Itulah yang terjadi di wilayah keasisten demangan Tebo Ilir dalam perang Raja Batu 1916, di samping banyak lagi dubalang-dubalang gugur tidak diketahui namanya.
Pada umumnya di daerah Jambi sejak Belanda berkuasa atas kesultanan Jambi, tidak ada organisasi politik yang masuk ke Jambi secara resmi.
Baca Juga: Lomba Gerak Jalan Meriahkan HUT 77 Kemerdekaan RI di Sarolangun
Namun karena terdorong perasaan benci kepada Belanda, rakyat bersikap tidak mau bekerjasama dengan Belanda.
Misalnya, rakyat tidak mau menyekolahkan anaknya ke Sekolah Desa (Sekolah Belanda) karena dianggap antek Belanda.
Baca Juga: Gandeng JMSI, Walikota Sungai Penuh Luncurkan Gerakan Bagikan 10 Juta Bendera Merah-Putih
Para orang tua menanamkan sikap pada anaknya, agar membenci Belanda, bahkan pakaian yang menyerupai Belanda pun, seperti span panjang (celana panjang), rambut panjang, pakai topi, pokoknya semua hal yang menyerupai Belanda, tidak boleh ditiru, walaupun sekedar bersiul saja.
Begitu bencinya rakyat terhadap Belanda. Anak-anak hanya boleh sekolah di madrasah saja (sekolah agama).
Baca Juga: Pemkab Batanghari Gelar Upacara Bendera Peringati HUT 77 Kemerdekaan RI
Pada akhir 1945, laskar Aceh datang ke Jambi, untuk membantu mengusir Belanda yang masih ada di Bajubang.
Sebelum berangkat dari Sungai Bengkal, diadakan persiapan perbekalan makanan untuk 60 orang laskar. Tuan Guru Zahrudin memberi arahan pada rakyat untuk rela mengorbankan harta benda dan jiwa raga melawan Belanda dan Jepang. Persenjataan pasukan sebagian milik Jepang yang direbut.
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com