Oleh: Haritsah Mujahid
Mahasiswa S1 Istanbul University
Pada 23 April 2025, Istanbul diguncang gempa bumi berkekuatan 6,2 magnitudo. Guncangan yang terjadi pada siang hari itu terasa sangat kuat, meskipun berlangsung kurang dari 15 detik.
Baca Juga: WNI Yang Dituduh Terlibat Kudeta Turki Dibebaskan
Saya, bersama beberapa teman serumah, langsung berlari keluar rumah begitu menyadari lantai bergoyang dan dinding bergetar hebat. Di luar, saya melihat seluruh tetangga juga berlarian keluar dari rumahnya masing-masing.
Kami semua mencari area terbuka dan bertahan di luar selama beberapa jam hingga kondisi lebih stabil.
Baca Juga: Gempa di Aceh, Empat Orang Meninggal dan Puluhan Terluka
Sebagai warga Indonesia yang sudah terbiasa mendengar kabar gempa di tanah air, saya tidak menyangka akan mengalami sendiri situasi seperti ini di negeri perantauan.
Terlebih di Istanbul, kota yang sangat megah, modern, dan padat ini ternyata berada di atas salah satu sesar paling aktif di dunia yaitu Sesar Anatolia Utara.
Baca Juga: Erdogan: Pengucilan Qatar Adalah Tindakan yang Tidak Manusiawi dan Islami
Sebagai orang awam, saya tidak punya latar belakang geologi atau ilmu kebencanaan. Tapi pengalaman ini membuat saya mulai membandingkan secara sederhana bagaimana gempa di Turki terjadi, bagaimana pemerintahnya merespons, dan apa yang membedakan jika dibandingkan dengan pengalaman di Indonesia.
Perbedaan Geologi: Sesar Anatolia vs Sesar Sunda
Gempa di Turki, khususnya di wilayah Istanbul, sering kali berhubungan dengan aktivitas Sesar Anatolia Utara yaitu patahan aktif yang memanjang dari timur ke barat dan melewati wilayah padat penduduk.
Episentrum gempa Istanbul kali ini berada di bawah Laut Marmara, hanya sekitar 40 km dari kota.
Sementara itu, Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng besar: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Maka tidak heran, gempa-gempa di Indonesia umumnya berhubungan dengan subduksi, yaitu pergerakan satu lempeng yang menyusup ke bawah lempeng lain.
Ini menjelaskan kenapa di Indonesia, gempa besar sering disertai dengan ancaman tsunami, seperti yang terjadi di Aceh 2004 atau Palu 2018.
Dari sini, saya menyadari bahwa jenis sesar atau lempeng sangat mempengaruhi pola dan dampak gempa. Hal ini penting diketahui oleh masyarakat umum, bukan hanya oleh ahli.
Penanganan dan Respon Masyarakat
Di Turki, begitu gempa terjadi, tanggap darurat langsung terlihat. Pemerintah menutup sekolah-sekolah selama dua hari di Istanbul dan Tekirdağ. Taman-taman kota serta masjid besar dibuka sebagai tempat penampungan sementara.
Lebih dari 3.500 personel, termasuk tim pencarian dan penyelamatan dengan anjing pelacak, dikerahkan. Ini menunjukkan sistem respons cepat yang sudah tertata dengan sangat rapi.
Di Indonesia, saya rasa kemampuan masyarakat untuk tanggap bencana juga sangat tinggi, apalagi karena frekuensi gempa yang sering terjadi. Namun, saya juga melihat masih ada tantangan dari sisi kesiapan bangunan, sistem informasi bencana yang kadang belum merata, serta pendekatan edukasi yang belum menyeluruh ke semua kalangan.
Pelajaran yang Bisa Dipetik
Saya percaya bahwa kedua negara punya keunikan dan kekuatan masing-masing dalam menghadapi bencana. Namun sebagai mahasiswa yang pernah tinggal di dua negara rawan gempa, izinkan saya menyampaikan beberapa refleksi:
Edukasi kebencanaan perlu menjadi budaya sejak dini. Di Turki, anak-anak sekolah rutin diberi latihan evakuasi. Di Indonesia, semoga ini bisa dilakukan lebih merata, tidak hanya di daerah rawan.
Kesiapan bangunan harus menjadi prioritas. Banyak gedung di Istanbul dirancang tahan gempa. Di Indonesia, edukasi tentang struktur bangunan tahan gempa perlu terus didorong, terutama di daerah padat penduduk.
Ketahanan mental masyarakat sangat penting. Banyak korban luka ringan terjadi karena kepanikan. Baik di Turki maupun di Indonesia, penting untuk mengedukasi masyarakat bahwa tetap tenang bisa menyelamatkan nyawa.
Media sosial bisa jadi kekuatan, tapi juga bahaya. Informasi yang cepat menyebar bisa menolong, tapi juga bisa menyesatkan. Baik di Turki maupun di Indonesia, literasi digital saat bencana menjadi sangat penting.
Kini, situasi di Istanbul telah jauh lebih tenang. Gempa susulan masih terjadi, namun skalanya terus menurun. Kami tetap menjalani hari-hari dengan penuh kewaspadaan, mengikuti arahan otoritas lokal dan tentu saja berdoa.
Tulisan ini bukanlah analisis ilmiah, tetapi suara seorang mahasiswa yang ingin belajar dari pengalaman, sekaligus berbagi kepada mereka yang mungkin belum pernah merasakannya langsung.
Semoga pengalaman ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa bencana bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, namun kesiapan, ketenangan, dan pengetahuan bisa membuat kita lebih kuat dalam menghadapinya. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com