Catatan Mursyid Sonsang, Wartawan Senior dan Alumni Lemhannas PPSA 18
--------------------------------
Masalah pajak memajak ini sudah dari zaman raja raja dahulu, dikenal dengan nama upeti. Bentuk persembahan dari rakyat ke raja. Hasil upeti digunakan oleh raja untuk kepentingannya. Dan hanya orang tertentu yang bisa menikmati.
Upeti ini tidak saja raja raja yang memungutnya. Secara informal sampai saat ini "orang bagak" alias pareman juga memungut upeti di pasar, parkir memarkir dan tempat tempat ilegal lainnya.
Baca Juga: Mutasi Polri, Kapolda dan Pati Dikuasai Akpol 88 Sementara Angkatan 91 Bertabur Bintang..
Ketika Belanda menjajah Indonesia lewat VOC upeti berubah nama menjadi pajak atau balesting. Pungutannya makin banyak saja di antaranya pajak rumah, pajak usaha dan pajak kepala untuk pedagang Tionghoa dan pedagang asing lainnya. Namun, VOC tidak memungut pajak di wilayah kekuasaanya seperti Batavia, Maluku dan lainnya.
Awal tahun 1900, keuangan pemerintah Belanda terutama di daerah jajahan mulai bangkrut karena peperangan dengan Inggris. Pemerintah Gubernur Jenderal Belanda di Indonesia makin gila memajaki warga Indonesia.
Baca Juga: Perombakan Pejabat Pemprov Jambi : Penuh Sensasi dan Toleransi Serta Minim Prestasi
Selain menaikkan pajak, Belanda juga menerapkan pajak baru bagi rakyat Sumatera Barat, yaitu pajak kepala, pemasukan barang, rodi, tanah, keuntungan, rumah tangga, penyembelihan, tembakau, dan pajak rumah adat.
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com