JAKARTA - Pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy, mengatakan, meski saat ini defisit anggaran telah mencapai di atas 2,9 persen atau mulai rawan atas pelanggaran undang-undang yang memungkinkan jatuhnya pemerintahan. Namun, dia menyakini pemerintahan tak akan jatuh, karena batasan defisit itu tidak bisa lagi dijadikan acuan secara konstitusi, karena kuatnya posisi Pemerintah atas kekuatan Legislatif di Senayan.
Keyakinan Noorsy, dilatarbelakangi kooptasi kekuatan eksekutif atas lembaga Legislatif dan Parpol yang akan membuat posisi Pemerintahan Presiden Joko Widodo aman, hingga akhir periode 2019, meski defisit anggaran berpotensi melewati angka 3 persen.
“Legsilatif telah terkooptasi oleh eksekutif. Tak akan jatuh pemerintahan. Selain Legislatif, hampir semua Parpol yang ada juga sudah mendukung pemerintahan Jokowi-JK, menjelang Pemilu 2019,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Utang Luar Negeri Indonesia dari Masa ke Masa” yang dilaksanakan DPR, Kamis (13/7).
Turut jadi nara sumber, dalam diskusi itu, Ketua Banggar DPR, Aziz Syamsuddin (Golkar) dan Anggota Komisi XI DPR, Maruarar Sirait dari PDI Perjuangan.
Menurut Noorsy dalam kondisi begini, mau defisit anggaran di atas 3 persen pun, tidak akan ada masalah, padahal, dalam undang-undang kalau defisit anggaran telah melebihi 3 persen, maka pemerintah berpotensi untuk dimakzulkan. Dia mencontohkan, bagaimana Pemerintah dengan mudah melanggar Pasal 33 UUD 45, setelah menyerahkan soal harga bahan bakar ke mekanisme pasar bebas.
“Dalam kondisi demikian saja DPR tidak bisa berkutik, padahal jelas sebuah pelanggaran undang-undang. Apalagi gi soal defisit,” ujarnya.
Sementara DPR, Azis Syamsudin, mengakui melonjaknya utang luar negeri (ULN) Indonesia memiliki pengaruh terhadap market. Namun demikian, Pemerintah dan DPR selalu mengusahakan agar tetap terjaga.
"Ya memang ada ke arah itu, tapi Pemerintah dan DPR selalu komunikasi," katanya
Menurut Azis, hingga saat ini secara teori rasio utang Indonesia masih aman, namun operasionalnya bisa berbeda. Makanya, agar utang luar negeri bisa dikendalikan.
"Kita usulkan, agar utang Pemerintah dan swasta dimonitor Pemerintah," tambahnya.
Namun begitu, Azis tak membantah ULN harus terus dikaji dan hingga sekarang masih terus berproses. ULN diperlukan karena target pajak tidak tercapai sekitar Rp 37 triliun.
"Makanya Pemerintah, kita desak untuk menggenjot penerimaan pajak," tegasnya.
Dikatakan Maruarar Sirait, struktur APBN memang dibangun 75 persen dari pajak. Target pajak tak terpenuhi, karena memang ekonomi sedang melambat.
"Tentu setiap negara cara menghadapinya berbeda-beda guna mendorong pertumbuhan, kita sarankan beri kemudahan untuk UKM dan swasta. Jadi harus ada berbagai sistem untuk mencapai target pajak itu," tuturnya.
Sebagai parpol koalisi menurut politisi PDIP ini, pihaknya mendukung ada pemotongan anggaran pada berbagai Kementerian dan Lembaga.
"Kita setuju, kalau yang dipotong itu perjalanan dinas, kunker, seminar dan lain-lainnya. Namun kalau dana subsidi jangan, karena itu untuk rakyat," ungkap dia lagi.
Berdasarkan data, kata Ara-sapaan akaranya, utang luar negeri mencapai Rp 384 triliun. Namun, ULN lebih banyak untuk pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia. Lihat saja, jalan macet dimana-mana karena proyek infrastruktur MRT, LRT sedang dikerjakan.
"Kalau ULN untuk fasilitas negara, tidak perlu. Jadi UKN karena target pajak terlalu tinggi. Kita harus realistis, jadi ini ketinggian. Apalagi target pajak beberapa tahun memang tidak pernah tercapai," tegasnya. (infojambi.com)
Laporan : Bambang Subagio ll Editor : M Asrori
Baca Juga: Safrial Pusing, Akhirnya Mengadu ke Pusat
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com