JAKARTA, INFOJAMBI.COM - Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) berada dalam kondisi masih terjaga, di tengah tekanan perekonomian global yang meningkat, sebagai akibat berlanjutnya perang di Ukraina, tekanan inflasi global, serta respons pengetatan kebijakan moneter global yang lebih agresif.
Resiliensi SSK Triwulan II 2022 menjadi pijakan KSSK untuk tetap optimis dengan terus mewaspadai seluruh tantangan dan risiko yang dihadapi.
Baca Juga: OJK Catat Likuiditas dan Permodalan Lembaga Jasa Keuangan Tetap Baik
Demikian ditekankan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan ( OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Rapat Berkala KSSK III tahun 2022, Jumat (29/7), di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, disertai meningkatnya risiko stagflasi dan ketidakpastian pasar keuangan global.
Baca Juga: Pengamat : Tak Harus Tunggu 2023, Semua UUS Sudah Spin Off
Tekanan inflasi global terus meningkat seiring dengan tingginya harga komoditas akibat berlanjutnya gangguan rantai pasokan, diperparah oleh berlanjutnya perang di Ukraina, serta meluasnya kebijakan proteksionisme, terutama pangan.
Berbagai negara, terutama Amerika Serikat (AS) merespons peningkatan inflasi tersebut dengan pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif sehingga menahan pemulihan ekonomi dan meningkatkan risiko stagflasi.
Baca Juga: BTPN Wow! Dorong Perluasan Akses Keuangan
Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti AS, Eropa, Jepang, Tiongkok, dan India, diperkirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, yang disertai dengan meningkatnya kekhawatiran resesi di AS.
Bank Dunia dan IMF merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan global tahun 2022, masing-masing dari 4,1 persen menjadi 2,9 persen dan dari 3,6 persen menjadi 3,2 persen.
Meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global mengakibatkan aliran keluar modal asing, khususnya investasi portofolio, dan menekan nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Perbaikan perekonomian domestik pada triwulan II 2022 diproyeksikan terus berlanjut, ditopang oleh peningkatan konsumsi dan investasi serta kinerja ekspor.
Berbagai indikator dini pada Juni 2022 tercatat tetap baik. Indeks Penjualan Riil (IPR) tumbuh 15,4 persen (yoy). Kinerja sektor manufaktur tetap positif sebagaimana tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur yang masih ekspansif di level 50,2 dan menguat kembali pada Juli 2022 ke level 51,3.
Konsumsi listrik baik industri maupun bisnis juga tumbuh positif. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) meningkat ke level 128,2 dari posisi Maret 2022 di level 111,0 yang menunjukkan optimisme masyarakat terhadap prospek pemulihan ekonomi.
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diprakirakan tetap kuat, di tengah meningkatnya tekanan terhadap arus modal. Transaksi berjalan triwulan II 2022 diproyeksikan mencatat surplus, lebih tinggi dibandingkan dengan capaian surplus pada triwulan I, terutama didukung oleh kenaikan surplus neraca perdagangan, sejalan dengan masih tingginya harga komoditas global. Pada Juni 2022 surplus neraca perdagangan tercatat mencapai USD5,09 miliar dan selama triwulan II 2022 mencapai USD15,55 miliar.
Neraca transaksi modal dan finansial diperkirakan tetap terjaga didukung oleh aliran modal masuk dalam bentuk penanaman modal asing (PMA). Sementara itu, investasi portofolio pada triwulan II 2022 mencatat net inflow sebesar USD 0,2 miliar.
Namun demikian, memasuki triwulan III 2022 (hingga 28 Juli 2022), investasi portofolio mencatat net outflow sebesar USD2,05 miliar sejalan dengan ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi. Sementara itu, posisi cadangan devisa akhir Juni 2022 masih tetap kuat, tercatat sebesar USD136,4 miliar, setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor.
Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah meningkat sebagaimana juga dialami oleh mata uang negara-negara lainnya, di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.
Hingga 28 Juli 2022, secara year to date (ytd), nilai tukar Rupiah melemah 4,55 persen, relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan, seperti Malaysia (6,46 persen), India (6,80 persen), dan Thailand (9,24 persen).
Sementara itu, perkembangan inflasi domestik perlu terus dicermati. Laju Inflasi menunjukkan tren meningkat karena tingginya tekanan sisi penawaran seiring dengan kenaikan harga komoditas dunia dan gangguan pasokan domestik.
Laju inflasi Juli 2022 tercatat 4,94 persen (yoy), meningkat dibandingkan Juni 2022 yang tercatat 4,35 persen (yoy) dan akhir triwulan I di level 2,64 persen (yoy).
Sementara itu, inflasi inti tetap terjaga pada level 2,86 persen (yoy), didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi. Sinergi dan koordinasi terkait inflasi juga dilakukan BI dengan Pemerintah, termasuk dengan Pemerintah daerah melalui TPIP dan TPID.
Sedangkan inflasi kelompok volatife food meningkat terutama oleh kenaikan harga pangan global dan terganggunya pasokan akibat cuaca. Inflasi kelompok administered prices meningkat dipengaruhi oleh inflasi angkutan udara.
Tekanan inflasi akibat kenaikan harga energi global tidak sepenuhnya ditransmisikan pada administered price sejalan dengan kebijakan Pemerintah mempertahankan harga jual energi domestik melalui instrumen APBN. Dibandingkan dengan negara peers, seperti Thailand (7,7 persen), India (7,0 persen), dan Filipina (6,1 persen), inflasi Indonesia masih relatif moderat.
Dari sisi fiskal, APBN melanjutkan kinerja yang positif. Realisasi Pendapatan Negara hingga akhir Juni 2022 mencapai Rp1.317,2 triliun atau 58,1 persen dari target APBN (Perpres 98/2022), tumbuh 48,5 persen (yoy).
Kinerja Pendapatan Negara didukung oleh pemulihan aktivitas ekonomi yang semakin menguat, kenaikan harga komoditas, serta perbaikan kebijakan dan administrasi perpajakan.
Realisasi Belanja Negara mencapai Rp1.243,6 triliun atau 40 persen dari pagu yang terdiri dari realisasi Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp876,5 triliun (38,1 persen dari pagu) dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa mencapai Rp 367,1 triliun (45,6 persen dari pagu).
Belanja Negara tetap dioptimalkan untuk menopang tren pemulihan agar tetap berlanjut dan semakin menguat. Dengan perkembangan tersebut, APBN mencatatkan surplus Rp73,6 Triliun atau 0,39 persen terhadap PDB.
Kinerja APBN yang positif tersebut menjadi modal untuk mengantisipasi ketidakpastian sekaligus menjadi pondasi untuk memperkuat konsolidasi fiskal tahun 2023.
Pemerintah terus mendorong resiliensi ekonomi melalui instrumen fiskal serta terus mengoptimalkan peran APBN sebagai shock absorber, antara lain melalui pengendalian inflasi dan melindungi daya beli masyarakat serta menjaga momentum pemulihan ekonomi dengan tetap menjaga keberlanjutan fiskal jangka panjang.
Pemerintah juga akan terus menjaga stabilitas pasar SBN dengan menjaga disiplin fiskal serta menerapkan strategi pembiayaan yang fleksibel dan oportunistis namun tetap prudent.
Upaya untuk mengendalikan inflasi dan melindungi daya beli melalui instrumen fiskal ditempuh dengan:
‐ Menjaga harga jual BBM, LPG, dan listrik (administered price) tidak naik;
‐ Pemberian insentif selisih harga minyak goreng agar harganya tetap terjangkau bagi masyarakat;
‐ Pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) Pangan;
‐ Menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok dalam negeri melalui cadangan stabilisasi harga pangan (CSHP), antara lain kedelai dan jagung; dan
‐ Penurunan pungutan ekspor untuk mendorong peningkatan ekspor dan sekaligus mendorong kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) di level petani (PMK No.115/PMK.05/2022).
Sementara itu, upaya untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi ditempuh dengan :
‐ Menjaga pelaksanaan APBN 2022 tetap fleksibel untuk antisipasi ketidakpastian, antara lain dengan penerapan automatic adjustment;
‐ Mendorong program PEN tetap responsif dan antisipatif diselaraskan dengan perkembangan Covid-19 dan tren pemulihan ekonomi;
‐ Penguatan dukungan untuk UMKM, antara lain melalui program KUR dan penjaminan
‐ Menjaga pasokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri dalam rangka menjaga ketahanan energi (PMK No.17/PMK.02/2022);
‐ Dukungan untuk proyek padat karya, pariwisata, ketahanan pangan; dan ‐ Insentif perpajakan PPh pasal 22 impor.
Adapun upaya untuk menjaga agar peran APBN sebagai shock absorber dapat berfungsi optimal, maka keberlanjutan fiskal jangka menengah – panjang perlu dijaga melalui:
‐ Menjaga reformasi fiskal dan reformasi struktural dapat berjalan efektif;
‐ Komitmen seluruh K/L untuk penguatan spending better, penerapan zero based budgeting, agar belanja lebih efisien namun tetap produktif untuk menstimulasi perekonomian; dan
‐ Mengendalikan defisit dan utang dalam batas aman melalui komitmen konsolidasi fiskal pada tahun 2023.
BI terus memperkuat bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan memperkuat pemulihan. Sejalan dengan arah kebijakan tersebut, BI mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI-7DRR) pada level 3,50%.
Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi inti yang masih terjaga di tengah risiko dampak perlambatan ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
BI terus mewaspadai risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti ke depan, serta memperkuat respons bauran kebijakan moneter yang diperlukan baik melalui stabilisasi nilai tukar Rupiah, penguatan operasi moneter, dan suku bunga.
BI memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah sebagai bagian untuk pengendalian inflasi melalui intervensi di pasar valas yang didukung dengan penguatan operasi moneter.
BI memperkuat operasi moneter sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk memitigasi risiko kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang dan penjualan SBN di pasar sekunder.
BI melakukan normalisasi kebijakan likuiditas melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah secara bertahap dan pemberian insentif GWM yang berlangsung tanpa mengganggu kondisi likuiditas dan intermediasi perbankan.
Penyesuaian secara bertahap GWM Rupiah dan pemberian insentif GWM sejak 1 Maret sampai 15 Juli 2022 menyerap likuiditas perbankan sekitar Rp 219 triliun.
Penyerapan likuiditas tersebut tidak mengurangi kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit/pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pembelian SBN untuk pembiayaan APBN.
Penyaluran kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha terus menunjukkan pemulihan dengan kecukupan likuiditas yang terjaga.
Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan Kesepakatan Bersama BI dan Kemenkeu, BI hingga 20 Juli 2022 melanjutkan pembelian SBN di pasar perdana sejalan dengan program pemulihan ekonomi nasional serta pembiayaan penanganan kesehatan dan kemanusiaan dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19 sebesar Rp56,11 triliun.
BI melanjutkan implementasi kebijakan makroprudensial akomodatif selama triwulan II 2022 dalam upaya mengakselerasi pemulihan intermediasi guna memperkuat momentum pemulihan ekonomi.
Hal ini dilakukan dengan mempertahankan: (i) rasio Countercyclical Capital Buffer (CCyB) sebesar 0 persen; (ii) Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada kisaran 84-94 persen; serta (iii) rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 6 persen dengan fleksibilitas repo sebesar 6 persen, dan rasio PLM Syariah sebesar 4,5 persen dengan fleksibilitas repo sebesar 4,5 persen.
Perbankan terus didorong untuk meningkatkan penyaluran kredit kepada sektor prioritas dan inklusif melalui pemberian insentif bagi bankbank yang menyalurkan kredit/pembiayaan kepada sektor prioritas dan UMKM dan/atau memenuhi target Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM), mulai berlaku sejak 1 Maret 2022 dengan besaran insentif akan ditingkatkan pada 1 September 2022.
Sementara itu, kebijakan publikasi asesmen transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) terus diperkuat untuk mendorong efektivitas transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial.
BI terus memperkuat kebijakan sistem pembayaran guna meningkatkan efisiensi biaya, memudahkan transaksi keuangan dan aktivitas ekonomi masyarakat, serta akselerasi inklusi keuangan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Hal ini dilakukan dengan berbagai upaya seperti melanjutkan kebijakan batas minimal pembayaran dan nilai denda keterlambatan pembayaran Kartu Kredit, memperpanjang masa berlaku Merchant Discount Rate (MDR) QRIS untuk merchant kategori Usaha Mikro sebesar 0 persen menjadi 31 Desember 2022, melanjutkan masa berlaku kebijakan tarif SKNBI sebesar Rp1 dari BI ke bank dan maksimum Rp 2.900 dari bank kepada nasabah sampai dengan 31 Desember 2022, meningkatkan batas nilai yang dapat disimpan pada uang elektronik registered dan batas nilai transaksi bulanan, memperluas ekosistem dan fitur QRIS termasuk QR antarnegara menggunakan mata uang lokal, dan memastikan operasionalisasi Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP) berjalan lancar.
Selain itu, dalam rangka pengelolaan uang Rupiah, BI juga akan terus memastikan ketersediaan uang Rupiah dengan kualitas yang terjaga di seluruh wilayah NKRI, antara lain melalui distribusi uang Rupiah ke daerah 3T (Terluar, Terdepan, Terpencil) dan penguatan edukasi Cinta, Bangga, Paham (CBP) Rupiah.
BI memperkuat kebijakan internasional dengan memperluas kerja sama cross border payment connectivity, fasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait termasuk dengan memperluas penggunaan Local Currency Settlement (LCS) sebagai sarana untuk penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi bilateral dengan negara-negara mitra utama, serta bersama Pemerintah menyukseskan 6 (enam) agenda prioritas jalur keuangan Presidensi Indonesia pada G20 tahun 2022.
BI terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah (Pusat dan Daerah) dan instansi terkait melalui Tim Pengendalian Inflasi (TPIP dan TPID) untuk mengelola tekanan inflasi dari sisi suplai dan mendorong produksi serta mendukung ketahanan pangan.
Guna menjaga stabilitas makroekonomi dengan tetap mendukung proses pemulihan ekonomi nasional, koordinasi kebijakan moneter dan fiskal terus ditingkatkan.
SSK dan kinerja sektor jasa keuangan relatif terjaga dengan intermediasi lembaga jasa keuangan yang masih tumbuh sejalan dengan kinerja perekonomian domestik.
Kredit perbankan pada triwulan II 2022 tumbuh sebesar 10,66 persen (yoy) per Juni 2022, ditopang pertumbuhan kredit korporasi sebesar 12,87 persen (yoy). Sementara, Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh sebesar 9,13 persen (yoy) di tengah giro yang tumbuh 19,57 persen (yoy) diikuti tabungan 12,31 persen (yoy).
Sejalan dengan kinerja intermediasi perbankan, penyaluran pembiayaan melanjutkan tren positif dengan pertumbuhan 5,63 persen(yoy) per Juni 2022 didukung pembiayaan terutama investasi dan modal kerja yang tumbuh masing-masing sebesar 19,6 persen dan 18,8 persen.
Industri perasuransian berhasil meningkatkan penghimpunan premi hingga Rp27,8 triliun pada Juni 2022 dengan premi Asuransi Jiwa Rp15,2 triliun dan Asuransi Umum Rp12,6 triliun. Penghimpunan dana di pasar modal hingga 26 Juli 2022 mencapai Rp123,5 triliun dengan tambahan 32 emiten baru.
Sementara kinerja pasar saham masih mampu menguat 5,70 persen (ytd) ke level 6.898,22 per 27 Juli 2022 dan termasuk dalam bursa saham dengan kinerja terbaik di kawasan. Hal ini ditunjang dengan net buy non residen di pasar saham Rp58,29 triliun di tengah volatilitas pasar keuangan global.
Namun demikian, perlu dicermati bahwa tekanan terhadap pasar keuangan global juga sudah mulai berdampak pada pasar saham domestik. Hal ini terlihat dari meningkatnya volatilitas di pasar saham domestik dan kendati secara ytd non residen masih mencatatkan inflow sebesar Rp 58,29 triliun, namun sejak bulan Mei hingga 27 Juli 2022 telah mencatat net sell sebesar Rp13,88 triliun, sejalan dengan outflow di emerging economy lainnya.
Risiko kredit terjaga, baik pada industri perbankan maupun pembiayaan didukung likuiditas yang memadai dan permodalan yang kuat. NPL gross perbankan per Juni 2022 terpantau turun menjadi sebesar 2,86 persen, sementara rasio NPF perusahaan pembiayaan di level 2,81 persen.
Likuiditas perbankan memadai dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) di level 133,35 persen dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) di level 29,99 persen pada Juni 2022.
Ketahanan permodalan industri jasa keuangan memadai dengan CAR perbankan mencapai 24,69 persen, sejalan dengan kuatnya permodalan industri asuransi jiwa dan asuransi umum dengan Risk-Based Capital (RBC) masing-masing di level 481,01 persen dan 318,24 persen.
Demikian halnya dengan gearing ratio perusahaan pembiayaan yang sebesar 1,98 kali. Dalam rangka menjaga SSK di tengah meningkatnya risiko eksternal, OJK akan proaktif memperkuat kebijakan prudensial di sektor jasa keuangan dalam menjaga stabilitas industri jasa keuangan.
Dari penjaminan simpanan, jumlah rekening nasabah yang dijamin seluruh simpanannya oleh LPS per Juni 2022 sebanyak 99,93 persen dari total rekening atau setara 484,74 juta rekening.
Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) perbankan dipertahankan di level 3,50 persen untuk simpanan dalam Rupiah dan 0,25 persen untuk simpanan valuta asing di Bank Umum, sedangkan untuk simpanan Rupiah di BPR tetap di level 6,0 persen.
Keputusan tersebut sejalan dengan laju penurunan suku bunga simpanan perbankan yang mulai terbatas, prospek likuiditas yang relatif stabil, serta optimisme terhadap perkembangan SSK terkini yang diperkuat dengan sinergi kebijakan lembaga anggota KSSK dalam mendukung pemulihan perekonomian. Ke depan, LPS akan terus melakukan asesmen terhadap perkembangan kondisi perekonomian dan perbankan serta dampaknya pada penetapan TBP.
KSSK akan terus mencermati perkembangan berbagai faktor risiko baik global maupun domestik dan melakukan langkah-langkah kebijakan yang terkoordinasi untuk menjamin optimalisasi dan efektivitas kebijakan dalam menjaga SSK serta mendukung penguatan pemulihan ekonomi. “KSSK akan kembali menyelenggarakan rapat berkala pada bulan Oktober 2022,” tutup KSSK. ***
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com