Koto Boyo Under Cover : Mafia Menantang Negara, Kejagung Harus Turun Tangan

Di Koto Boyo, Kabupaten Batanghari, aktivitas tambang batubara yang semestinya menjadi motor ekonomi daerah justru menjelma menjadi simbol kerakusan.

Reporter: - | Editor: Admin
Koto Boyo Under Cover : Mafia Menantang Negara, Kejagung Harus Turun Tangan
Ilustrasi | by copilot

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi, Sosial dan Politik


DI BALIK hamparan tanah hitam dan lalu-lalang truk pengangkut batubara, tersimpan kisah gelap tentang kekuasaan, uang, dan hukum yang kehilangan taringnya. Di Koto Boyo, Kabupaten Batanghari, aktivitas tambang batubara yang semestinya menjadi motor ekonomi daerah justru menjelma menjadi simbol kerakusan. Mafia batubara beroperasi dengan rapi, menumpuk keuntungan dari sumber daya yang seharusnya milik rakyat, sementara negara hanya mendapat debu dan kerusakan.

Baca Juga: Mobil Batubara Terbakar di Lintas Sumatera

Data yang terungkap menunjukkan betapa dalamnya lubang hitam ini. Sedikitnya sembilan perusahaan tambang diketahui beroperasi di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sawit Desa Makmur (SDM), seluas lebih dari 14 ribu hektar. Beberapa di antaranya — PT Bumi Bara Bangun Mandiri (BBMM), PT Tambang Bukit Tambi (TBT), PT Bumi Makmur Sejati (BMS), dan PT Batu Hitam Sukses (BHS) — beroperasi dengan izin yang kabur, bahkan menambang di luar wilayah izin usaha pertambangan (IUP). Di lapangan, lubang-lubang tambang dibiarkan menganga tanpa reklamasi, menciptakan ancaman ekologis dan sosial yang nyata.

Investigasi lapangan yang dilakukan oleh sejumlah media dan lembaga lingkungan memperlihatkan bukti mencolok: lubang tambang seluas 3,2 hektar dengan kedalaman hingga empat meter ditemukan di wilayah Koto Boyo, tergenang air dan tanpa tanda-tanda pemulihan lingkungan. Jalan desa rusak berat akibat truk-truk batubara yang melintas tanpa henti, sementara sungai yang dulu menjadi sumber air warga kini keruh bercampur lumpur. Masyarakat adat, termasuk kelompok Suku Anak Dalam, melaporkan gangguan kesehatan dan kehilangan akses air bersih.

Baca Juga: PMII Sarolangun Sorot Tiga Perusahaan Batubara, Nahhh....

Namun yang paling menyesakkan bukanlah kerusakan alam, melainkan kenyataan bahwa semua ini terjadi dengan seolah tanpa pengawasan. Di balik operasi tambang yang kotor ini, mengalir pula uang dalam jumlah besar — uang yang seharusnya masuk ke kas negara, tapi justru tersangkut di kantong segelintir orang. Dugaan manipulasi laporan produksi, penghindaran pajak, serta praktik setoran ilegal menjadi pola yang berulang. Kajian ekonomi energi memperkirakan potensi kerugian negara dari aktivitas tambang ilegal di Batanghari, termasuk Koto Boyo, mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah per tahun.

Provinsi Jambi sendiri memiliki cadangan batubara lebih dari 2,13 miliar ton, dengan produksi tahunan sekitar 10 juta ton. Dari jumlah itu, Batanghari menyumbang sekitar 2,7 juta ton per tahun. Namun dari ratusan perusahaan yang tercatat, sekitar separuh belum berstatus “clear and clean” menurut laporan KPK. Artinya, separuh aktivitas tambang di Jambi berpotensi bermasalah secara hukum maupun administrasi.

Baca Juga: Hindari Lobang, Truk Batubara Terguling Masuk Sungai

Dalam konteks ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) memiliki alasan kuat untuk turun tangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dipidana hingga lima tahun penjara dan denda Rp100 miliar. Jika ada penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik, maka bisa dijerat pula dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bila ditemukan aliran dana ilegal.

Langkah Kejagung diharapkan tidak berhenti pada penindakan pelaku di lapangan. Penegakan hukum harus menyasar dalang di balik permainan izin, manipulasi laporan produksi, dan perlindungan dari oknum aparat atau pejabat daerah. Tanpa tindakan struktural, mafia tambang akan terus berganti wajah, sementara kerusakan lingkungan dan penderitaan warga tetap menjadi warisan.

Koto Boyo kini menjadi cermin: ketika negara membiarkan tambang ilegal tumbuh, yang terjadi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap amanat konstitusi untuk mengelola sumber daya alam sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Kejagung tak boleh hanya menonton. Lubang-lubang tambang di Koto Boyo bukan sekadar luka di tanah, tapi juga simbol ketidakadilan. Di sinilah negara diuji — apakah ia masih punya keberanian menegakkan hukum di hadapan kekuatan modal gelap.

Karena jika Koto Boyo dibiarkan, maka bukan hanya batubaranya yang hilang, tapi juga wibawa hukum itu sendiri. ***

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya