Melipat Sarung

Subuh ini, seperti juga subuh-subuh tahun sebelumnya, aku bersiap sholat subuh di rumah, bersama isteri. Seperti biasanya pula, sebelum sholat subuh, aku siap-siap memakai sarung.

| Editor: Doddi Irawan
Melipat Sarung


Sejak pandemi covid-19 merebak, lantaran berbagai faktor alasan, aku sementara berhenti sholat subuh berjemaah di mesjid lagi. Tentu ada kerinduan untuk segera dapat sholat subuh di mesjid lagi. Nanti mungkin kalau lebih memungkinkan, aku insyaalah kembali sholat subuh di mesjid.

Jika aku sholat subuh di mesjid pun, biasanya aku juga mengenakan busana yang serasi. Jika baju koko putih, contohnya, dikombinasikan dengan busana lain yang menunjang penampilan baju koko putih. Kalau warna baju biru, misalnya, dapat divariasikan dengan bawahan biru juga, tetapi warnanya lebih tua. Bahkan aku sering mengenakan busana berunsur tradisional atau ethik. Tentu dengan kombinasi yang serasi dan aktratif.

Baik sholat subuh di rumah maupun sholat subuh di mesjid prinsipnya sama: jika memungkinkan aku bakal mengenakan busana menarik, serasi dan terutama kalau memakai sarung yang rapi.

Bukan, ini bukan supaya dilihat oleh orang lain, terutama oleh umat yang ikut sholat. Ini penghormatan simbolik kepada Allah. Pengagungan simbolik untuk Allah. Di awal kegiatan kita, pada sholat subuh, aku inginkan dan memberikan yang terbaik dan paling rapi buat Allah. Akulah yang memerlukan Allah, bukan Allah yang memerlukan Aku. Akulah yang memiliki kebutuhan untuk memberikan yang optimal kepada Tuhan, bukan Tuhan yang memerlukan aku. Jiwaku yang terpanggil mengabdi kepada Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam membuat aku merasa sejauh mungkin memberikan yang terbaik buat Allah.

Aku tahu manusia sumber khilaf. Aku tahu, aku tidak dapat memberikan yang terbaik sepanjang hari, tetapi setidaknya di sholat subuh, aku telah berupaya melakukannya. Tabik. ***

Jakarta, medio Mei 2022

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya