Penulis : Bambang Subagio
Editor : M Asrori S
INFOJAMBI.COM - Anggota MPR RI, Syaifullah Tamliha, mengungkapkan, hampir semua pemilihan Presiden di dunia, temasuk negara besar Amerika Serikat (AS), isu SARA selalu mewarnai setiap menjelang pilpres.
Pertarungan antara Donald Trumph dengan Hillary Clinton, banyak elemen-elemen di AS, seperti Dubes dan para diplomat memprediksi Hillary Clintonlah yang akan menduduki kursi Presiden AS. Sangat sedikit yang memprediksi Trumph menang.
“Tapi, ternyata Donald Trumph yang menang dan kemenangan Trumph karena isu agama. Trumph didukung para pendeta yang tidak menghendaki Hillary menjadi Presiden. Ada beberapa masalah yang menjadi isu agama dari Hillary yang tidak didukung gereja-gereja, seperti janji Hillary jika terpilih menjadi Presiden akan mengesahkan perkawinan sesama jenis,” ujarnya.
Isu SARA ini, lanjut Tamliha, juga terjadi di Yaman antara Houthi dan Presiden Yaman, Abed Rabbo Mansour Hadi. Presiden Hadi diklaim sebagai beraliran Sunni dan Houthi beraliran Syiah. Konflik antara Sunni dan Syiah, selalu ada di Yaman atau tidak pernah akur sampai ke ranah politik.
“Di Indonesia, potensi SARA bukan lagi antar agama, tapi antar aliran dalam satu agama dan makin kencang muncul bergentayangan di media-media sosial hampir setiap hari. Jadi politik aliran dan aliran agama yang paling berpengaruh pada Pilpres 2019, coba telusuri media-media sosial banyak itu,” ujarnya.
Periset dan Program The Indonesia Institute (TII), Yossa Nainggolan, mengakui, munculnya isu SARA terjadi ada sejak dulu dan bukan hanya dalam Pilpres saja. Karena memang isu keragaman dan pluralisme di Indonesia tidak akan pernah selesai.
“Dalam konteks kekinian, mengapa isu SARA tetap ada dan makin meruncing, karena ada sisi pemanfaatan. Isu SARA dilihat akan menggenjot popularitas dan mendegradasi popularitas lawan.
Media sosial ternyata menjadi lahan subur memproduksi isu SARA, jadi memang kita semua mesti bijak dalam hal itu (Pemanfaatan media sosial),” katanya.
Yossa melihat isu SARA, berkaitan erat dengan pemahaman yang baik. Pemahaman yang baik berkaitan erat dengan edukasi dan pendidikan yang baik juga. Pemahaman tentang keberagaman mesti diimplementasikan dalam kurikulum pendidikan.
“Dalam aspek pendidikan dan edukasi soal hal itu masih agak kurang, sehingga masih banyak pihak yang kemudian belum bisa memahami perbedaan dan keberagaman yang ada. Inilah peran negara harus hadir terutama dalam bidang pendidikan itu, agar pemahaman yang luas akan keberagaman dan kebhinnekaan tercipta dengan baik,” ujarnya.***
Baca Juga: Tandem Ideal Jokowi di Pilpres 2019
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com