Di sebuah cafe hotel bintang tiga di bilangan Cikini, Jakarta, saya memperhatikan keramaian sekitar. Sesekali terdengar sayup obrolan dari meja sebelah. Pilkada, itulah topik pembicaraan mereka. Sama seperti bahasan di meja kecil kami bersama rekan politisi saya.
Tapi ada yang berbeda. Hari ini orang di cafe itu tampak lebih gembira. Berbeda demgan hari sebelumnya awal saya chek in di hotel syariah itu. Pembicaraan sayup dan ketegangan tak bisa disembunyikan. Wajah kusut dan lelah hampir merata di setiap meja. Saya kebetulan usil memperhatikan fenomena itu. Kepada teman, setengah berbisik saya berseloroh, “ternyata bukan hanya kalian yang pusing soal rekomendasi, lihat itu, mereka sepertinya juga stress dengan dinamika Golkar dan manuver partai - partai,”.
Baca Juga: Senator DKI Sesalkan Vonis Bebas Hakim
Golkar memang sedang gaduh. Airlangga Hartarto, ketua umumnya, tetiba mengundurkan diri persis disaat tenggat pendaftaran calon kepala daerah tinggal sepekan.
Gaduh. Dinamika di Golkar itu tak hanya mengundang kecemasan cakada yang rekomnya masih berproses di DPP tapi juga melanda kebanyakan cakada yang sudah mengantongi rekomendasi. Pasalnya B1KWK Parpol sebagai dokumen resmi untuk mendaftar ke KPUD jelas harus bertandatangan ketum baru. Istilahnya kartu kocok ulang. Perlu lobi baru ke pengurus baru.
Baca Juga: Ditolak MK, Senator DKI Usulkan Prabowo-Sandi Menjadi Kekuatan Penyeimbang
Selasa 20 Agustus 2024, Golkar bersiap menjalankan ‘formalitas’ organisasi demi melegitimasi Bahlil Lahadalia sebagai Ketum baru hasil Munaslub di Jakarta Convention Centre (JCC). Seorang teman Golkar terdengar penuh semangat saat saya telepon. Ia sedang di arena Munas. Suaranya segar. Lantang. Ia menyebut peta politik berubah. Ia yakin semua rekom yang dikeluarkan pengurus lama akan dianulir. Teman saya itu juga cakada. Sebelumnya Golkar memberi rekom pada calon rivalnya.
Dinamika di Golkar tidak sekedar soal kepemimpinan partai beringin itu. Ia juga berdampak pada peta koalisi di rerata Pilkada. Kawan saya tadi menyebut bahwa Golkar penentu pikada kali ini. Hingga kejutan itu tiba - tiba meledak di hari yang sama. Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan bahwa parpol non parlemen bisa mengusung kandidat Pilkada dengan syarat - syarat tertentu.
Baca Juga: Sidang MK Pilgub Jambi, Musri Nauli : Optimis Menang
Seketika putusan MK Itu mengalahkan keriuhan gempita Munas Golkar. Media massa beralih pada isu putusan MK. Munas memang masih banyak diberitakan, tapi putusan MK seakan membelokkan kenyataan bahwa dinamika Golkar tidak lagi strategis memengaruhi proses Pilkada di daerah - daerah. Para kandidat punya alternatif lain: partai gurem. Para tim sukses memperlebar lobi. Kali ini ke partai - partai non parlemen untuk mencukupi syarat dukungan. Sebab syarat dukungan tak lagi jumlah kursi DPRD tapi akumulasi suara sah parpol atau gabungan parpol. Putusan fundamental yang jelas merubah peta koalisi pikada.
Pertanyaan mendasar di benak saya, apa yang terjadi ? Siapa yang memainkan ini ? apa kepentingannya ?
Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) dan Partai Buruh. Putusan luarbiasa MK ternyata berdasar gugatan dua partai yang tak lolos ke Senayan itu. Sekelebat saya terbayang wajah Fahri Hamzah, pendiri partai Gelora.
Sebuah media televisi asing pernah menyebut bahwa FH merupakan politisi Indonesia yang selalu berpikir lima langkah di depan orang kebanyakan. Cara pandangnya unik. Manuvernya juga tak biasa. Bagaimana kemudian FH digambarkan sebagai sosok cerdas dan berani. Ia melawan PKS, partainya sendiri secara konstitusional. Ia juga keras saat tampil di diskusi - diskusi live televisi. Ia bahkan berani mengkritik keras KPK, padahal di masa - masa itu KPK bagai lembaga anti kritik. Show KPK lewat giat tangkap tangan tak menggentarkan FH. Ia bahkan pernah bersitegang dengan aparat KPK bersenjata saat hendak menggeledah gedung DPR RI. Banyak orang mengira FH akan bernasib sama dengan para politisi yang diciduk KPK. Namun hingga kini FH masih ‘selamat’.
Serangan FH kepada KPK tak kalah keras pada masa transisi kepemimpinan sebelum Firli Bahuri. Tak pelak banyak yang menuding FH punya andil ‘melemahkan’ lembaga anti rasuah kala itu. Tapi saya tak terpengaruh. Saya malah berpikir jangan - jangan FH ini benar. FH tahu bahwa wajah KPK dulu sebetulnya tidaklah semulia apa yang ditampilkan media. Ada cela tersembunyi yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang berpikir lima langkah di depan. Oleh orang yang mampu memotret sebuah keadaan dengan lebih utuh. Isu bahwa ada praktik lacur soal barang sitaan, isu pemerasan para koruptor hingga isu jual beli sprindik, tentu sulit dibuktikan namun tak menutup kemungkinan hal - hal tabu itu benar terjadi.
Di benak saya, FH orang yang cerdas. Saya yakin dia juga bersih soal korupsi. Hari ini keyakinan saya itu membuat saya menduga apa yang terjadi pada putuskan MK, dimana partai FH salah satu penggugatnya, berangkat dari sebuah agenda besar.
Melihat track record MK, terutama putusan batas usia Capres - Cawapres, sulit untuk percaya bahwa putusan kali ini murni karena semangat konstitusi. Tapi siapa yang berkepentingan ? Dugaan saya FH punya agenda besar di balik gugatannya. FH bukan hanya sekedar memperjuangkan agar partainya bisa ikut mengusung cakada, lebih dari itu FH sedang menjalankan skenario penting bersama sebuah kekuatan besar demi menandingi kekuatan besar lain yang saat ini mendominasi.
Mungkin kebetulan, saat putusan MK dibacakan FH sedang pulang kampung ke Nusa Tenggara Barat. Bersamaan dengan itu, sahabat FH yang juga presiden terpilih Prabowo Subiyanto sedang lawatan ke luar negeri. Tapi yang jelas tak kebetulan, skenario kotak kosong di sejumlah pikada seketika runtuh berantakan. Termasuk pikada Sumatera Utara. Putusan MK memberi ruang PDIP mengusung Edy Rahmayadi untuk melawan Bobby Nasution, menantu presiden Jokowi yang awalnya digadang hanya akan berhadapan dengan kotak kosong. (Welly Bronson)
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com