Laporan Asnelly dari Nusa Tenggara Barat
MALAM telah merayap ketika kami mendarat di Bandara Internasional Lombok yang berlokasi di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Suasana sekitar bandara hingga kota Mataram tidak terlalu ramai, bahkan terkesan lengang untuk sebuah kawasan wisata. Kami tidak dapat melihat hamparan sawah yang dua tahun lalu memesona karena gelap. Namun jalan mulus dan lebar yang dulu belum ada, kini membentang hingga ibu kota Provinsi NTB yang merupakan lumbung pangan Indonesia dengan surplus padi 2,5 juta ton per tahun.
Jalan tersebut boleh dibilang merupakan buah dari kunjungan Presiden Jokowi atas masukan dari Ketua PWI Margiono, pada puncak peringatan Hari Pers Nasional, 2016 lalu. Saat itu puncak HPN dilaksanakan di pinggir pantai yang termasuk Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika. Margiono meminta jalan ke kawasan tersebut diberi perhatian khusus, agar pantai yang indah tersebut bisa berkembang dan menjadi daerah kunjungan wisata andalan.
Hari berikutnya kami mengunjungi Mandalika dan kami temukan pantai itu telah berubah banyak. Selain jalan beraspal dan land mark bertuliskan Mandalika, wisatawan lokal dan mancanegara terlihat cukup banyak. Berbeda dengan Bali yang turis bulenya mendominasi, Lombok terkesan lebih banyak didatangi turis non bule. Kesimpulan sementara itu memperoleh pembenaran dari seorang pejabat Bappeda NTB. Sejak dicanangkannya wisata halal di provinsi itu, terjadi lonjakan kunjungan dari wisatawan Timur Tengah dan Malaysia. Pada tahun 2017 terdapat 3.508.903 wisatawan pesiar ke NTB dan jumlah itu melampaui target daerah.
NTB adalah provinsi pertama di negara ini yang mengeluarkan Perda Pariwisata Halal melalui Perda NTB Nomor 2/2016 dan Peraturan Gubernur Nomor 51/2015 tentang wisata halal. Dengan mentasbihkan dirinya sebagai destinasi wisata yang mengacu kepada nilai-nilai Islam, tentu saja pemandangan nudis yang biasa kita temukan di pantai-pantai Bali, sulit untuk dipergoki di Pulau Lombok.
Seiring dengan dibangunnya kawasan Mandalika yang konon telah menarik investor dengan nilai mencapai 3,5 miliar, Pemerintah Provinsi NTB mencanangkan 100 Desa Wisata hingga tahun 2019. Desa wisata yang dimaksudkan di sini adalah konsep wisata dimana terdapat pengintegrasian atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung di suatu desa untuk kepentingan wisata. Masyarakat desa merupakan tuan rumah dan pelaku usaha wisata tersebut sekaligus memperoleh manfaat paling besar dari kunjungan wisatawan.
Dua desa wisata yang kami kunjungi selama berada di Lombok adalah Desa Setanggor dan Sade. Desa Sade muncul lebih dahulu dan sangat populer. Warganya tinggal di rumah-rumah kecil berlantai tanah dan beratap jerami yang rendah. Kios suvenir yang melekat ke rumah-rumah tersebut menambah pengap. Desa Sade unik, pekat dengan tradisi masa lalu namun sekaligus menyedihkàn. Mereka terlihat seperti sekumpulan orang-orangan dalam akuarium berwujud desa.
Desa Setanggor diharapkan menjadi perwujudan yang lebih baik dari konsep desa wisata. Di sini turis diminta beradaptasi dengan gaya hidup warga desa. Misalnya, turis diminta mengenakan sarung layaknya penduduk lokal. Turis juga diajak melakoni aktivitas sehari-hari masyarakat, seperti bekerja di sawah plus makan bersama di pondok tengah sawah, mencabut ubi di ladang, memetik buah sawo, jagung dan mengurus kambing/sapi di kandang hingga tinggal bersama keluarga desa.
Beberapa kamar di keluarga Desa Setanggor telah direnovasi menjadi home stay. Mungkin hanya di desa ini pula ada kegiatan mengaji di tengah sawah untuk atraksi bagi turis khususnya yang berasal dari Malaysia. Entah kegiatan ini benar secara syariah (atau malah tidak pantas?) namun pengayaan atraksi wisata di desa ini patut dipuji, sebab warganya tidak (atau setidaknya belum) terkungkung oleh semangat mendapatkan uang seperti warga di desa Sade.
Pemandu wisata Setanggor, Ida memastikan dirinya dan 14 kepala dusun di desa itu akan menolak permintàan atraksi dari turis yang tidak sesuai nilai Islam dan yang akan melecehkan budaya/martabat warga. Salah satunya, turis yang menginap harus bisa menunjukkan bukti perkawinan dengan pasangannya.
Ciri keislaman pada pariwisata di NTB bertambah dengan kehadiran Masjid Raya Hubbul Wathan, sekaligus Islamic Centre NTB. Dari menaranya yang berlantai 13 dan dilengkapi lift, pengunjung dapat melihat antero Pulau Lombok dan kubah-kubahnya yang dibanggakan warga dengan julukan Pulau 1000 masjid. Perjalanan ke puncak menara yang dibangun PT. Newmont Indonesia ini dipandu petugas yang sopan dan ramah, tanpa dipungut bea masuk, kecuali sedekah seturut keikhlasan pengunjung.
Terlepas dari semua usaha untuk menerapkan konsep wisata yang halal, menguntungkan bagi masyarakat sekaligus melindungi mereka dari infiltrasi budaya yang tidak sehat dan tidak berakar dari norma agama maupun tradisional Indonesia, harus diakui cukup sulit untuk mengarahkan masyarakat agar jujur dan bersikap menghargai keinginan wisatawan untuk sendiri atau tidak diganggu.
Kejujuran menjadi sulit terutama dalam berdagang. Tidak adanya standar harga yang berlaku menyebabkan —misalnya— kain tenun dengan kualitas yang sama dijual dengan harga yang jauh berbeda. Atau perilaku para penjaja suvenir yang memaksa dan mengerubuti wisatawan agar membeli dagangan mereka. Tentang harga, seorang penjual bercerita tentang wisatawan yang tetangis karena membeli kain tenun kelewat mahal. Rupanya dia terlanjur membeli kain tersebut seharga 500 ribu rupiah di Desa Sade.
“Di sini kain seperti itu kami jual hanya seratus ribu,” ucap penjaja suvenir di Pantai Kuta itu dengan ekspresi mengejek. ***
Baca Juga: Memeriah HPN 2024, Pertamina Hulu Energi Gelar Media Gathering di Lombok
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com