Editor: Rahmad
INFOJAMBI.COM - Satu bulan setelah jatuhnya pemerintahan ke Taliban, Afghanistan menghadapi krisis berkepanjangan.
Jutaan orang kelaparan dan terjadi krisis likuiditas secara nasional.
Para ekonom menilai negara tersebut kini harus menanggung penangguhan bantuan dan pembekuan sejumlah aset oleh lembaga donor internasional. Situasi ini, tentu tidak baik.
Para peramu kebijakan di Barat saat ini juga tengah berdiskusi apakah akan terlibat dengan pemerintah baru Afghanistan yang terdiri dari ekstremis Islam garis keras yang mencakup buronan teroris.
Sebelum diambilalih Taliban, 80 persen anggaran pemerintah Afghanistan didanai oleh Amerika Serikat (AS) dan lembaga donor.
Adapun 40 persen produk domestik bruto (PDB) Afghanistan berasal dari bantuan internasional.
Bahkan, berdasarkan catatan sekitar setengah masyarakat di negara tersebut hidup di bawah garis kemiskinan, seperti dilansir CNBC International, Sabtu (18/9/2021).
Dari 40 juta penduduk Afghanistan, 14 juta di antaranya memiliki masalah asupan makanan yang berkualitas.
Program Pangan dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengaku membutuhkan dana sekitar US$ 200 juta untuk mengatasi hal tersebut hingga akhir tahun.
Kepemimpinan Taliban secara tidak langsung akan menghentikan bantuan dari lembaga donor. Bahkan, hal ini akan diawasi langsung oleh sebuah komisi tersendiri.
"Komisi ini akan mengawasi pendaftaran semua lembaga bantuan dan akan menegakkan kode etik Taliban untuk organisasi-organisasi yang mencakup aspek seperti perpajakan, netralitas politik, dan menghormati budaya Afghanistan," kata Amer Alhussein, ekonom dan penasihat untuk Conflict Development Initiative Plant for Peace.
Pada awal pekan ini, para pendonor internasional dalam konferensi PBB di Jenewa, termasuk AS dan Eropa menjanjikan lebih dari US$ 1 miliar bantuan untuk Afghanistan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa rakyat Afghanistan sat ini menghadapi kehancuran sekaligus.
Ia memperingatkan bahwa persediaan makanan di negara tersebut akan habis akhir September dan menekankan keterlibatan dengan Taliban akan diperlukan.
"Tidak mungkin memberikan bantuan kemanusiaan di Afghanistan tanpa melibatkan otoritas de facto," kata Guterres kepada awak media.
Meski demikian, keputusan ini cukup dilematis bagi para lembaga donor, perihal kekhawatiran maraknya pelanggaran hak asasi manusia yang meluas dan kejam dari Taliban.
Taliban dikenal dengan interpretasi yang keras terhadap hukum Islam. Selain itu, lembaga donor juga mengkhawatirkan peluang korupsi dan penyalahgunaan dana sumbangan.
"Potensi korupsi itu adalah risiko yang sangat besar," kata Alex Zerden, asisten senior Center for a New American Security dan mantan atase keuangan Departemen Keuangan di Kedutaan AS di Kabul.
Baca Juga: Taliban Cari Perempuan 12 Tahun untuk Dijadikan Budak Seks
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com