Lalu, di Padang, dia menerbitkan koran baru ‘Insulinde' (1903-1905). Semua media yang diterbitkannya itu bermisi serupa: membela rakyat pribumi dan menentang penjajahan.
Konsekuensi dari sepak terjangnya yang agresif dan berani itu, pada seputar tahun 1905, DjEM tersandung kasus delik pers. Koran ‘Het Nieuws van den dag vor Nederlandsch-Indie’ memberitakan, DjEM diadili dan kemudian divonis bersalah kena hukum cambuk dan diusir dari kota Padang.
Namun, hukuman itu tak membuat dia keder dan jera. Dari Padang dia pindah ke beberapa kota di Sumatera. Antara lain, ke Medan dan Aceh. Di Kutaraja, Aceh, dia menerbitkan koran berbahasa melayu: ‘Pembrita Atjeh’ pada tahun 1906. Setelah itu, tiga atau empat tahun kemudian dia pindah ke Medan.
Baca Juga: BPJS Ketenagakerjaan Gelar Rakor dengan Wartawan
Di kota ini DjEM menerbitkan surat kabar ‘Pewarta Deli’. Di koran idealis dan antikolonial ini pula pernah berkiprah sejumlah wartawan yang akhirnya menjadi tokoh pers nasional. Misalnya, Adinegoro, Parada Harahap Mangaradja Luthan dan Mohamad Said, yang kemudian mendirikan surat kabar ‘Waspada.’
Catatan positif Ichwan Azhari tentang idealisme perjuangan DjEM dan kinerja sirkulasi ‘Pertja Barat” mungkin sesuatu yang baru bagi sebagian komunitas pers. Tidak demikian bagi kalangan akademisi. DR Surya Suryadi, MA, pakar filologi dan dosen di Universitas Leiden, Belanda, misalnya. Ahli pernaskahan Nusantara yang hasil penelitiannya banyak dimuat di pelbagai jurnal internasional itu, pernah menulis tentang sepak terjang DjEM di Blog Minang Saisuak.
" Jika kita menapaktilasi lahirnya pers pribumi di Sumatera, khususnya di Padang, maka jelas nama Dja Endar Moeda (DjEM) alias H. Mohammad Saleh, haram untuk dilewati," tulis akademisi lulusan Universitas Andalas yang menyelesaikan studi doktoral di Universitas Leiden itu.
Baca Juga: Mursyid Sonsang Terpilih Ketua HMM Kota Jambi
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com