JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy (LE), mengatakan, Pemerintah dan DPR tak perlu cawe-cawe mengutak-atik urusan rumah tangga (RT) kesultanan Yogyakarta.
Semua pihak hendaknya menerima apapun keputusan atau kesepakatan yang diambil kalangan internal keraton Yogyakarta.
“Biarkan keraton menyelesaikan urusan internalnya sendiri. Model monarkhi dalam sebuah pemerintahan itu, merupakan kearifan lokal yang menarik bagi dunia dan harus dijaga. Yang penting, kepentingan kita cuma satu, jangan sampai terpecah-belah,“ ujar LE dalam forum legislasi, bertema “Dampak Panjang MK Kabulkan Uji Materi UU No.13/Tahun 2012” di media center DPR Jakarta, Kamis (5/9). Turut hadir Pengamat Politik Margarito Kamis.
LE mengingatkan perdebatan Uji Materi UU No.13/Tahun 2012 dan lamanya pembahasan cukup menyita perhatian publik. Bahkan, menimbulkan adanya mobilisasi di Yogyakarta dan kemudian DPR mengesahkan UU DIY ini lengkap dengan persoalan yang ditimbulkannya.
Adanya wacana untuk merevisi UU berhubungan Pilkada di DI Yogyakarta, dihubungkan dengan keputusan MK mengenai calon Gubernur dan Wagub dibolehkan wanita yang sebelumnya hanya pria.
“Tentu DPRD DI Yogyakarta juga akan menyinkronkan Perda tentang Pilkada di wilayahnya merubah syarat pencalonan yang awalnya hanya untuk pria sekarang ditambah wanita. Tapi, itupun tergantung dari DPRD sana,” ujar LE.
Hal senada dikatakan oleh Margarito Kamis. Menurutnya, Pemerintah dan DPR diminta untuk tidak mengutak-atik urusan rumah tangga (RT) kesultanan Yogyakarta. Apapun yang diputuskan oleh hasil kesepakatan ‘orang dalam’, maka itulah yang harus diterima, termasuk apabila yang menjadi Sultan nantinya tetap laki-laki bukan perempuan.
“Jika sudah jadi Sultan, maka otomatis menjadi Gubernur DI Yogyakarta. Apakah dia pria atau wanita. Tergantung keputusan keluarga dalam kesultanan,” katanya.
Margarito menanggapi soal Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan syarat pencalonan Gubernur dan Wagub Daerah Istimewa Yogyakarta yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU 13/2012, tentang Keistimewaan DIY.
Pasal tersebut menjelaskan, syarat Cagub dan Cawagub Yogyakarta harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Menurut Margaritho, semua pihak mestinya tahu sejarah bagaimana Yogyakarta mau menyatu dengan Republik Indonesia. Sebab, katanya predikat Daerah Istimewa (DI) itu, bukan pemberian Pemerintah Indonesia, melainkan pernyataan Sultan Yogyakarta saat mau bergabung dengan Indonesia. Bukan dari pemberian Pemerintah Indonesia melalui Presiden Soekarno.
“Jadi, urusan soal DI ini, hanya antara Sultan dengan Presiden langsung sedangkan di luar itu, tidak ada kekuatan,“ ujarnya. (infojambi.com)
Laporan : Bambang Subagio ll Editor : M Asrori
Baca Juga: Ruang Penyimpan Arsip Dokumen Pansus Angket Pelindo II DPR RI Terbakar
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com