Merevitalisasi Lahan Gambut, Mengecap Manisnya Lebah Madu

| Editor: Doddi Irawan
Merevitalisasi Lahan Gambut, Mengecap Manisnya Lebah Madu

Penulis : Rilis || Editor : Dora



EFFENDI sudah mengubur masa lalunya di kampung. Masa kelam ketika dia dan sebagian penduduk Desa Telago Limo, Kecamatan Berbak, Tanjung Jabung Timur, Jambi, harus menafkahi keluarga dengan menebang kayu secara liar di hutan.

Sebuah usaha yang tak menipu hasilnya. “Mencari kayu membuat kami harus selalu berhadapan dengan hukum, banyak masalah, dikejar-kejar polisi hutan tapi hasilnya pas-pasan, malah cenderung kurang,” kata Effendi.

Warga Desa Telago Lima sebagian mencari nafkah sebagai nelayan, sebagian lagi bertani. Tapi tak sedikit juga yang seperti Effendi, menembus hutan dan menebang kayu.

Berbekal keresahan pada cara penghidupan yang tak layak, serta sedikit bermodal nekat, Effendi dan kawan-kawannya mengajukan proposal usaha yang bahkan baru dikenalnya : beternak lebah madu.

Bersama puluhan warga desa, mereka mendirikan Pokmas Telago Jaya. Mustofa bertindak sebagai ketua, dan Effendi bendahara.

Ketika Badan Restorasi Gambut (BRG) menawarkan Perjanjian Kerjasama Swakelola tahun 2019, mereka pun mengajukan proposal. Program ini ditujukan untuk merevitalisasi lahan gambut bagi peningkatan ekonomi masyarakat.

Pemberian dana hibah ini bagian dari upaya restorasi lahan gambut, dengan menempatkan petani atau masyarakat desa sebagai mitra utama.

Pemulihan ekosistem gambut perlu menyentuh problem rumah tangga petani, sebab faktanya mereka telah lama memanfaatkan lahan gambut sebagai sumber penghidupan utama.

Singkat cerita, dana hibah pun turun. Pemberian bantuan berlangsung dalam dua gelombang. Pada gelombang pertama, Effendi dan kawan-kawan membeli 11 kotak bibit lebah madu.

Senang bukan main. Bibit lebah itu pun dibawa pulang ke kampung. Tapi apa daya, tak lama usaha mereka gagal total ! Lebah-lebahnya mati, akibat sedikit sekali sumber makanan alami yang tersedia di sekitar desa mereka.

Kegagalan ini membuat sebagian anggota mundur. Tapi yang lain belum jera.

Saat pencairan dana gelombang kedua, sisa anggota yang ‘bebal’ ini kembali membeli bibit 11 kotak lebah madu. Tapi kali ini mereka menempatkan kotak-kotak itu di Desa Rantau Karya, 120 km dari desa mereka.

Lokasi baru dipilih karena berada dekat dengan hutan tanaman industri akasia milik sebuah perusahaan swasta. Berbekal belajar otodidak maupun mengikuti pelatihan khusus, mereka tahu, ternyata daun akasia dapat menghasilkan cairan yang merupakan makanan alami lebah, tanpa merusak pohon akasia itu sendiri.

Bak prinsip simbiosis mutualisma, penyerbukan lebah pada pohon akasia diyakini justru membantu memperbesar ukuran batangnya.

Dan bum ! Lokasi yang tepat, asupan makanan yang melimpah, membuat populasi lebah bertambah. Produksi madu pun meningkat.

Pelan tapi pasti, Effendi dan anggotanya bisa menambah kotak lebah mereka, dari 11 menjadi 31, dari 31 menjadi 217 kotak baru.

Mereka juga mengurus 4.000 kotak lebah milik masyarakat yang dititipkan di delapan lokasi, dengan sistem bagi hasil 25 persen.

Bukan main manis hasil usaha lebah madu yang mereka nikmati. Mereka bisa memanen sampai 10 ton madu setiap kali panen.

Pada musim hujan mereka bisa panen dua kali sebulan, dan pada musim kemarau bisa panen tiga sampai empat kali sebulan.

Hasilnya, kini mereka bisa menafkahi keluarga dengan memadai, kalau tak mau disebut lebih dari cukup.

Tapi hasil yang jauh lebih bermakna, sebetulnya adalah berhasil menciptakan lapangan kerja, dan meraih kepercayaan petani maupun para penebang liar, untuk meninggalkan cara hidup lama yang berpotensi merusak lahan gambut dan memicu kebakaran lahan.

Banyak dari mereka yang kini terjun jadi peternak, atau bekerja di usaha peternakan madu yang tumbuh bak jamur di musim penghujan.

“Minat orang pada peternakan lebah tinggi sekali, apalagi dengan potensi kenaikan pendapatan bisa sampai empat kali lipat,” kata Effendi.

Satu-satunya ganjalan di hati Effendi, usaha ternak lebah madu ini tak bisa dimiliki oleh orang-orang kelas menengah ke bawah.

Dengan modal minimal Rp 2,5 juta per kotak, usaha ini menurutnya masih terbilang mahal. Alhasil, peternakan lebah madu hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah ke atas, atau yang punya akses ke permodalan.

Effendi berharap BRG menggelontorkan dana hibah bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, agar mereka juga bisa ikut mencicipi manisnya bisnis ternak lebah madu.

“Kami optimis itu akan berhasil, sebab sekarang kami sudah punya banyak pengalaman,” ucap Effendi, optimis. ***

Baca Juga: Kebakaran Gambut Mengkhawatirkan, Sekat Kanal Sangat Penting

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya