Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi
KLAIM bahwa Pemprov Jambi telah menyalurkan 554 bantuan bedah rumah senilai Rp11 miliar dan terealisasi 100 persen memang tampak seolah-olah sebuah capaian besar. Namun jika ditelisik lebih dalam, klaim tersebut lebih mencerminkan keberhasilan administratif, ketimbang keberhasilan substantif.
Baca Juga: 428 Unit Rumah Dibedah Tahun Ini
Realisasi 100 persen hanya berarti anggaran habis terserap sesuai target kecil yang sejak awal ditentukan pemerintah, bukan bahwa kebutuhan masyarakat benar-benar terpenuhi. Terlebih lagi, sebagian besar program bedah rumah di Jambi sebenarnya ditopang oleh anggaran pusat, seperti BSPS (Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya) dari Kementerian PUPR, yang setiap tahun menyalurkan 1.500–3.000 unit untuk Jambi. Sementara kontribusi provinsi hanya sekitar 500-an unit, jumlah yang relatif kecil dibandingkan kebutuhan riil.
Dari 11.000 lebih rumah tidak layak huni yang diusulkan masyarakat, program provinsi hanya mampu menyentuh sekitar 4 persen, sementara sisanya sangat bergantung pada intervensi pusat ataupun pemerintah kabupaten/kota.
Baca Juga: Dapat Bantuan Program TMMD, Warga Senang Rumahnya Dibedah
Data ini menunjukkan bahwa klaim keberhasilan provinsi sejatinya berdiri di atas kontribusi yang kecil dalam keseluruhan ekosistem penanganan RTLH di Jambi. Ketika angka 100 persen disampaikan tanpa konteks ini, publik dapat tersesat pada persepsi bahwa masalah perumahan rakyat telah tertangani secara komprehensif, padahal faktanya kesenjangan masih sangat besar.
Bantuan rata-rata Rp20 juta per rumah juga memperlihatkan bahwa program ini tidak lebih dari perbaikan minimal yang sekadar menambal kekurangan dasar. Dengan biaya material yang terus naik, angka tersebut tidak cukup untuk memperbaiki pondasi, sanitasi, atap, ventilasi, atau struktur rumah yang benar-benar tidak layak.
Baca Juga: Satgas TMMD Kodim Tanjab Kebut Program Bedah Rumah
Akibatnya, banyak rumah yang dibantu hanya mengalami pembenahan permukaan, bukan peningkatan kualitas hidup yang substantif. Dampaknya, kualitas tempat tinggal penerima tidak mengalami lompatan signifikan, dan kondisi rumah berpotensi kembali memburuk dalam beberapa tahun jika kondisi ekonomi keluarga tidak membaik.
Klaim realisasi penuh juga tak menjamin keseragaman kualitas pekerjaan. Di banyak daerah, keterbatasan pengawasan menyebabkan variasi kualitas dan potensi salah sasaran tetap mungkin terjadi. Dalam konteks ini, penggunaan anggaran sepenuhnya tidak otomatis menjamin efektivitas dan ketepatan penerimaan bantuan.
Lebih jauh, karena kontribusi provinsi relatif kecil dibandingkan intervensi pusat, dampak yang ditimbulkan program ini terhadap pengurangan kemiskinan ekstrem juga tidak signifikan. Tanpa pendekatan yang terintegrasi—mulai dari perbaikan fisik, peningkatan pendapatan keluarga, hingga pemberdayaan ekonomi—bedah rumah provinsi hanya menjadi solusi kosmetik yang tidak mampu memecahkan akar kemiskinan struktural.
Program pusat yang berskala jauh lebih besar pun sering kali mengalami persoalan serupa: perbaikan fisik tidak diikuti perubahan kesejahteraan penerima.
Interpretasi dampaknya cukup jelas: program bedah rumah provinsi berfungsi lebih sebagai tambahan kecil dalam skema besar penanganan RTLH, bukan sebagai pilar utama. Dengan kontribusi yang kecil, dampaknya terhadap pengurangan backlog perumahan maupun peningkatan kualitas hidup masyarakat pun tidak besar.
Karena itu, ketika pemerintah menyebut capaian 100 persen, publik sebaiknya kritis dalam memahami konteksnya. Capaian tersebut lebih menggambarkan bahwa target anggaran kecil berhasil diserap, bukan bahwa ribuan warga yang tinggal di rumah tak layak huni telah terbantu.
Tantangan sesungguhnya masih sangat besar dan jauh dari terselesaikan, sementara strategi provinsi belum menunjukkan kemampuan untuk menjadi lokomotif utama dalam penyelesaian ketimpangan perumahan di Jambi. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com