Oleh : Musri Nauli
KETIKA Nurul Fahmi (Fahmi) menuliskan pemikiran “Feodalisme Gaya Baru Kandidat Nomor Dua” yang kemudian menjadi viral di media massa dan media sosial, ibarat “koor” semua kemudian berteriak. Gaduh. Ramai. Persis kayak Cheefleader (pasukan sorak-sorai).
Namun hingga kini, sama sekali tidak ada penjelasan utuh dari berbagai pandangan tentang pemikiran Fahmi. Terlepas dari isi yang dituliskan oleh Fahmi dan beberapa pemikiran yang belum tentu saya juga sepakat, namun ketika tulisan Fahmi sama sekali tidak mendapatkan penjelasan utuh dari “Cheefleader” seketika saya menjadi “terhenyak”.
Mengapa “tuduhan” tulisan yang disampaikan oleh Fahmi kemudian “diplesetkan” apakah Fahmi menjadi timses atau berpihak.
Dalam tradisi pemikiran, perbedaan pandangan menjadi hal yang lumrah. Tradisi harus dibangun dengan konsep pemikiran. Bukan dipelintir sehingga menjadi jauh dari pemikiran yang dipaparkan Fahmi.
Sebenarnya, argumentasi yang dipaparkan oleh Fahmi harus dijawab lugas. Apakah pemikiran Fahmi betul-betul menampakkan watak feodalisme” ? Apakah pemaparan dari Fahmi “pakaian yang dikenakan adalah pakaian Raja Jambi”. Apakah dengan menggunakan symbol pakaian menampakkan “keberpihakan” kepada Hukum Adat Jambi atau tradisi Jambi.
Sekali lagi. Berbagai pemaparan yang disampaikan oleh Fahmi sama sekali tidak dapat dijawab para “cheefleader”. Dan semakin memalukan ketika “personal” Fahmi dilekatkan sebagai bagian dari timses ataupun dituduh subyektif.
Sebagai manusia merdeka, Fahmi diberi hak untuk menyampaikan gagasan. Kemerdekaan menyampaikan gagasan selain diatur didalam konstitusi juga melambangkan negara yang menjunjung demokrasi.
Tawaran Fahmi harus ditangkap sebagai dialektika. Sebagai narasi memperkaya bacaan kita tentang Hukum Adat Jambi atau tradisi Jambi.
Para pelakon harus mampu menerjemahkan dengan narasi. Apakah benar pakaian yang dikenakan merupakan pakaian Raja Jambi. Apakah benar dengan menggunakan pakaian adat kemudian harus disimbolkan sebagai “berpihak kepada masyarakat adat”.
Sekali lagi, para cheefleader malah terjebak dengan pembahasan “personal” Fahmi. Dan itu menjadi pembahasan yang cukup dalam untuk menelaah pemikiran Fahmi.
Ketika para penghujat, para cheerleader ataupun para penggembira melihat pemaparan dari Fahmi kemudian “diplesetkan” menjadi “personal” mengingatkan berbagai peristiwa yang sering terjadi didunia pemikiran.
Dalam tradisi logika, “mempersoalkan” pemikiran kemudian bergeser menjadi “persoalan personal” dikenal dengan “Argumentum ad Loculun”. Argumentasi ini sering dipakai untuk menggertak lawan namun sama sekali tidak membicarakan apa yang dibicarakan.
Cara ini sering dipakai setiap rezim yang berkuasa.
Bukankah masih ingat ketika para buruh cuma minta menaikan “upah” malah sering dituduh “komunis”. Atau petani kemudian berteriak ketika tanahnya dirampas malah sering dijebak dengan “PKI”.
Dari sudut pandang lain, “mempersoalkan” pemikiran kemudian bergeser menjadi “persoalan personal” juga dikenal “Argumentum ad ignorantica”.
Argumentasi ini digunakan oleh sang penutur “untuk melindungi karena ketidaktahuan”.
Kejadian paling heboh ketika seorang penyanyi Indonesia dengan gagah berani menggunakan atribut berbau NAZI dalam tayangan videoklipnya.
Ketika netizen mulai mempersoalkannya, dengan enteng dia mengucapkan kalimat memalukan. “Ini kan seni”.
Namun ketika dipaparkan pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang dikenakan para jenderal NAZI, diapun berkutik tidak berdaya.
Namun yang paling memalukan adalah ketika mempersoalkan pemikiran kemudian digeser menjadi “persoalan personal” dkenal didalam konsep “mistake (kesesatan)”.
Yang paling gampang adalah membangun konstruksi “komplotan” atau “jaringan”. Ketika si A menulis maka bukan argumentasinya yang dilihat. Tapi sudah langsung menuduh si A menulis karena mendukung si B.
Saya kemudian menyadari. Jangan-jangan para Cheefleader kemudian mempersoalkan pemikiran Fahmi sebagai bentuk gertakan. Atau malah untuk menutupi “ketidaktahuan” tentang simbol pakaian adat Jambi. Sekaligus juga tidak paham dengan Hukum Adat Jambi dan tradisi di Jambi. Sekaligus ketidakmampuan memahami masyarakat Hukum Adat Jambi.
Cara-cara ini justru paling memalukan. Selain meruntuhkan makna tulisan itu sendiri, cara ini sebenarnya justru merendahkan dari sang penanggap itu sendiri.
Tradisi pemikiran harus dibangun. Opini harus dilawan dengan opini.
Mempersoalkan “pemikiran” kemudian bergeser menjadi “persoalan personal” justru akan mematikan narasi pemikiran itu sendiri.
Bukankah sering diingatkan Ebiet G Ade didalam syairnya yang paling dikenang. “Jangan lihat siapa yang bicara. Tapi dengar apa katanya”.
Baca Juga: Musri Nauli Direktur Media Centre Haris - Sani
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com