itu. Ibu Si Budi juga tertusuk hatinya. Untungnya cinta seorang ibu sejati kepada anaknya tak bertepi. Demi cintanya kepada buah hatinya, Ibu si Budi tetap menerima keadaan ini dengan legowo.
Sang Ibu cuma berpikir, apakah akan menjelaskan yang sebenarnya kepada Si Budi? Cinta seorang ibu lebih dalam dari lautan. Kasih sayang seorang ibu lebih tinggi dari langit ketujuh.
Sang Ibu akhirnya mengikuti keinginan saja Si Budi, tanpa menjelaskan maksud teman-temannya untuk menghina dia.
Setiap hari , di tengah siang bolong, ibunya menemani Budi dengan cuma memakai celana dalam berkeliling lapangan basket. Keringat
deras mengalir dari seluruh tubuh Budi.
Nafasnya terenggal-enggal. Hanya doronganu
tekad dan ketulusan yang membuat Budi mampu menyelesaikan setiap hari sepuluh putaran . Dalam seminggu dilakukannya hal serupa, sesuai anjuran temen-temennya.
Setiap hari kawan-kawan terpingkal-pingkal menyaksikan ulah Budi, sembari sering mereka melontarkan hinaan kepada Budi.
Malam setelah berlari keliling lapangan basket, Si Budi selalu kelelahan. Toh, tekadnya yang kuat membuat dia selalu mengikuti “titah” kawan-kawan untuk sholat maghrib. betapa pun lelah dirinya.
Setelah tak lupa meminta ibunya meletakan tangannya di kening, Si Budi
baru dapat tidur nyenyak. Sang Ibu pun dengan hati ikhlas senantiasa
berdoa memohon kepada Tuhan
agar Budi diberikan ketabahan.
Diberikan keikhlasan.
Diberikan kemampuan berpikir normal. Diberikan kecerdasan sebagai manusia. Doa paling tulus dari hati yang paling dalam seorang Ibu tiap hari dia utarakannya. Selama berdoa itu, selalu dan selalu saja meneteskan air mata Ibu Si Budi.
Sesaat selesai dulu menikah, dia meminta kepada Sang Pencipta agar diberikan anak. Dan Tuhan memang memberikannya anak. Hanya saja tanpa disangka dan diduga, apalagi diharapkan, anak yang dititipkan oleh Allah adalah anak seperti Si Budi yang kemampuan berpikirnya sangat rendah, kalau tidak mau dibilang tidak ada.
Oh Gusti! Oh Sang Pencipta! Betapa beratnya beban ibu si Budi.
Biar begitu dia tak pernah menyesali titipan Tuhan seperti itu. Justru Ibu Budi memandang dia memperoleh kehormatan dari Tuhan lantaran diberikan kesempatan merawat anak seperti Si Budi, sedangkan orang lain cuma segelintir yang juga diberikan kehormatan semacam itu. Akhirnya Ibu Si Budi malah berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan diberikan anak seperti Si Budi.
Pada hari ketujuh, setelah acara lari keliling lapangan basket hanya memakai celana dalam, setelah ibunya selesai merapalkan doa-doa dengan meletakan tangan di kening si Budi,
Ibunya menarik selimut untuk menutup sebagian badan Si Budi.
Antara antara sadar dan tidak sadar, Si Budi tersenyum. Tubuhnya yang keletihan membuat dia demam. Dari luar suhunya terasa panas, tetapi sebaliknya si Budi merasa kedinginan. Butir-butir keringat muncul dari wajah dan sekujur tubuhnya. Si Budi seperti sekarat.
Si Budi berada dalam kondisi antara masih sadar dan sudah tidak sadar. Pada saat itu si Budi melihat ada dua malaikat menghampiri nya, lalu mengajak si Budi terbang ke atas langit.
Di atas awan kedua malaikat mengajarkan si Budi semua hal. Awalnya si Budi diam saja.
“Mulai sekarang kamu tidak usah ragu. Kamu pasti bisa!” kata salah satu malaikat dalam bahasa komunikasi yang aneh tapi jelas mampu dipahami si Budi.
Setiap pelajaran yang diberikan malaikat, dicoba diulang dan dicerna kembali oleh si Budi. Dan berhasil.
Selalu begitu. Mencoba lagi pelajaran lain, dan berhasil lagi. Walhasil,
semua pelajaran dari kedua malaikat dapat diserap sangat kilat oleh si Budi.
Dua malaikat itu membawa Budi kembali ke tempat tidurnya. Si Budi memandang kepergian kedua malaikat dengan takjub.
Selama seminggu Budi tidak sadarkan diri.
Suhu badannya semakin tinggi,
Tubuhnya semakin mengeluarkan keringat dingin. Si Budi
terlihat menggigil
dan sering mengigau.
Ibu si Budi sedih bukan alang kepalang.
Dokter yang dipanggil, belum dapat menentukan diagnosa apa penyakit si Budi. Berbagai teori dikemukakan untuk menetapkan kemungkinan menemukan penyakit si Budi. Tak ada yang cocok. Mereka geleng-geleng kepala. Jika dalam beberapa hari ke depan masih seperti ini, kata para dokter yang memeriksanya, Si Budi harus diopname.
Si Budi anak berhati baik, berjiwa besar. Dia menerima semua keadaan dirinya dengan sumarah. Pasrah. Tuhan nampaknya menyayanginya.
Di pagi hari ke delapan, mendadak seluruh tubuh Budi kembali sehat. Demamnya seketika hilang. Keringat berhenti mengucur. Budi pun sudah sadar sepenuhnya. Mata Si Budi telah berbinar-binar. Pandangan penuh selisik ke lingkungan. Ibunya belum pernah melihat si Budi sebugar dan bahagia seperti kali ini.
Ibunya menangis lagi, tapi kali ini bukan lantaran sedih dan duka, melainkan menangis bahagia. Budi tersenyum
memeluk ibunya erat-erat
dan langsung mandi. Besokny Si Budi sudah rindu sekolah. Sejak subuh sudah mempersiapkan diri ke sekolah.
Sampai di kelas semua temannya menertawakannya dengan riuh rendah.
Budi seperti biasa cuma tersenyum.
Waktu pelajaran dimulai, guru bertanya mengenai suatu soal pelajaran kepada para murid. Kendati sudah beberapa saat,
tak ada satu pun murid yang mampu menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba Budi mengangkat tangan.
Lagi-lagi kelas riuh dengan tawa.
Guru pun cuma tersenyum, dia paham Budi tak mungkin dapat menjawab,
namun dengan sabar dia tetap mempersilahkan Budi menjawabnya.
Lalu, luar biasa! Si Budi menjawab dengan jelas dan benar. Gurunya tak percaya. Dia menyangka itu kebetulan belaka. Mana mungkin si Budi dapat menjawab soal yang teman-teman lainnya saja tak manpu menjawabnya. Pastilah kebetulan, pikirnya.
Guru itu mengajukan lagi pertanyaan. Aneh bin ajaib, setiap pertanyaan berikutnya dijawab lagi dengan benar oleh si Budi.
Semua murid terpana
seperti menyaksikan sesuatu yang tak mungkin tetapi menjadi kenyataan. Suatu ajaiban.
Hari-hari berikutnya Budi bukan hanya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan guru, tapi mampu juga menjelaskan semua soal dengan baik.
Sejak itu Si Budi telah berubah drastis. Dia telah bermetaforsis menjadi manusia super. Kini
si Budi telah begitu cerdas. Begitu pandai.Kemampuan berpikirnya jauh di atas anak-anak normal seumurnya.
Para psikolog dan dokter yang dikerahkan memeriksanya, kehabisan teori untuk menjelaskan fenomena yang dialami si Budi.
Tentu
, hari ini tak ada lagi kawan-kawannya yang berani mengejeknya. Tak hanya itu, oleh sekolahnya, setahun si Budi diminta loncat tiga kelas. Itupun si Budi selalu menjadi juara kelas.
Kawan-kawannya yang dulu mengolok-olok dan menyuruhnya lari di siang bolong cuma memakai celana dalam, lantas sholat maghrib dan meminta tangan Ibu si Budi diletakan di kepala Budi untuk berdoa,
berbalik bingung tak paham apa yang telah terjadi. Mereka tak percaya permintaan olok-olok dapat menjadi kenyataan.
Penasaran, akhirnya sebagian dari mereka pun mencoba sendiri melakukan saran olok-olok yang pernah mereka lontarkan kepada Si Budi. Siapa tahu dapat menjadi sepintar seperti si Budi. Mengalami keajaiban sama serti si Budi. Tak ada satu pun yang berhasil.
Tak ada satu pun yang sukses. Tak ada satupun yang mampu menandingi kepintaran dan kehebatan Budi. Jangankan mendekati kecerdasarn si Budi, mendekati kecerdasan normal pun tidak.
Pembaca, Anda dapat salam dari Si Budi.***
WINA ARMADA SUKARDI, penulis,
wartawan senior dan advokat._
Baca Juga: Mutasi Polri, Kapolda dan Pati Dikuasai Akpol 88 Sementara Angkatan 91 Bertabur Bintang..
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com