Menegaskan Batas Kuasa Tenaga Ahli Kepala Daerah

KEBERADAAN tenaga ahli dan tim ahli kepala daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk memperkuat kualitas pengambilan kebijakan.

Reporter: - | Editor: Admin
Menegaskan Batas Kuasa Tenaga Ahli Kepala Daerah
Dr. Noviardi Ferzi

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi 

KEBERADAAN tenaga ahli dan tim ahli kepala daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk memperkuat kualitas pengambilan kebijakan. Mereka hadir untuk menyediakan analisis teknokratis, perspektif strategis, dan pandangan profesional yang membantu kepala daerah memahami isu-isu yang kompleks. Namun dalam praktik birokrasi daerah, posisi ini kerap berada dalam ruang abu-abu. 

Baca Juga: Banyak Kepala Daerah Sulit Berkomunikasi Dengan Senator

Meski tidak memiliki kedudukan struktural, tenaga ahli sering dianggap—atau menganggap dirinya—memiliki kuasa lebih dari yang sebenarnya diberikan oleh regulasi. Inilah yang kemudian memicu polemik, gesekan, bahkan melemahkan disiplin pemerintahan. Karena itu, batas kewenangan tenaga ahli perlu ditegaskan agar tidak terjadi penyimpangan fungsi maupun tumpang tindih peran.

Dalam sistem pemerintahan daerah yang diatur melalui UU 23/2014 dan perangkat regulasi turunannya, tenaga ahli tidak memiliki kewenangan eksekutif. Mereka bukan pejabat publik, tidak memiliki garis komando, dan tidak dapat mengeluarkan instruksi kepada perangkat daerah. Fungsinya bersifat asistensi: memberikan masukan, telaah, dan rekomendasi kepada kepala daerah. 

Baca Juga: Kepala Daerah yang Terkena OTT Tetap Sah Hingga Inkracht

Itu berarti seluruh tindak lanjut atas pendapat yang mereka berikan tetap berada pada kepala daerah, bukan pada tenaga ahli. Mereka tidak memiliki kewenangan menandatangani dokumen pemerintahan, menetapkan kebijakan, atau mengubah keputusan yang telah menjadi ranah OPD.

Hal yang sama berlaku bagi tim ahli kepala daerah. Meski dibentuk secara kolektif dan terdiri dari para pakar lintas bidang, tim ahli tidak dapat mengambil alih fungsi-fungsi pemerintahan yang melekat secara struktural pada OPD. Mereka bukan lembaga yang dapat mengarahkan perencanaan daerah, memutuskan prioritas anggaran, atau mengubah dokumen strategis seperti RKPD dan Renstra OPD. 

Baca Juga: Ketua MPR Prihatin, Kepala Daerah Banyak Kena OTT

Tugas tim ahli hanya memberikan second opinion dan membantu kepala daerah melihat isu dari sudut pandang yang lebih luas, tidak lebih dari itu. Tanpa mekanisme formal, rekomendasi mereka tidak memiliki kekuatan administrasi.

Dalam hubungan dengan OPD, tenaga ahli tidak berhak melakukan praktik-praktik yang menyerupai kewenangan struktural. Tidak boleh ada tenaga ahli yang memanggil pejabat OPD dengan dalih “diskusi rutin”, “sinkronisasi program”, atau “klarifikasi”, karena tindakan seperti itu telah menempatkan diri mereka seolah-olah pejabat pengarah. 

Demikian pula, mereka tidak boleh mendatangi OPD sambil memberikan saran operasional yang berada di luar batas keahlian mereka, apalagi jika disampaikan dengan gaya supervisi. Langkah-langkah tersebut bukan hanya keliru secara etika birokrasi, tetapi juga melampaui mandat hukum yang mereka miliki. Setiap interaksi harus disampaikan melalui jalur formal, atau atas permintaan kepala daerah, bukan inisiatif sepihak yang mengesankan intervensi.

Dalam hal kerahasiaan dokumen, tenaga ahli juga tidak memiliki hak akses otomatis. Dokumen strategis seperti anggaran, pengadaan barang dan jasa, atau dokumen rahasia pemerintahan lainnya hanya dapat diberikan atas izin kepala daerah atau Sekda, dan itu pun dalam rangka mendukung analisis. Penegasan ini penting agar tenaga ahli tidak berada pada posisi yang menyalahi prinsip confidential governance, apalagi jika dokumen tersebut berkaitan dengan kebijakan sensitif.

Batas penting lainnya adalah soal anggaran. Tenaga ahli tidak memiliki kewenangan untuk mengarahkan penggunaan APBD, menentukan program, atau mempengaruhi pelaksanaan proyek pemerintah daerah. Mereka tidak berhak menjadi budget holder, tidak berwenang menyusun pekerjaan untuk OPD, dan tidak dapat mempengaruhi proses pengadaan. Honorarium yang diterima tenaga ahli dari APBD bukanlah legitimasi kuasa, tetapi sekadar imbalan atas jasa keahlian yang diberikan.

Kementerian PAN-RB dalam beberapa tahun terakhir juga menegaskan bahwa pemerintah daerah harus menata kembali penggunaan tenaga ahli agar tidak mengganggu tatanan birokrasi. Tenaga ahli tidak boleh diposisikan sebagai lembaga bayangan yang menjalankan fungsi eksekutif, tidak boleh menggantikan tugas ASN, dan tidak boleh mengintervensi kebijakan formal. Penegasan ini dirumuskan agar struktur pemerintahan tetap berjalan berdasarkan aturan, hierarki, dan akuntabilitas, bukan berdasarkan figur non-struktural yang tidak memiliki legitimasi hukum.

Pada akhirnya, tenaga ahli dan tim ahli memang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pemikiran pemerintah daerah, tetapi kedudukan mereka harus ditempatkan secara proporsional. Mereka membantu, bukan memimpin. Mereka memberi masukan, bukan mengarahkan. Pemerintahan harus tetap dikelola oleh struktur formal yang memiliki kewenangan hukum. 

Tanpa batas yang jelas, tenaga ahli dapat berubah menjadi aktor informal yang berpengaruh namun tidak bertanggung jawab. Dan di situlah risiko terbesar berlangsung—pemerintahan berpotensi digerakkan oleh pihak yang tidak memiliki dasar legal dalam mengambil keputusan publik. ***

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya