Editor: Rahmad
M. Fuad Nasar (Sesditjen Bimas Islam)
PADA tahun 2014, salah seorang mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bernama Akhmad Soleh, penyandang disabilitas atau difabel tunanetra semenjak usia 2 tahun menamatkan pendidikan S3 dengan nilai memuaskan.
Dalam sidang terbuka Ujian Promosi Doktornya, saya berkesempatan hadir. Ia adalah doktor kelima tunanetra di Indonesia.
Akhmad Soleh adalah PNS pada Kementerian Agama Kabupaten Bantul. Ia pernah menjadi Guru, Penyuluh Agama Islam di Yogyakarta, Dosen DPK di Universitas Alma Ata Yogyakarta, dan setelah melalui proses yang tidak mudah akhirnya bisa mutasi menjadi dosen di UIN Sunan Kalijaga.
Ia juga aktif sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Daerah Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) DIY, setelah sebelumnya Ketua PPDI DIY selama dua periode.
Setahu saya, Akhmad Soleh, satu-satunya doktor tunanetra, yang melakukan penelitian disertasi tentang aksesibilitas penyandang disabilitas terhadap perguruan tinggi, studi kasus pada empat Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta.
Yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Institut Seni Indonesia (ISI).
Disertasi Akhmad Soleh diterbitkan menjadi buku oleh penerbit LKiS Yogyakarta tahun 2016 dengan diberi Kata Pengantar, antara lain oleh Prof. Dr. Anies R. Baswedan.
Waktu itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta dua mantan Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga, yaitu Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar dan Prof. Dr. H. Musa Asyari.
Pria kelahiran Kudus, 16 Juli 1965 itu termasuk difabel yang bernasib mujur karena berhasil mengelola potensi dirinya di atas rata-rata.
Dalam membaca buku-buku teks, menyiapkan tugas-tugas perkuliahan di kampus hingga menyusun disertasi, menurut penjelasannya dia dibantu oleh istrinya Tutik Alawiyah yang telah memberinya empat putra-putri.
Perjalanan hidup dan riwayat pendidikan Akhmad Soleh menggambarkan kebenaran sebuah ungkapan peribahasa, di mana ada kemauan di situ ada jalan.
Sosok Akhmad Soleh, nama lengkapnya kini Dr. Akhmad Soleh, S.Ag., M.Si, seorang difabel yang gigih, penuh percaya diri serta memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah Maha Pemberi Rezeki.
Dalam menopang keberhasilan pendidikan hingga meraih gelar doktor, Akhmad Soleh tidak melupakan jasa orang-orang yang pernah membantunya di masa lampau atau istilahnya menjadi orang tua asuhnya.
Pengalaman dan perjuangan hidup Akhmad Soleh membuktikan bahwa tidak sedikit mereka yang berkebutuhan khusus memiliki bakat istimewa dan mereka tidak menyerah dengan keadaannya.
Menurut data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2018, jumlah penyandang difabel atau disabilitas di Indonesia berjumlah 30,38 juta jiwa atau 14,2 persen penduduk Indonesia.
Sementara itu data yang dirilis WHO dan Bank Dunia tahun 2011, lebih dari satu milyar orang di seluruh dunia menyandang disabilitas atau 15 persen dari seluruh jumlah penduduk dunia.
Populasi difabel atau penyandang disabilitas di negara kita mengalami kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun.
Hal itu disebabkan beberapa faktor, di antaranya: struktur umur dan harapan hidup penduduk Indonesia yang semakin meningkat, meningkatnya epidemologi kronik degeneratif, tingginya angka kecelakaan, dan bencana alam.
Setiap tanggal 3 Desember masyarakat dunia memperingati Hari Disabilitas Internasional. Istilah penyandang cacat sekarang sudah tidak digunakan lagi.
Pada Konferensi Ketunanetraan Asia di Singapura pada 1981 diselenggarakan oleh International Federation of The Blind (IFB) dan World Council for the Welfare of The Blind (WCWB), istilah diffabled mulai diperkenalkan dan dialihbahasakan menjadi difabel.
Di kalangan LSM, istilah difabel amat cepat populer karena lebih ramah, egaliter, menghargai, dan memancarkan spirit keberpihakan.
Hari Disabilitas Internasional diperingati dalam rangka mengembangkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap difabel.
Kepedulian pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk melindungi martabat, membela hak-hak, serta memperjuangkan kesejahteraan difabel.
Sejalan dengan pesan resolusi PBB ketika mencanangkan Hari Disabilitas Internasional, pemerintah dan semua elemen masyarakat perlu meningkatkan keberpihakan terhadap difabel.
Mereka yang difabel, baik karena bawaan lahir atau karena mengalami musibah, sebetulnya tidak menuntut belas-kasihan, tetapi yang dibutuhkan adalah pengertian dan dihargai sebagai manusia dengan segala kelebihan dan keterbatasannya.
Ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan tidak mentolerir perilaku memandang rendah apalagi mengucilkan difabel.
Namun dalam kenyataan sehari-hari, seperti di dunia kerja, masih banyak pihak yang diskriminatif atau sekurangnya meremehkan kemampuan kerja difabel.
Di sebagian masyarakat masih terdapat persepsi yang tidak memberi suasana kondusif kepada difabel. Bahkan tidak jarang anak yang terlahir difabel dianggap “takdir” yang memalukan.
Dari sudut pandang keimanan, boleh jadi manusia tidak menyukai sesuatu, padahal baik untuk mereka. Tuhan Maha Mengetahui dan manusia takkan mampu menyingkap rahasia Ilahi.
Dasar negara kita Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengandung prinsip perlindungan dan penghargaan terhadap derajat, harkat dan martabat setiap manusia sebagai warga negara tanpa diskriminasi.
Dalam Islam, setiap muslim perlu memahami esensi ajaran agama yang tidak membedakan antara satu manusia dengan manusia lainnya.
Sebuah kesalahan kolektif dan dosa terhadap difabel sekiranya mereka mengalami penderitaan ganda akibat tidak mendapat jaminan, perlindungan dan pemberdayaan yang semestinya dan selayaknya.
Dalam Al-Qur’an ditegaskan, yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. (QS Al-Hujurat [49]: 13) dan sabda Nabi Muhammad Saw, Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk tubuh dan hartamu, tetapi memandang hati dan perbuatanmu. (H.R. Muslim)
Sebuah pertanyaan menarik, mengapa dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak ditemukan keterangan yang menempatkan difabel berhak memperoleh sedekah atau zakat? Al-Qur’an tidak menyebut adanya kewajiban untuk menyantuni orang-orang difabel, tetapi yang ada adalah larangan menyepelekan mereka (QS Abasa [80]: 1 - 4).
Dalam satu riwayat disebut kepedulian Rasulullah dan sahabatnya dalam menyantuni seorang penduduk tunanetra di Madinah, sekalipun berlainan agama.
Hikmahnya kenapa difabel bukan termasuk asnaf penerima zakat, mengandung pesan betapa Islam “tidak mendhuafakan” difabel hanya karena kekurangan fisik, fungsi jasmani atau keterbatasan mental.
Buktinya banyak difabel, terutama difabel bawaan lahir, memiliki bakat, kemampuan dan kelebihan di atas rata-rata orang yang memiliki kondisi fisik lengkap dan normal.
Allah menciptakan setiap manusia dengan menyediakan sumber rezekinya, setiap orang dimudahkan sesuai dengan fungsi dia diciptakan.
Ketika di sekitar kita terdapat difabel yang menjadi peminta-minta lantaran terpaksa keadaan atau dimanfaatkan oleh orang lain sebagai tameng untuk mengemis, sungguh sesuatu yang memilukan dan tidak dapat dibenarkan.
Difabel yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya atau membiayai pendidikan yang bersifat khusus, misalnya Sekolah Luar Biasa (SLB), dia berhak memperoleh santunan, bantuan dan jaminan hidup.
Selain itu, saya mengapresiasi organisasi pengelola zakat punya kepedulian kepada difabel yang kurang mampu, misalnya membiayai pendidikannya, menyediakan modal usaha, atau memberi kesempatan bekerja di lembaga zakat sesuai potensi dan kemampuannya.
Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menulis dalam Kata Pengantar pada buku Akhmad Soleh yang disebut di awal tulisan ini, “Saya kira, jika kita ingin mendorong masyarakat agar menyekolahkan anak mereka setinggi-tingginya, tidak perlulah terlalu berpanjang kalam melalui pidato atau iklan.
Mungkin cukuplah kiranya dihadirkan saja Saudara Akhmad Soleh, kemudian diminta menceritakan pengalaman sekolahnya. Niscayalah kisah dan pengalamannya itu akan memberikan inspirasi bagi banyak orangtua, pelajar, dan mahasiswa.”
Selamat Hari Disabilitas Internasional !
Baca Juga: Panja DPR dan Kemenag RI Sepakati Biaya Haji Rp 35 Juta
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com