INFOJAMBI.COM - Wakil Ketua Komisi IX, Melki Laka Lena mengatakan perlunya pendapat resmi dari institusi Mabes Polri, Kejagung dan BPK menyusul adanya perbedaan penafsiran dalam pasal 21 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 87/Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.
"DPR minta clearance resmi dari Kapolri, Kejagung dan BPK RI atas perbedaan tafsir antara Kemenkes dan BPJS Kesehatan tersebut, " kata Melki Laka Lena di Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Baca Juga: Ruang Penyimpan Arsip Dokumen Pansus Angket Pelindo II DPR RI Terbakar
Menurut Melki, keluarnya sikap resmi ketiga instansi tersebut sangat penting agar BPJS Kesehatan bisa segera mengeksekusi keputusan bersama DPR RI dan pemerintah untuk tidak menaikkan iuran peserta BPJS kesehatan kelas lll pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) tanpa khawatir mendapat masalah hukum dikemudian hari.
Melki menyebut ada kelompok pakar hukum yang memberikan tafsir kata “dapat” dalam aturan hukum yang diperdebatkan Kemenkes RI dan BPJS Kesehatan artinya boleh menambah opsi lain. Sementara kelompok pakar hukum lain ada yang memberikan tafsir kata dapat tersebut tidak dalam rangka menambah opsi lain.
Baca Juga: Refleksi HUT ke-72 DPR Taufik Kurniawan : Kritik DPR Secara Konstruktif
"Dua perbedaan tafsir kelompok hukum harus segera diatasi dengan adanya clearance resmi dari Kapolri, Kejagung dan BPK RI, " kata wakil rakyat dapil NTT tersebut.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad saat memimpin Focus Group Discussion (FGD) Selasa (28/1/2020) meminta agar dalam waktu dua hari masing-masing kementerian dan lembaga menyerahkan pendapat/opini kepada DPR RI dan Legal Opinion (LO) dari Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara RI.
Baca Juga: Lukman Edy : Jangan Cawe-cawe Urusan Keraton Jogya
“Pendapat dan LO tersebut akan digunakan sebagai landasan hukum bagi BPJS Kesehatan untuk mengimplementasikan alternative solusi untuk membayar selisih kenaikan iuran PBPU dan BP kelas III sejumlah 19.961.569 jiwa,” tegas Sufmi didampingi Melki Laka Lena.
Dalam FGD, Menkes Terawan Agus Putranto menjelaskan kata “dapat” berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa berdasarkan angka 267 Bab III Lampiran II disebutkan bahwa kata “dapat” digunakan untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang/lembaga sehingga memungkinan asset DJS Kesehatan digunakan selain yang terdapat di dalam pasal tersebut.
“Dengan demikian kata “dapat” dalam pasal 21 PP Nomor 87/2013 merupakan bentuk pemberian diskresioner dari penggunaan asset DJS Kesehatan, sehingga memungkinan asset DJS Kesehatan digunakan selain yang terdapat di dalam pasal tersebut,” jelas Terawan.
Direktur Utama BPJS, Fachmi Idris mengatakan berdasarkan peraturan perundangan, penggunaan asset DJS termasuk surplus DJS tidak dimungkinkan untuk digunakan membayar selisih kenaikan iuran PBPU kelas III.
Merujuk pada ketentuan Pasal 43 UU BPJS, menurut Fachmi tidak disebutkan tindakan yang dapat didiskresi maupun lembaga yang diberikan kewenangan melakukan diskresi atas ketentuan Pasal 21 PP 87/2013. Sehingga penggunaan kata “dapat”pada pasal tersebut, kata Fachmi, bukan dimaksudkan untuk menyatakan sifat diskresi atas penggunaan asset DJS Kesehatan oleh direksi BPJS kesehatan.
"Sehingga berdasarkan peraturan perundangan penggunaan asset DJS termasuk surplus DJS tidak dimungkinkan untuk digunakan membayar selisih kenaikan iuran PBPU kelas III,” tegas Fachmi.|||
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com