Ikhtiar Penyelesaian Sengketa Lahan di Provinsi Jambi

| Editor: Doddi Irawan
Ikhtiar Penyelesaian Sengketa Lahan di Provinsi Jambi

Oleh : Edi Purwanto



PADA judul di atas, penulis sengaja memilih diksi ikhtiar karena selain berarti berusaha dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Arab ikhtiar berarti pilihan. Karena memang dalam upaya mencari jalan keluar penyelesaian sengketa lahan di provinsi Jambi yang sudah berkelindan sejak lama, dan tak jarang berujung pada pada konflik lahan (baca : konflik horizontal maupun vertikal) dibutuhkan banyak pilihan usaha.

Merujuk pada data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2019, Provinsi Jambi termasuk ke dalam 10 besar penyumbang konflik agraria tertinggi di Indonesia, dan dari 24 konflik agraria di Jambi yang telah berlangsung puluhan tahun sebagian besar terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Ribuan masyarakat telah menjadi korban, mereka tidak hanya kehilangan lahan, bahkan ada juga yang harus kehilangan nyawa.

Untuk itu dibutuhkan banyak pendekatan dalam penyelesaian sengketa lahan yang terus memakan korban ini. Hemat penulis, setidaknya ada tiga pendekatan yang bisa dilakukan sebagai bentuk usaha dalam penyelesaian sengketa lahan ini. Yang pertama adalah pendekatan budaya, menggunakan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat sekitar. Kedua adalah pendekatan hukum, lewat hukum positif yang ada di Indonesia. Dan ketiga adalah pendekatan politik yang dapat ditempuh lewat jalur parlemen.

Pendekatan Budaya
Masyarakat kita mengenal istilah Tanah Adat atau Tanah Ulayat yang merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.

Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Konsep Tanah Ulayat ini harus dihormati oleh pihak pemerintah maupun korporasi, karena jauh sebelum terciptanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), masyarakat kita telah mengenal hak ulayat. Pelanggaran terhadap peraturan tanah ulayat ini tentu akan berhadapan dengan kekuatan masyarakat lokal. Disinilah peran pemerintah untuk menjaga hak-hak rakyat.

Selain itu, pendekatan budaya lainnya juga dapat digunakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa lahan. Berbagai seloko adat di Jambi seperti “pantang larang”, “tanah pemberian”, “batas tanah”, “tanah terlantar”, “jenjang adat”, “sanksi adat” harus dikedepankan dalam penyelesaian sengketa.

Pendekatan Hukum
Hukum memiliki fungsi yang sangat penting, dalam tata kehidupan masyarakat. Menurut J. F. Glastra van Loon hukum berfungsi dalam Penertiban (penataan) masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup. Penyelesaian pertikaian. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan- aturan, jika perlu dengan kekerasan.

Pengaturan atau memelihara dan mempertahankan hal tersebut. Pengubahan tata tertib dan aturan- aturan dalam rangka penyesuaian pada kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat dan pengaturan tentang pengubahan tersebut. Dalam pemanfaatannya, tanah ulayat mengandung aspek publik dan perdata.

Aspek publik tersebut mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat oleh para pemimpin adat. Sedangkan aspek perdatanya mengandung arti bahwa tanah ulayat merupakan hak kepunyaan bersama masyarakat hukum adat. Berdasarkan hal tersebut jika terjadi sengketa tanah ulayat maka diselesaikan dengan musyawarah bersama para pemimpin adat terlebih dahulu.

Namun, jika tidak tercipta kata mufakat, maka sengketa dapat dilanjutkan ke pengadilan dimana Hukum mewujudkan fungsi-fungsi tersebut diatas, agar dapat memenuhi tuntutan; keadilan (rechtsvaardigheid), hasil-guna (doelmatigheid), dan kepastian hukum (rechtszekerheid).

Pengaturan tanah ulayat telah disebutkan dalam Pasal 3 UUPA, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan undang- undang dan peraturan- peraturan lain yang lebih tinggi.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang hidup dan masih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang- undang.”

Pendekatan Politik
Selain 2 pendekatan di atas, pendekatan politik juga dapat dilakukan. Meskipun tidak dapat langsung berakibat pada konsekuensi hukum, namun jika dilaksanakan dengan maksimal, pendekatan ini dapat menghasilkan rekomendasi yang komprehensif. Kenapa komprehensif ? Karena pendekatan ini memiliki keleluasaan untuk mendalami dan memadukan dua pendekatan di atas; budaya dan hukum, termasuk didalamnya birokrasi. Inilah yang sedang dilakukan oleh DPRD Provinsi Jambi.

Baru-baru ini DPRD provinsi Jambi membentuk Panitia Khusus (Pansus) Konflik Lahan/Agraria yang atas nama rakyat bertugas untuk mendalami berbagai hal yang telah bersengkarut cukup lama terkait konflik lahan di Jambi. Hasil pendalaman dan investigasi tersebut nantinya akan menghasilkan rekomendasi yang semoga dapat berkontribusi menambah titik terang penyelesaian sengketa lahan di provinsi Jambi. Selamat berkerja kawan-kawan Pansus. ***

Penulis adalah Ketua DPRD Provinsi Jambi

Baca Juga: Kerjasama Pembangunan Pasar Angsoduo dan JBC Disepakati

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Kisruh AGRA dan REKI Belum Berakhir

Wisata - Seni - Budaya

Berita Terkait

Berita Lainnya