Pada sisi lain Al Araf menguraikan, paradigma pembuat KUHP masih melindungi kekuasaan. Atas semangatnya untuk menghukum.
Selain itu dia melihat para perumus KUHP baru mencampur-adukkan antara hukum administrasi dan hukum pidana.
Baca Juga: UU Pers Tidak Perlu Masuk Omnibus Law
“Akibatnya banyak pasal, filosofinya tidak jelas, multi tasir,” tutur Al Araf. Hal ini membuat penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh pemerintah dan para pembuat UU tidak dapat menjawab rasionalitas pembentukan banyak pasal-pasal KUHP ini.
Dia memberi contoh, ketentuan tentang pasal larangan demonstrasi yang tanpa izin dan merusak fasilitas publik atau menggangu kepentingan umum.
Baca Juga: Ketum PWI Pusat Atal Depari : Upa Sebarkan Berita Menyesatkan, PWI Akan Laporkan ke Dewan Pers.
”Seharusnya yang dilarang merusak fasilitas publik atau mengggangu kepentingan umumnya, bukan larangan demonstrasi yang tanpa izin,” katanya.
Al Araf menyanyangkan proses pembuatan KUHP hanya melibatpkan ahli hukum, itu pun hanya dari hukum pidana yang berkecenderungan menghukum saja.
”Padahal karena pidana melibatkan kepentingan publik, seharusnya juga melibatkan ahli-ahli hukum di luar hukum pidana, bahkan ahli lain seperti ahli filasat dan sosiologi,” tandasnya. ****
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com