Editor: Rahmad
Oleh: Muhtadin AR (ASN Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Kementerian Agama RI)S
Saya sering membayangkan seandainya di setiap Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), terutama yang sudah berbentuk Universitas Islam Negeri (UIN) meluncurkan program beasiswa untuk mahasiswa baru yang menguasai khazanah klasik.
Misalnya, ada 100 beasiswa untuk santri yang hafal 1002 bait Alfiah, atau yang bisa membaca kitab-kitab mu'tabar dengan lancar.
Bila ini dilakukan maka populasi mahasiswa berbasis literasi agama akan meningkat dan implikasinya diskusi-diskusi keagamaan di kampus menjadi sangat bermutu.
Bila itu terjadi maka suasana belajar di ruang-ruang kelas akan dipenuhi khazanah keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Dengan “lawan” yang seimbang, dosen-dosen sebelum memasuki kelas mau tak mau harus mempersiapkan diri dengan baik. Situasi ini akan memaksa dosen membaca buku sebanyak-banyaknya dan mempersiapkan teori serta analisa yang relevan.
Bertemunya dua pihak yang resiprokal itu pastinya menimbulkan suasana diskusi yang meriah dengan dialektika ilmiah, dinamis, dan bermutu.
Di sisi lain, mahasiswa yang belum menguasai khazanah klasik (kitab kuning) akan terpacu untuk mempelajarinya, dan gairah intelektualnya akan terpacu dengan cepat.
Namun lamunan saya itu masih jauh panggang dari api. Saat ini diskusi informal di masjid kampus, halaman kampus, kantin, dan juga grup-grup Whatsapp masih jauh dari bermutu.
Hal itu karena campuraduknya khazanah keilmuan dengan informasi recehan, hoaks, bahkan ujaran kebencian. Sungguh ironis, para mahasiswa yang dikenal memiliki tradisi keilmuan tetapi masih menjadi agen penyebar informasi secara serampangan, bahkan tanpa dibaca lebih dahulu.
Tumpulnya insting ilmiah dan ketidakmampuan mencerna informasi itu merupakan hasil akhir dari buruknya metode pembelajaran dan minimnya modal dasar literasi.
Apabila sumberdaya kampus Islam dinaikkan levelnya dengan memperbanyak populasi pembaca literatur klasik dan diskusi ilmiah dinaikkan menjadi lebih literatif dan referensial, maka pintu menuju perbaikan kualitas manusia menjadi terbuka lebar.
Bila budaya ilmiah literatif mulai menancap di kampus Islam, maka kelompok besar yang terbiasa diskusi asal bunyi lama-kelamaan akan merasa malu.
Mereka akan berikhtiar belajar, membaca buku, dan melihat tontonan yang bermutu. Atmosfir intelektual pun melingkupi kampus dan denyut nadi semua civitas akademika ditunjang oleh energi itu.
Seratus orang adalah angka optimistik agar mereka tak tenggelam dalam arus umum yang rata-rata dangkal. Mereka juga dapat memberi warna indah di antara kapasitas mahasiswa UIN yang selama ini monoton.
Lagipula beasiswa untuk 100 orang itu tak mahal. Jika di tahun berikutnya kembali ada 100 mahasiswa baru dengan kualifikasi serupa, maka pada tahun ke empat ada 400 mahasiswa yang menguasai khazanah klasik dengan sangat mumpuni.
Tak perlu diragukan lagi, jumlah ini dapat mewarnai wacana keagamaan di kampus yang mereka tempati.
Seandainya ini benar-benar terwujud, maka reputasi kampus UIN sebagai produsen intelektual muslim akan kembali harum. Perubahan kelembagaan dari IAIN ke UIN harus diakui telah menggeser wajah kampus agama tak ubahnya kampus umum.
Kampus UIN ini yang dulunya rumah bagi anak madrasah dan pesantren telah bergeser ke anak sekolah. Buktinya, Prodi (Program Studi) yang ramai peminat pun bergeser dari Prodi berbasis agama ke prodi umum dan saintik.
Mengembalikan bentuk kelembagaan menjadi IAIN kembali tentu tidak relevan, melawan sejarah, dan menabrak hukum pasar. Maka yang paling relevan adalah memperbaiki input.
Anak-anak pesantren yang memiliki kemampuan membaca kitab kuning harus diberi afirmasi, privilage, dan kesempatan seluas-luasnya untuk masuk UIN karena mereka adalah backbone identitas kampus Islam.
Hafal Alfiah dan Menguasai Kitab Kuning
Ada pertanyaan yang harus dijelaskan perihal input, yaitu mengapa harus santri yang hafal 1002 bait Alfiah dan mampu membaca kitab kuning dengan baik saja? Mengapa bukan santri secara keseluruhan? Mengapa harus spesifik?
Secara jujur harus diakui fakta lapangan tentang santri hari ini. Mereka tidak sama dengan wajah santri pondok pesantren di tahun 80-an.
Santri sekarang, dalam bahasa Martin Van Bruinessen, diklaim telah berubah dari kiai haji menjadi doktorandus.
Semua ini terjadi karena adaptasi pesantren terhadap perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat, di mana hanya ijazah formal yang bisa digunakan untuk melanjutkan sekolah atau masuk dunia kerja.
Pendidikan santri yang pada awalnya masih berisi pengajaran kitab kuning sontak bergeser ke pendidikan umum, dan pendidikan agama hanya menjadi pelengkap saja.
Santri yang saya maksud di sini adalah santri model jadul sebelum pesantren "dianeksasi" oleh pendidikan formal. Mereka adalah para pengkaji turats yang memiliki kemampuan gramatika yang bagus dan rasa kebahasaan (dzauq) yang tajam.
Mereka itu tak lain adalah santri yang setiap harinya hanya bergelut dengan kitab kuning sebagai referensi tunggal, dan bukan mereka yang tinggal di pesantren tetapi isi kepalanya buku paket dari pemerintah.
Para pembaca kitab kuning dan penghafal nazham Alfiah ini tentu tidak sebanyak tahun 70 atau 80-an.
Tetapi saya yakin jumlahnya masih banyak, terutama yang belajar di pesantren yang memiliki pendidikan Muadalah, Diniyah Formal, atau Ma'had Aly.
Dari mereka kita berharap dapat terungkap keluasan ilmu pengetahuan dan tertampil wajah Islam yang toleran seperti banyak dicontohkan para salafuna al-shalih.
Duta Moderasi Beragama
Di dalam kampus telah terjadi perebutan wacana keagamaan yang sengit, sehingga timbul banyak warna pada kegiatan kerohanian Islam.
Tarik menarik antara yang moderat, konservatif, dan ekstrem membutuhkan agen-agen pemenangan yang memiliki kompetensi meyakinkan.
Para mahasiswa terpilih tersebut dapat menjadi lokomotif intelektualisme di kampus yang menjadi episentrum pembelajaran bagi komunitas di sekitarnya sehingga terjadi replikasi alamiah.
Bila gerbongnya semakin besar, pada akhirnya para santri ini akan menjadi penganjur paham keagamaan moderat di kampusnya masing-masing.
Mereka juga akan menjadi referensi berjalan bagi mahasiswa lainnya dalam debat-debat ideologis yang sering meyeret mahasiswa ke lembah ekstremisme.
Bayangkan seandainya di setiap kampus UIN ada ratusan santri yang dapat menjelaskan agama secara referensial sebagaimana Gus Baha (KH. Bahauddin Nur Salim), maka obrolan agama dari sumber antah berantah akan bergeser ke diskusi intelek.
Jika selama ini pegangan mahasiswa adalah buku, maka dari para santri ndeles ini dapat diharapkan khazanah klasik akan menjadi sumber rujukan.
Harus disadari, moderasi beragama itu sumber utamanya adalah khazanah klasik. Orang yang mampu menggali dari sumur yang dalam itu tak lain adalah kaum sarungan tersebut.
Mereka juga dapat diharapkan menjadi penyeru cara pandang beragama yang moderat dan cinta kasih.
Di saat ekstremisme terus diproduksi oleh gelombang transnasional, duta-duta ini harus dicetak, diberi kesempatan, dan dioperasionalkan di lingkungan.
Ini adalah investasi. Jika hari ini kita mulai, maka dua atau tiga tahun yang akan datang wacana keagamaan di kampus akan bisa direbutnya.
Ini hanya bayangan sederhana yang saya kira tak terlampau sulit mewujudkannya.
Beberapa pejabat yang memiliki wewenang, misalnya Menteri Agama, Dirjen Pendidikan Islam, Direktur PTKI, dan beberapa Rektor UIN berdiskusi ringan sambil ngopi-ngopi, saya kira sudah cukup. Karena Covid-19 varian India sedang ngegas, pelaksanaan bahkan bisa melalui Whatsapp group atau sekali telepon. Setelah itu tinggal menunggu empat tahun, maka para santri-santri itu akan menjadi role model bagi mahasiswa lainnya, yaitu pribadi yang cerdas, kritis, santuy, dan toleran.
Baca Juga: Pekan Olahraga untuk Menyegarkan Wartawan Profesional
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com