Harga Cabai Rp120 Ribu, Bagaimana Tata Niaga Pangan Jambi ?

PEDAS bukan saja rasanya tapi juga harganya. Lonjakan harga cabai menembus Rp120 ribu per kilogram di Jambi.

Reporter: - | Editor: Admin
Harga Cabai Rp120 Ribu, Bagaimana Tata Niaga Pangan Jambi ?
Ilustrasi

Oleh: Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi

PEDAS bukan saja rasanya tapi juga harganya. Lonjakan harga cabai yang menembus Rp120 ribu per kilogram di Jambi, sebagaimana dilaporkan dari Pasar Sengeti, Muaro Jambi pada 2 Desember 2025, kembali memperlihatkan rapuhnya sistem pengendalian pasokan pangan di daerah. Data lapangan ini tidak berdiri sendiri, ia justru mempertegas pola bertahun-tahun yang terus berulang.

Baca Juga: Tingginya Harga Cabai Disebabkan Proses Distribusi Tak Normal

Catatan harga cabai di Jambi sejak 2015 menunjukkan fluktuasi ekstrem yang tak pernah berhasil dikendalikan secara tuntas. Pada Juli 2015, misalnya, harga cabai di pasar Kota Jambi sempat melonjak ke kisaran Rp65 ribu. 

Tahun berikutnya, pada Agustus 2016, terjadi penurunan tajam ke kisaran Rp22 ribu setelah musim panen tiba. Namun memasuki 2017, pada Januari, harga cabai rawit kembali meroket hingga Rp80 ribu–Rp85 ribu per kilogram di Pasar Angso Duo dan beberapa pasar lain.

Baca Juga: Harga Cabai Terus Melonjak Naik

Kondisi serupa terjadi lagi pada 2018. Pada pertengahan tahun, harga sempat berada di level Rp34 ribu, tetapi kemudian turun ke Rp24 ribu pada November ketika pasokan relatif stabil. Lonjakan-lonjakan ini terus berulang hingga tahun-tahun berikutnya. 

Pada 2021, harga cabai merah besar di Jambi tercatat di kisaran Rp28 ribu hingga Rp30.800, menunjukkan periode stabil yang ternyata hanya jeda sementara sebelum fluktuasi berikutnya. Memasuki 2024 hingga awal 2025, data pemantauan harian memperlihatkan harga cabai merah keriting di Jambi bergerak di rentang Rp59 ribu hingga Rp74 ribu, suatu kenaikan bertahap yang menjadi sinyal awal sebelum puncak harga ekstrem terjadi.

Baca Juga: Ingin Tahu Problema Pasar Cabai, Kapolda Temui Langsung Petani

Menariknya, data resmi yang dirilis Badan Pangan Nasional melalui Panel Harga menunjukkan harga rata-rata cabai merah keriting di Jambi pada berbagai titik tahun 2025 berada di sekitar Rp47.311. Angka ini jauh di bawah laporan harga ekstrem di pasar lokal. Artinya, lonjakan ke Rp120 ribu bukanlah fenomena yang tercermin dalam rata-rata data agregat, melainkan kondisi real-time yang terjadi ketika pasokan dari daerah penghasil benar-benar macet. 

Perbedaan ini menunjukkan bahwa sistem informasi harga dan tata niaga sering kali lambat mengantisipasi gejolak mendadak di pasar. Ada jurang antara angka di atas kertas dan kondisi riil di lapangan.

Sumber-sumber lokal menunjukkan bahwa kenaikan ekstrem biasanya terjadi ketika pasokan dari Sumatera Barat, Sumatera Selatan, atau Jawa terganggu oleh cuaca, hambatan distribusi, atau penurunan panen mendadak. Ketergantungan Jambi pada pasokan luar daerah membuat harga sangat sensitif: begitu suplai tersendat, harga langsung melejit tak terkendali. 

Sejarah data memperlihatkan bahwa pola ini sudah lebih dari satu dekade menjadi masalah klasik: setiap memasuki musim hujan atau ketika produksi daerah pengirim turun, Jambi selalu berada pada sisi penerima dampak.

Contoh lonjakan hingga Rp120 ribu ini memperlihatkan bahwa problem pengendalian harga bukan sekadar isu curah hujan atau panen menurun, tetapi juga karena tidak adanya mekanisme stok buffer, cold storage yang memadai, atau rencana tanam yang terintegrasi antar-daerah. Bahkan sistem informasi harga harian maupun pantauan pasar lokal sering kali menjadi alarm paling awal—lebih cepat daripada data rata-rata panel pemerintah—karena menangkap gejolak di satu pasar spesifik yang sedang mengalami kelangkaan.

Melihat perjalanan panjang fluktuasi harga cabai dari 2015 hingga 2025, tampak jelas bahwa sistem pangan kita bekerja secara reaktif, bukan preventif. Lonjakan harga ekstrem seperti Rp120 ribu seharusnya tidak lagi menjadi kejutan tahunan bila koordinasi produksi dan distribusi diperkuat. 

Tanpa pembenahan tata niaga, perencanaan tanam, penyimpanan pasokan, dan integrasi pasokan antar-daerah, masyarakat Jambi akan terus menghadapi siklus yang sama: harga normal yang tampak stabil di data resmi, tetapi sesekali meledak di pasar lokal hingga berkali-kali lipat, menghantam ekonomi rumah tangga dan memicu inflasi daerah. 

Kini menjadi semakin jelas bahwa lonjakan ini bukan semata persoalan musiman, melainkan cermin kegagalan struktural dalam menjaga ketersediaan pangan secara menyeluruh. ***

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya