Puluhan tahun lalu, saya pernah ngobrol dengan Sukmawati di Taman Ismail Marzuki. Dari Sukma ada sedikit gambaran mengenai pembawaan asli Megawati yang sebenarnya pendiam.
“Mbak jarang bicara. Makanya kami adik-adiknya sempat rasanin Mbak, khawatir bagaimana nanti kalau memimpin partai,” kata Sukma.
Baca Juga: Ini Isi Pidato Perdana Ketua DPR Puan Maharani
Waktu itu Megawati memang belum menjadi Ketua Umum PDI-P. Belum lama terjun ke dunia politik.
Calon trah Soekarno
Baca Juga: DPD RI Puji Presiden Jokowi Resmikan Monumen Fatmawati
Video pendek yang memperlihatkan Megawati murka kemarin saya ulang-ulang putar. Versi panjangnya ditayangkan berkali-kali di semua stasiun televisi. Saya mencoba menyelami mengapa sosok pendiam itu sampai meledak.
Dalam diskusi kecil di WAG komunitas Pemimpin Redaksi Indonesia, saya mengutarakan beberapa hal. Pilpres 2024 memang merupakan kesempatan (mungkin terakhir) bagi PDI-P untuk menguji kembali calonnya dari Trah Soekarno.
Baca Juga: PDI Perjuangan Berpeluang Menangkan Pemilu Tiga Kali Beruntun
Benar, PDI-P telah berhasil mengantarkan kader PDI-P yaitu Jokowi menjadi presiden, namun semua orang tahu, itu bukanlah yang sesungguhnya PDI-P maui. Jokowi bukan pendiri dan Trah Soekarno. Mbak Mega sudah merasakan kesulitan "mengendalikan" kader yang bukan Trah Soekarno yang menjadi Presiden RI.
Jokowi sendiri pun dalam pengakuannya baru-baru ini mengkonfirmasi dia kerap berbuat "seperti anak nakal" tidak menurut Ibu Megawati. Ada juga persoalan Ganjar Pranowo yang mengganjal. Dan, banyak persoalan lagi.
Sejak reformasi, memang baru Partai Demokrat yang berhasil mengantar calon sendiri dari trah pendiri parpol menjadi presiden RI.
Persoalan internal
DR Acep Iwan Saidi, Pakar Semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang biasa membaca ekspresi orang memperkuat analisis saya. " Ini ekspresi langka dari Bu Mega, agak serius, eksplisit, sensi. Mega biasanya bersikap sebaliknya dari ini. Padahal, pilpres dan masa pencalonan juga kan relatif masih lama. Mungkin perebutan di internal PDI-P tajam membuat Mega sedang gelisah karena Puan terancam," papar Asep.
Ilmu Semiotika berasal dari bahasa Yunani “Semeion”, yang berarti tanda. Ilmu yang mempelajari tanda (sign). Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Dan tanda tidak terbatas pada benda (Zoest, 1993:18).
Anda mungkin bisa berbohong lewat kata-kata, tapi tidak bisa dengan ekspresi wajah. Pasalnya, ekspresi wajah adalah bentuk komunikasi nonverbal yang bisa muncul begitu saja tanpa mungkin anda kontrol sebelumnya.Ekspresi wajah yang digunakan oleh manusia memiliki sejuta makna dan mungkin berbeda bila diaplikasikan dalam konteks yang berbeda pula.
Rentang makna dari ekspresi tersebut bisa sangat sederhana (misalnya terkejut) atau mencerminkan situasi yang lebih kompleks (seperti tidak peduli). Ekspresi wajah yang umumnya Anda kenal, misalnya marah, sedih, senang, kaget, maupun jijik. Namun, secara lebih rinci, ada ekspresi lain yang sifatnya tersembunyi dan menyimpan arti emosi yang lebih beragam.
Sayang sekali. Mbak Mega mungkin lebih tepat "mereplay" kejadian hampir dua puluh tahun lalu ketika berkonflik dengan SBY. Kemarahan berlebihan kepada Ganjar Pranowo bisa menjadi bumerang baginya dan PDI-P: justru mengantarkan Ganjar ke Istana dan mendudukkannya di kursi Presiden. Persis seperti jalan yang dulu dilalui SBY menjadi Presiden RI.
Pemilihan presiden dalam sistem demokrasi kita adalah wilayah yang sepenuhnya menjadi daulat rakyat. Sedangkan rakyat yang kita tahu "banyak muka" dan suka cepat berubah berempati kepada pihak yang teraniaya, pihak yang tak mendapat keadilan.****
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com