Netralitas KPU di Antara PSU dan Golput

| Editor: Doddi Irawan
Netralitas KPU di Antara PSU dan Golput

Oleh : Yulfi Alfikri Noer S.IP, M.AP



PUBLIK dikejutkan dengan tertangkapnya salah satu petinggi KPU RI, Wahyu Setiawan, dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terkait penyuapan pergantian anggota legislatif.

Kejadian ini sangat berdampak pada netralitas dan integritas KPU provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemilu/pemilukada yang telah dilakukan.

Publik akan bertanya-tanya, apakah penyelenggaraan pemilu/pemilukada yang telah lalu tidak ada hal seperti itu dilakukan oleh penyelenggara, baik KPU provinsi dan kabupaten/kota maupun bawaslu provinsi dan kabupaten/kota.

Lebih menarik lagi, setelah Wahyu Setiawan didakwa oleh KPK menerima suap, dia mengajukan diri sebagai Justice Collaborator (JC), untuk mengungkap berbagai kecurangan yang dilakukan KPU pada saat pemilu pilpres, bahkan pilkada di berbagai daerah.

Jika yang dikatakan Wahyu Setiawan benar, dia akan membongkar kasus kecurangan yang dilakukan KPU saat pilpres dan pilkada, maka dalam pemilihan umum kita mempunyai hak pilih, tetapi tidak punya hak menentukan.

Pada konteks pemilu/pemilukada sebagai praktik untuk mengukur etika seseorang penyelenggara pemilu/pemilukada pada barometer melanggar atau tidak, baik yang bersifat administrasi maupun mengarah pada pidana, rujukannya ada pada peraturan perundang-undangan.

Penyelenggara pemilu/pemilukada perlu etika dan moral, karena merupakan panutan bagi orang lain dalam segala pemikiran dan tingkah lakunya, dan sebagai pelayan dan pelindung hak politik.

Kode etik penyelenggara pemilu/pemilukada adalah satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilu/pemilukada yang diwajibkan, dilarang patut atau tidak patut.

Prinsip utamanya, adalah pemilu/pemilukada mesti dilaksanakan oleh otoritas yang profesional, mandiri, dan tidak memihak. Ini adalah satu syarat untuk terselenggaranya pemilu secara demokratis.

Kode etik dibutuhkan, karena penyelenggara pemilu/pemilukada sebagai lembaga dan personal yang bertugas menyelenggarakan pemilu/pemilukada, punya potensi menjadi tidak profesional, memihak, dan tidak mandiri. Alasannya beragam, yakni akses kekuasaan, sumber daya ekonomi, kapasitas, serta orientasi yang beragam.

Penyelenggara pemilu/pemilukada wajib bertindak netral dan tidak memihak terhadap parpol tertentu, peserta pemilu dan media massa tertentu serta tidak menerima hadiah dari peserta pemilu/pemilukada.

Kedaulatan rakyat tidak cukup hanya melibatkan peran serta rakyat dalam memilih calon pemimpinnya. Tetapi kedaulatan rakyat atas pilihannya sangat ditentukan oleh KPU yang mampu bersikap jujur dan adil.

Dalam kasus Pemilukada Provinsi Jambi, bahwa terdapat tindakan-tindakan yang di luar prosedur dan diduga kuat melanggar kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh salah seorang anggota KPU Provinsi Jambi.

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dugaan perkara aduan Ansori terhadap Anggota KPU Provinsi Jambi, M. Sanusi atas tidak netral dengan berpihak kepada salah satu pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jambi.

Teradu diduga memberikan DPT pemilih yang belum melakukan perekaman KTP elektronik kepada pasangan tersebut. Untuk diketahui, data inilah yang digunakan pasangan paslon tersebut menggugat KPU di Mahkamah Konstitusi hingga berujung putusan PSU oleh MK. Dalam persidangan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) pada tanggal 5 Maret 2021 (dapat kita saksikan di channel youtube DKPP RI di alamat url https://www.youtube.com/watch?v=Lhi4QV-TkVc, ), fakta persidangan DKPP mengungkapkan bahwa Staf Program dan Data KPU Provinsi Jambi, Ivan Oriza Fikri memberikan data DPT Belum Rekam E-KTP kepada M. Sanusi pada tanggal 11 Desember 2020 melalui pesan WhatsApp, sementara permintaan data yang diajukan oleh salah satu tim Pemenangan paslon diserahkan pada tanggal 24 Oktober 2020.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi dalam persidangan bahwa terdapat dua data. Yaitu, data internal dan data eksternal. Data internal adalah data yang utuh di mana NIK dan NKK tidak diberi bintang sedangkan data eksternal adalah data yang NIK dan NKK diberi bintang, karena memang hal itu harus dilakukan untuk melindungi data pemilih. Seperti kita ketahui bersama bahwa data gugatan salah satu paslon ke MK identik dengan data KPU Provinsi Jambi, yang seharusnya data itu untuk kalangan internal KPU Provinsi Jambi.

Pada sidang itu juga, terungkap bahwa Sanusi juga meminta Ivan (staf Ahdiyenti) untuk memberikan data non KTP-el tersebut kepada Iin Habibi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi penulis mengapa tim pemenangan salah satu paslon meminta data tersebut sedangkan pada saat pleno DPT sudah diberikan? Lalu, seberapa gentingnyakah situasi dan kondisi Provinsi Jambi pada saat itu, sehingga M. Sanusi meminta data dengan segera dan meminta untuk diberikan kepada Iin Habibi?

Namun, biarlah pertanyaan penulis menjadi pertanyaan saja, yang perlu kita pahami bersama adalah penyelenggaraan pemilu/pemilukada pada hakikatnya adalah sebagai gelanggang pendidikan politik, ruang pencerahan, sarana untuk mencerdaskan kehidupan politik bangsa. Penyelenggaraan pemilu/pemilukada bukanlah ruang untuk memuaskan syahwat politik terpilihnya seorang politisi sehingga duduk di lembaga politik dan bukan pula untuk membodohi, membodohkan atau penjahiliyahan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Proses Pemilu/Pemilukada harus menjadi sebab pembodohan masyarakat salah satunya dapat berbentuk keberpihakan penyelenggara Pemilu/Pemilukada, money politik, janji politik, intimidasi politik, mobilisasi, politisasi birokrasi, politisasi bansos-bansos, politisasi BLSM, pelanggengan dinasti dan lain-lain.

Pembodohan seperti ini akan menutup peluang orang lain berpolitik dan berkubang pada muara matinya demokrasi. Karena sejatinya, proses penyelenggaraan pemilu/pemilukada adalah pesta demokrasi untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dalam memilih pemimpin yang dapat memberikan perubahan dalam sosial ekonomi masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemilu/pemilukada ada kode etik yang perlu dipahami, dijalani, dan ditaati secara bersama agar tujuan hakiki dari penyelenggaraan pemilu/pemilukada dapat terwujud. Jika dilihat dari penyelenggaraan pemilukada Provinsi Jambi, Apabila terbukti terjadi pelanggaran kode etik maka dianggap telah terjadi pelanggaran yang bersifat sistematis dan masif.

Dampak dari pelanggaran kode etik karena sangat luas dan bukan sporadis. Salah satu contoh pelanggaran kode etik adalah membuka dan menyampaikan data pada pihak yang tidak berkepentingan. Menurut Undang Undang (UU) jika seseorang membuka atau menyampaikan data yang dikecualikan, maka akan ada sanksi pidananya.

Bentuk lainnya adalah peran KPU, jika KPU tidak netral dapat menjadi sumber bencana dan dapat merusak pelaksanaan Pemilu/Pemilukada serta dapat melahirkan konflik di daerah. serta dapat mengakibatkan banyaknya PSU dan bertambahnya jumlah Golput di masa Pemilu/Pemilukada yang akan datang. KPU Netral, KPU Mantap.

*Penulis adalah Akademisi UIN STS Jambi

Baca Juga: R2 Kembali Serukan Tetap Kompak Pilkada 2020

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Bupati Safrial Apresiasi KPU

Tanjung Jabung Barat

Berita Terkait

Berita Lainnya