Oleh: Dr. Asnelly Ridha Daulay
SUNGAI Batanghari telah menjadi ikon Jambi, selalu dihubungkan dengan Provinsi Jambi meskipun batang air ini membentang di lima provinsi. Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah sungai Batanghari berada di Provinsi Jambi.
Baca Juga: Diduga Sungai Pengabuan Tercemar, DPR RI Kunjungi Lokasi
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 04/PRT/M/2015 tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai, Wilayah Sungai (WS) Batanghari tersebar di beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat (wilayah mayoritas) serta Provinsi Bengkulu, Sumatera Selatan dan Riau (wilayah yang minoritas luasannya).
Kondisi sungai Batanghari tidak sedang baik-baik saja.
Baca Juga: Air Sungai Batang Merao Kerinci Keruh dan Tercemar Akibat Penambangan Galian C Ilegal
Berdasarkan data yang dirilis Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021, Indeks Kualitas Air di Provinsi Jambi (yang sampelnya diambil di berbagai titik di Sungai Batanghari) masuk kategori buruk, yaitu di poin 48,96. Nilai tersebut tidak mengagetkan, pemanfaatan sungai Batanghari saat ini memang tidak terkelola dengan baik. Sungai ini terbuka bagi siapa saja (open access), tanpa ada pihak yang tegas menjaga kelestariannya.
Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi terdapat beberapa parameter air yang melebihi baku mutu air, yaitu TDS, TSS, BOD, COD, Total Posfat, Faecal Coli, Total Coliform, Zinc, dan Amoniak. Kelebihan unsur tersebut di air sungai merupakan indikasi pencemaran air akibat adanya sampah rumah tangga, penggunaan pupuk yang berlebihan, limbah industri, erosi tanah, kekeruhan karena aktivitas pertambangan dan lain-lain.
Baca Juga: Kembalikan Ekosistem Sungai, Pemprov Jambi Canangkan Gerakan Sungai Batanghari Bersih
Pencanangan Gerakan Sungai Batanghari Bersih oleh Gubernur Jambi pada Maret 2022 lalu merupakan bentuk atensi kepala daerah terhadap kondisi sungai yang sakit dan perlu dipulihkan. Gubernur Jambi merupakan gubernur pertama di Sumatera, mungkin pertama di Indonesia yang memerhatikan secara serius soal sungai (dikala banyak gubernur lebih peduli terhadap proyek pembangunan di daratan).
Pertambangan tanpa izin emas, pasir dan batu di sepanjang sungai, rumah-rumah yang memunggungi sungai dan menjadikannya tempat pembuangan sampah, sempadan sungai yang kritis, atau yang ditanami sawit hingga ke bibir sungai merupakan pelanggaran-pelanggaran yang dibiarkan sekian lama dan kini sulit untuk dikendalikan.
Muncul optimisme dari gerakan Batanghari Bersih ini, namun tanpa dukungan Pemerintah Kabupaten dan Kota yang wilayahnya dialiri Batanghari, ia akan redup. Apakah dukungan ini sudah ada? Wallahualam.
Sebagian besar Dinas Lingkungan Hidup yang berada di kabupaten dan kota tidak memiliki program/kegiatan terakit pemulihan sungai, plus tengah menghadapi keterbatasan penganggaran. Mereka belum dapat menjadi motor penggerak kegiatan pemulihan sungai.
Tanggung jawab pemulihan sungai Batanghari tentu tidak berada di Dinas Lingkungan Hidup saja, sebab kerusakan yang terjadi saat ini disebabkan oleh aktivitas pembangunan yang sangat luas, mulai dari pertambangan, perkebunan, pertanian pangan, industri dan geliat sosial ekonomi masyarakat. Instansi yang menangani sektor-sektor tersebut harus ikut memikirkan langkah-langkah pengendalian kerusakan sungai dan natur.
Momentum revisi Rencana Tata Ruang/Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi yang sedang berjalan diharapkan dapat menjadi instrumen efektif untuk mengendalikan dan menata pemanfaatan ruang di sepanjang sungai. Salah satu yang ditunggu dari revisi RTRW ini adalah munculnya Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di daerah yang pertambangan ilegal emas, pasir dan batu sangat marak saat ini.
WPR yang ditindaklanjuti dengan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) akan membuka kesempatan masyarakat umum melakukan aktivitas pertambangan legal dan mereka mendapat pembinaan dari pemerintah.
Reklamasi atau pemulihan lahan bekas tambang di WPR nantinya akan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Hal ini tentu lebih baik dibanding kondisi saat ini dimana semua pihak lepas tangan untuk memperbaiki areal yang rusak.
Pengelolaan sungai sejatinya direncanakan dengan sinergi dan keterpaduan antarwilayah, sektor dan generasi. Pendekatan pembangunan ekoregion yang terintegrasi antara aspek sosial ekonomi dan manajemen pengelolaan sumber daya alam, dan konservasi penting dilakukan di wilayah kabupaten/kota yang dilalui sungai Batanghari karena mereka berada di bentangan geografis sama, dengan kemiripan iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi masyarakatnya dengan alam.
Jika Gubernur bisa menjadi ‘komandan’ untuk menerapkan konsep pembangunan ecoregion, tentu Batanghari bersih dapat lebih cepat jadi kenyataan.
Mendorong pelibatan masyarakat untuk kembali mencintai sungai juga sangat perlu. Di masa lalu ikatan batin masyarakat dengan sungai sangat kuat. Sungai bukan saja sebagai tempat mandi, tapi juga untuk bermain dan bercengkrama dengan teman sebaya, mencari ikan, jalur transportasi serta lokasi ritual keagamaan dan budaya.
Berbeda dengan hotel atau villa yang memberi tarif tertinggi untuk kamar yang menghadap sungai/danau/laut, rumah di pinggir sungai tidak menganggap viu sungai sebagai sesuatu yang bernilai tinggi. Masyarakat melakukan hal sebaliknya; membangun dapur dan kakus di bagian rumah yang terdekat ke sungai agar mudah membuang limbah ke sana.
Perlakuan tak pantas terhadap sungai sudah waktunya dihentikan. Mengubah cara pikir masyarakat, khususnya yang berdomisili di bantaran sungai perlu kerja maraton dan berkelanjutan. Dukungan lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah dan perangkat desa sangat dibutuhkan. Pencapaian Batanghari Bersih tidak bisa instan. Agar program ini berhasil, konsep kerjanya harus jelas, semua pihak terlibat dan ada dukungan sumberdaya yang kuat.
(Penulis merupakan pemerhati masalah lingkungan dan Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLH Provinsi Jambi).
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com