INFOJAMBI.COM - Ada dua hal fundamental untuk menumbuhkan rasa senang belajar. Pertama etika dan yang kedua estetika.
Etika dalam hal ini adalah semangat ingin mengetahui sesuatu dengan mendisiplinkan diri, memiliki karakter yang kuat untuk mengetahui sesuatu serta kesopanan dalam menuntut ilmu.
Estetika atau nilai yakni rasa senang, indah, nyaman, dan nikmat dalam belajar. Kedua hal ini wajib ada bagi pebelajar sejati, sehingga tujuan dari apa yang diinginkan dalam belajar dapat tercapai dengan baik dan tepat sasaran. Pendidikan tak berbatas demikian penulis menyebutnya.
Pendidikan adalah cara terbaik dalam rangka mencetak generasi bangsa yang unggul dalam berbagai bidang. Demikian pula dengan pendidikan di Indonesia.
Dengan pendidikan, nilai luhur budaya bangsa akan dapat diwariskan untuk generasinya.
Namun, dalam memilih model pendidikan, suatu bangsa harus memperhatikan budaya yang telah melekat menjadi karakter bangsa tersebut.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam memiliki budaya ke-Timur-an yang tertuang dalam sistem pendidikan Islam yang tentunya berbeda dengan pendidikan Barat dengan corak sekulernya.
Inti dari pendidikan Islam sebenarnya terletak pada pendidikan nilai, karena tujuan dari pendidikan adalah mendidik perilaku manusia yang di dalam ajaran Islam dikenal dengan mendidik akhlak mulia yang berdasarkan Al-Quran dan Hadits.
Penulis menyukai pengertian nilai ala Muhmidayeli yang menyatakan jika nilai itu merupakan gambaran sesuatu yang indah, mempesona, menakjubkan, yang membuat kita bahagia dan senang serta merupakan sesuatu yang menjadikan seseorang ingin memilikinya.
Hal ini menggambarkan bahwa belajar itu adalah seni atau estetika. Karena dalam belajar itu ada semacam keindahan yang mengalir syahdu dalam darah sehingga membuat sang pebelajar tidak ingin mengakhirinya karena memiliki kenikmatan tersendiri.
Kenikmatan belajar itu tidak mesti memilih seperti apa wujud kurikulum itu. Pun demikian dengan kurikulum Indonesia yang padat (baca: ketat: rigid). Sepanjang sang pebelajar menikmatinya, tidak ada masalah.
Namun kenikmatan belajar tentu tidak dimiliki setiap orang. Itulah sebabnya Merdeka Belajar digaungkan dengan sangat massif di tanah air.
Merdeka belajar sesungguhnya bukanlah sesuatu yang harus dijalani seseorang ketika belajar dengan seenaknya, melainkan ada aturan hukum yang menjadi rambu-rambunya.
Merdeka belajar mirip dengan program pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk memperkuat kompetensi dengan memberi kesempatan menempuh pembelajaran di luar jurusan yang sama dan/atau menempuh pembelajaran pada jurusan yang sama di institusi yang berbeda, pembelajaran pada jurusan yang berbeda di lembaga yang berbeda; dan/atau pembelajaran di luar lembaga atau institusi pendidikan.
Merdeka belajar baik untuk madrasah atau kampus merdeka merupakan wujud pembelajaran yang otonom dan fleksibel sehingga tercipta kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang dan sesuai dengan kebutuhan siswa.
Struktur kurikulumnya pun dibuat tidak rigid, sehingga rekonstruksi kurikulum di era ini meringankan siswa.
Gambarannya kira-kira seperti ini: nuansa pembelajaran akan dimuat senyaman mungkin untuk memudahkan siswa berdiskusi lebih banyak dengan guru.
Jika belajar secara umum dilakukan di dalam kelas, maka dalam merdeka belajar akan dirancang lebih sering outing class atau moving class dan siswa tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi karakter siswa yang diutamakan.
Siswa juga dituntut untuk bisa berpikir tingkat tinggi, punya karakter mandiri, cerdik, berani, sopan, berkompetensi dan tidak hanya mengandalkan sistem ranking yang selama ini membuat siswa dan orang tua resah.
Dalam kurikulum ini anak diharapkan lebih kompeten, siap menghadapi dunia kerja serta berbudi luhur di lingkungan masyarakat.
Konsep merdeka belajar ini sebenarnya sudah diperkenalkan oleh Kementerian Agama sejak 2018 lalu, tetapi gaungnya belum terasa, karena tidak disosialisasikan secara masif.
Tak heran jika sebagian kecil saja yang mengetahuinya, itu pun tidak terlalu dipahami implementasinya. Sepertinya merdeka belajar di madrasah bentuknya lebih kepada kreativitas dan inovasi yang dilakukan oleh guru dalam mengajar.
Istilahnya ada kelenturan dalam mengelola kurikulum. Pembelajaran lebih ditekankan pada peserta didik (student centered) bukan lagi guru sebagai satu-satunya sumber belajar.
Dalam merancang kurikulum merdeka ini, setiap lembaga atau institusi pendidikan diberikan kebebasan, tentu dengan tidak mengenyampingkan keseriusan pengelolaannya.
Entah siswa melakukan program magang atau ada beberapa mata pelajaran yang dirampingkan dan ada juga yang dihapus jika tidak prinsip.
Sehingga durasi belajar siswa menjadi lebih cepat. Mirip dengan program akselerasi. Sehingga dengan adanya program merdeka belajar ini diharapkan adanya perkawinan silang antara perguruan tinggi dan dunia kerja atau perkawinan silang antara madrasah dengan perguruan tinggi nantinya.
Titik fokusnya yakni adanya merdeka belajar dapat memberikan kemudahan baik bagi pebelajar, pengajar maupun institusi dalam meramu kurikulum yang baik, ringan, dan menguntungkan semua pihak.
Bukan program anget-anget tai ayam yang hanya membara di awal lalu redup dan mengerucut di akhir bahkan tinggal aromanya saja atau menghilang tanpa bekas.
Intinya dalam merdeka belajar diperlukan etika dan estetika. Etika yang tetap mengedepankan adab, karakter, kesopanan dan rasa ingin tahu yang tinggi, disiplin dan memiliki daya nalar yang tinggi.
Estetika yang mengedepankan kenyamanan, ketenangan, dan tentu rasa nikmat dan bahagia dalam belajar.
Oleh: Dr. Siti Rahmi, M.Pd. (Alumni Sekolah Pasca Sarjana UPI Bandung)
Editor: RD
Baca Juga: Panja DPR dan Kemenag RI Sepakati Biaya Haji Rp 35 Juta
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com