Bahkan ada juga yang membuat situs media online menggunakan AGC (Auto Generate Content). Cukup copy dari sana-sini, lalu paste ke situs (manual atau otomatis), dan… bang lagi, lagi-lagi situs jadi. Tiba-tiba owner-nya sudah jadi wartawan. Media online siap berlayar mengabarkan informasi.
Dalam waktu singkat, situs media online itu sudah berlayar di dunia maya. Tak peduli siapa jurnalis di belakangnya, pengalamannya maupun mutu tulisannya. Yang penting, situs jadi, link bertebaran di medsos-medsos, maka eksis sudah media online itu.
Baca Juga: VIDEO : BPJS Ketenagakerjaan Rakor dengan Wartawan
Pemiliknya adalah wartawan, terkadang merangkap segalanya. Mulai dari wartawan, redaktur, pemimpin redaksi, buzzer dan ownernya dia. Satu orang untuk pengoperasian media itu.
Sebegitu mudahnya membuat media online saat ini. Dan, begitu gampangnya menjadi jurnalis lewat media online. Degradasi jurnalis kembali terjadi.
Baca Juga: Security Hiburan Malam Rampas Identiitas Wartawan
Padahal… dulu, jauh sebelum media online berkembang pesat, menjadi jurnalis profesional bukanlah perkara gampang. Perlu pelatihan-pelatihan kontinyu, perlu waktu, perlu gemblengan lapangan yang penuh asam-garam, perlu jenjang karir yang jelas, hingga akhirnya seseorang bisa dikatakan wartawan yang “dewasa” pada saatnya.
Wartawan yang (maaf) baru kemarin sore belajar menulis berita, pagi ini sudah punya media online hingga menjadi pemred di medianya sendiri.
Baca Juga: Peras Toke Pupuk, Wartawan Gadungan Diciduk
Apakah itu salah ? Tidak. Tentu saja tidak. Asal, ia benar-benar bisa menjalankan fungsinya sebagai pemred, sang jenderal tempur penjaga redaksi dan dunia jurnalistik di media itu, agar jurnalisme tak terdegradasi oleh ketidakmampuan dan ketidaktahuannya yang “dewasa” sebelum saatnya. Begitu isi penggalan tersebut.
Untuk mengatasi fenomena ini, perlu ada upaya untuk memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap profesi jurnalistik.
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com