Mengenal Keterbukaan Informasi Publik

| Editor: Ramadhani
Mengenal Keterbukaan Informasi Publik
Rosidin. (Koleksi pribadi)



Oleh: Rosidin Fungsional Statistisi Ahli Madya

BICARA informasi, berarti bicara fakta yang melekat pada objek dan aktivitas atau keduanya, yang biasa kita sebut dengan istilah ‘data’. Bisa objek tunggal, objek jamak atau interaksi antar mereka.

Objek adalah sumber data yang kemudian bisa diolah menjadi informasi. Terlebih saat ada aktivitas yang memaksa terjadinya interaksi antar objek, maka pasokan informasi sangat melimpah.

Semakin kompleks aktivitas, semakin kompleks pula informasi yang dihasilkan. Apa pun objeknya, apa pun aktivitasnya, di situ sumber informasi.

Lima komponen sumber daya utama dalam organisasi berupa manusia, anggaran, peralatan, bahan, dan prosedur adalah objek sumber informasi.

Dengan lima komponen itu saja sudah terbayang besarnya dimensi informasi yang dihasilkan. Belum lagi ketika dipilah dalam dimensi proses bisnis.

Apalagi jika ditambah dimensi waktu. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan berganti tahun. Informasi yang terkumpul semakin menggunung yang sangat kompleks variasinya. Mungkin inilah cikal bakal apa yang disebut Bid Data.

Big Data atau dalam bahasa Indonesia mencoba dipopulerkan dengan istilah mahadata, data raya, atau data bandang.

Satu istilah yang digunakan untuk menggambarkan segala himpunan data dalam jumlah yang sangat besar, sangat kompleks, bervariasi bentuknya, rumit hubungannya, dan sebagian besar tak terstruktur.

Tapi kita tidak membahas itu. Mungkin lain kali jika ada waktu.

Kembali ke proses pembentukan informasi. Ambil satu contoh saja objek tunggal bernama pegawai. Sudah bisa dipastikan ada informasi yang melekat pada dirinya, terutama statusnya sebagai pegawai.

Bahkan sebelum seseorang ditetapkan sebagai pegawai, di situ telah ada sederet informasi berkenaan dengan status kepegawaian.

Ada nama, jenis kelamin, tanggal lahir, tempat lahir, agama, pendidikan, dan seterusnya. Seluruh informasi yang menggambarkan sosok pegawai tersebut.

Kemudian ketika ada beberapa pegawai bekerja dalam satu unit untuk melaksanakan tugas. Pelaksanaan satu tugas saja biasanya dilengkapi dengan berbagai prosedur, bahan, dan peralatan, serta uang.

Sementara kita tahu bahwa untuk menjalankan satu proses bisnis sederhana saja akan melibatkan banyak pegawai, perlu banyak peralatan, berbagai prosedur diterapkan dengan seabrek bahan, dan tentunya menyerap banyak uang.

Bagaimana jika kemudian ada banyak pegawai. Mereka berkelompok ditempatkan dalam unit-unit kerja yang menjalankan berbagai macam tugas, menjalankan proses bisnis yang kompleks, juga ditambah dengan melibatkan banyak stakeholder.

Semuanya berinteraksi. Secara sadar atau tidak, hampir setiap detik data diproduksi dengan jumlah mungkin ribuan atau bahkan jutaan jenis. Rasanya mustahil kita mampu mencatat semuanya.

Persoalannya adalah apakah informasi tersebut dikelola, siapa yang mengelola, bagaimana standar baku tata kelola informasi sehingga layak dikonsumsi, baik publik, perencanaan atau pengambilan keputusan.

Lebih dari itu, siapa yang berwenang. Apakah setiap pegawai boleh diberi kebebasan mengelola dan membuat standar baku tata kelola. Apa jadinya bila setiap unit dibiarkan mengelola informasi, dibiarkan menyimpan dan melakukan diseminasi tanpa kendali.

Raksasa Bisnis Kementerian Agama

Sebagaimana kita tahu, Kementerian Agama (Kemenag) menjadi lembaga eksekutif yang tugasnya membantu presiden di bidang agama.

Dalam menjalankan tugas ini, kemudian dibentuk sejumlah unit agar mereka mereka bisa bekerja dalam lingkup tertentu untuk lebih mendekatkan karakteristik stakeholder dan kesamaan layanan.

Dinamika pelaksanaan tugas Kemenag sejak berdiri terus berkembang. Dikutip dari sejarah Kemenag, awalnya mengurus permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.

Kemudian berkembang mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada beberapa kementerian. Seperti dari Kementerian Dalam Negeri berkenaan dengan masalah perkawinan, peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji.

Dari Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan berkenaan dengan masalah pengajaran agama di sekolah-sekolah. Dan dari Kementerian Kehakiman berkenaan dengan wewenang Mahkamah Islam Tinggi. Meskipun pada tahun 2004, secara resmi tugas tersebut dikembalikan kepada Mahkamah Agung.

Perkembangan tugas terus bergulir seiring pemenuhan kebutuhan pelayanan kepada publik, baik kuantitas maupun kualitas. Tantangan terbesarnya adalah tidak ada keterpaduan dalam pengembangan layanan sebagai kesatuan organisasi yang utuh.

Belum ada semacam grand desain mengapa Kemenag harus ada di Indonesia untuk melayani umat. Sehingga sebagian besar pengembangan organisasi dilakukan secara parsial.

Terakhir, pada tahun 2014 Kemenag mendapat amanah untuk penyelenggaraan jaminan produk halal melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.

Secara umum dari kacamata informasi, dalam pelaksanaan tugas Kemenag setidaknya ada 5 proses bisnis induk. Proses bisnis tersebut meliputi layanan tata kelola pemerintahan, layanan pendidikan, layanan sertifikasi halal, layanan haji dan umrah, dan layanan keagamaan.

Pemilahan proses bisnis induk ini semata-mata dari kelompok stakeholder yang dilayani. Tentu semua bisa dikembangkan lagi menjadi sub proses bisnis yang lebih spesifik dan sederhana sesuai kebutuhan.

Bahkan dalam bisnis layanan keagamaan, sebenarnya masih terdapat banyak proses bisnis kompleks yang bisa dikeluarkan secara terpisah. Misalnya layanan nikah, layanan rumah ibadah, dan layanan ekonomi umat serta layanan penyiaran agama. Karena masing-masing memiliki karakteristik stakeholder tersendiri.

Ambil satu contoh proses bisnis induk layanan pendidikan. Dimensi layanan pendidikan sangat lebar. Ada dimensi pendidikan formal, non formal, dan informal.

Ada juga dimensi pendidikan usia dini, pendidikan dasar menengah, dan pendidikan tinggi. Lebih dari itu dalam konteks Kemenag ada dimensi agama.

Bukan hanya satu, tapi enam agama sekaligus. Di setiap agama, menyelenggarakan pendidikan formal dan pendidikan agama pada sekolah.

Selain itu dalam sistem pendidikan di Kemenag juga ada penyelenggaraan pesantren yang dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019. Ketiga dimensi ini yang tidak dimiliki kementerian lain.

Jika mau diturunkan lagi, ambil satu irisan proses bisnis pada pendidikan formal dasar menengah, misalnya madrasah ibtidaiyah. Di sini setidaknya ada layanan lembaga, layanan guru, layanan siswa, dan layanan interaksi ketiga objek tersebut.

Pada layanan lembaga, bisa diturunkan lagi misalnya ada layanan pendirian, layanan akreditasi, dan layanan bantuan. Begitu seterusnya dan seterusnya sampai pada tataran layanan paling kecil.

Spektrum pelaksanaan tugas Kemenag memang sangat lebar. Mencakup isu strategis dan paling esensi dalam kehidupan umat, yakni pendidikan dan agama.

Sehingga perlu dijabarkan sampai titik paling ujung agar pelayanan berjalan optimal dan tidak tumpang tindih.

Namun penjabaran proses bisnis sangat tergantung dari kemampuan analisis lingkungan dan dampaknya terhadap pemenuhan sumber daya. Bagaimana pun keterbatasan ketersediaan komponen manusia dan uang akan menjadi tantangan utama dalam membentuk satu proses bisnis tertentu.

Satu proses bisnis induk dapat dijabarkan menjadi beberapa sub proses bisnis. Begitu seterusnya sampai pada tataran proses bisnis paling kecil dan sederhana.

Mudahnya, digambarkan seperti batang pohon yang mempunyai banyak cabang, cabang mempunyai banyak ranting, dan seterusnya. Pada titik ujung ini, setiap elemen data diproduksi kemudian dialirkan kembali ke dahan dan batang.

Dari sini, sedikitnya tergambar aliran data yang dihasilkan dari setiap pelaksanaan tugas yang kecil dan sederhana.

Kemudian data itu mengalir pada titik tertentu bertemu dengan aliran data dari pelaksanaan tugas lainnya. Terus berkumpul akhirnya membentuk suatu himpunan data yang besar, kompleks, dan rumit, menjadi Pohon Data.

Membangun Ekosistem Informasi

Penataan informasi tidak mungkin bisa diselesaikan dengan bimsalabim. Cara-cara instan dengan memungut atau memadukan pertautan aliran data yang sudah ada, tanpa fondasi standar data hanya akan berakhir menjadi rongsokan.

Hanya akan menghamburkan uang dan sumber daya lainnya karena tidak membenahi persoalan pokok yang menjadi fondasi bangunan.

Membangun ekosistem informasi sebesar dan sekompleks di Kemenag, harus dirumuskan secara baik dan cermat. Proses bisnis pelaksanaan tugas di Kemenag bukan kaleng-kaleng.

Melibatkan banyak pegawai, banyak satker, dan banyak stakeholder serta tentu saja banyak layanan, ratusan bahkan mungkin ribuan jenis.

Tersebar dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan hingga pelosok Daerah 3T. Jika kita melihat jumlah unit kerja dan satker Kemenag yang begitu banyak, artinya pelaksanaan layanan lebih banyak lagi. Dampaknya sangat jelas bahwa kuantitas data dan informasi yang di produksi pun lebih banyak dari semuanya.

Ekosistem tata kelola data dan informasi harus dibangun di atas fondasi kemapanan organisasi. Di mana sebagian besar (baca: hampir seluruhnya) proses bisnis telah didefinisikan secara baik dan interaksi antar proses terpetakan dengan jelas.

Sejalan dengan penyusunan proses bisnis, juga dirumuskan standar data dan metadata dari setiap data yang berjalan di atas proses bisnis. Tanpa standar dan metadata, berakibat data yang dialirkan hampir bisa dipastikan tidak akan pernah sinkron.

Fondasi berikutnya adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Tidak lagi dipungkiri menjalankan layanan dan mengelola data yang komplek, rasanya mustahil tanpa kehadiran pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Perkembangan perangkat ini hadir karena tantangan akan tuntutan sistem layanan agar lebih efisien, mudah, dan terintegrasi. Kini kemampuan yang dimiliki bukan saja menyelesaikan aktivitas rutin dan masif, tapi sudah merambah kecerdasan buatan.

Dengan kemampuan ini, maka pengelolaan informasi bisa diarahkan mendukung pengambilan keputusan lebih baik.

Setelah memantapkan fondasi, tahap berikutnya adalah memperbaiki pilar bangunan. Konon persoalan utama terhambatnya sistem layanan pemerintah karena kapasitas pegawai.

Layanan pemerintah sering kalah cepat dibanding sektor swasta. Data sering terbengkalai lantaran kurangnya perhatian. Keberadaannya seakan tidak ada.

Sementara itu, perkembangan pengelolaan informasi dalam jumlah besar tidak cukup lagi mengandalkan jabatan fungsional yang ada saat ini. Pengelolanya dituntut memiliki keterampilan khusus, seperti Data Scienties, Data Architectur, dan Data Analyst.

Kehadiran regulasi sebagai pilar, sangat penting. Karena setiap tugas memang harus berjalan di atas regulasi. Regulasi juga dipakai sebagai sandaran bersama agar rantai komando berjalan efektif. Namun sering terjadi regulasi tidak selamanya berjalan efektif lantaran tidak tersosialisasi dengan baik.

Juga tidak jarang terjadi antar regulasi kurang harmonis atau tidak terjabarkan sampai detail. Pelaksanaannya sering terbelenggu karena regulasi yang kaku atau bersifat umum. Sehingga pada tataran di bawah melakukan tafsir berbeda atau bahkan manuver yang bergeser jauh.

Untuk menjalankan roda layanan yang menghasilkan informasi berkualitas diperlukan dukungan anggaran memadai. Anggaran diperlukan untuk membiayai pemenuhan bahan dan peralatan, membayar pegawai dan menyusun prosedur, juga mengelola pelibatan stakeholder.

Banyak atau sedikit memang dikatakan relatif. Namun selalu ada titik minimum yang mesti dipenuhi. Karena itu sudah semestinya anggaran mengikuti program.

Dari seluruh pilar, ada satu lagi yang mampu memberikan dampak besar agar seluruh pilar tetap kokoh, yaitu komitmen pimpinan. Setiap pimpinan dalam setiap lini mendukung dan mendorong sekaligus berwawasan memadai dibarengi rasa kepedulian tanggung jawab.

Lantas bagaimana implementasinya di Kemenag. Apakah kondisi pendukung ekosistem saat ini bisa dikatakan sudah layak? Bersambung...

Editor: Rahmad

Baca Juga: Pekan Olahraga untuk Menyegarkan Wartawan Profesional

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya