Paradoks Batubara Jambi

BATUBARA di Provinsi Jambi menghadirkan paradoks pembangunan yang semakin terang dari tahun ke tahun.

Reporter: - | Editor: Admin
Paradoks Batubara Jambi
Ilustrasi by copilot

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi

BATUBARA di Provinsi Jambi menghadirkan paradoks pembangunan yang semakin terang dari tahun ke tahun. Di satu sisi, komoditas ini diproduksi dalam jumlah besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi. Di sisi lain, kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat justru terbatas. 

Baca Juga: Mobil Batubara Terbakar di Lintas Sumatera

Ketika data produksi, nilai ekonomi, dan serapan tenaga kerja dibaca secara bersamaan, terlihat jelas bahwa batubara lebih banyak menciptakan ilusi kemakmuran dibanding fondasi pembangunan yang kokoh.

Secara kuantitatif, produksi batubara Jambi tidak dapat dikatakan kecil. Pada 2018, produksi tercatat sekitar 9,3 juta ton dan meningkat menjadi sekitar 10,2 juta ton pada 2019. 

Baca Juga: PMII Sarolangun Sorot Tiga Perusahaan Batubara, Nahhh....

Dalam periode 2021 hingga 2023, realisasi produksi berada pada kisaran 13 hingga 18 juta ton per tahun, dengan capaian sekitar 17,3 juta ton hingga November 2022 dan estimasi mendekati 18 juta ton pada 2023. 

Angka ini bahkan masih jauh di bawah kuota produksi yang diberikan pemerintah pusat yang dalam beberapa tahun terakhir mencapai sekitar 36,5 hingga lebih dari 40 juta ton per tahun. Namun, meskipun realisasi hanya separuh kuota, tekanan sosial, lingkungan, dan infrastruktur di Jambi sudah berada pada tingkat yang serius.

Baca Juga: Hindari Lobang, Truk Batubara Terguling Masuk Sungai

Produksi tersebut juga terkonsentrasi pada wilayah tertentu. Data menunjukkan Kabupaten Sarolangun sebagai produsen terbesar dengan produksi sekitar 4,9 juta ton per tahun, disusul Batanghari sekitar 2,7 juta ton, Bungo sekitar 1,3 juta ton, dan Tebo sekitar 1,1 juta ton. 

Konsentrasi ini membuat dampak tambang, baik ekonomi maupun kerusakan, menumpuk di wilayah tertentu, sementara manfaat fiskal dan ekonomi tidak terdistribusi secara merata di seluruh provinsi.

Jika dikonversikan ke nilai ekonomi, dengan asumsi harga batubara di kisaran USD 120–130 per ton atau sekitar Rp1,8–2 juta per ton, maka nilai produksi batubara Jambi berada pada kisaran Rp19 triliun hingga Rp34 triliun per tahun. Angka ini terlihat sangat besar jika dibandingkan dengan kapasitas fiskal daerah. 

Namun di sinilah paradoks utamanya: nilai ekonomi puluhan triliun rupiah tersebut tidak bertransformasi menjadi kesejahteraan masyarakat secara luas. Sebagian besar nilai tambah justru mengalir keluar daerah mengikuti struktur kepemilikan modal, rantai pasok, dan orientasi ekspor.

Paradoks ini semakin nyata ketika dilihat dari sisi ketenagakerjaan. Pertambangan batubara adalah sektor yang sangat padat modal, bukan padat karya. Dalam tujuh tahun terakhir, data ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian secara nasional hanya menyerap sekitar 1,2–1,6 persen dari total tenaga kerja, meskipun kontribusinya terhadap PDB jauh lebih besar. Pola ini juga tercermin di Jambi. 

Dengan jumlah angkatan kerja sekitar 1,8–2 juta orang, estimasi tenaga kerja yang terserap langsung di sektor pertambangan batubara hanya berkisar 25–35 ribu orang, itupun sebagian besar bersifat tidak langsung, kontraktual, atau berupah relatif rendah.

Jika dibandingkan dengan nilai produksinya, rasio penciptaan lapangan kerja sektor batubara di Jambi tergolong sangat rendah. Secara kasar, setiap Rp1 triliun nilai produksi batubara hanya menciptakan sekitar 700–1.500 lapangan kerja. 

Angka ini jauh di bawah sektor pertanian, industri pengolahan, atau perdagangan yang mampu menyerap tenaga kerja berkali-kali lipat untuk nilai tambah ekonomi yang sama. Bahkan ketika produksi batubara Jambi meningkat hampir dua kali lipat dalam lima tahun terakhir, jumlah tenaga kerja tidak menunjukkan peningkatan yang sebanding. Produksi bisa naik drastis, tetapi kesempatan kerja tetap stagnan.

Masalahnya tidak berhenti di situ. Struktur industri batubara juga dikuasai oleh segelintir elit dan oligarki korporasi yang terintegrasi secara vertikal. Penguasaan modal, izin, dan jalur distribusi berada di tangan kelompok terbatas, sehingga pelaku usaha lokal, UMKM, dan koperasi nyaris tidak memiliki ruang dalam rantai nilai batubara. Akibatnya, efek pengganda ekonomi di tingkat lokal menjadi sangat lemah. Batubara diekstraksi dari tanah Jambi, tetapi keuntungan utamanya justru mengalir keluar daerah.

Sementara itu, biaya sosial dan lingkungan justru ditanggung oleh masyarakat lokal. Produksi belasan juta ton batubara per tahun meninggalkan kerusakan lahan, pencemaran air dan udara, konflik agraria, serta tekanan berat pada infrastruktur jalan. 

Biaya-biaya ini tidak pernah masuk dalam perhitungan nilai produksi Rp19–34 triliun per tahun, tetapi harus dibayar oleh masyarakat dan pemerintah daerah dalam jangka panjang. Ironisnya, sektor-sektor yang lebih padat karya dan berkelanjutan seperti pertanian dan perikanan justru tergerus oleh degradasi lingkungan akibat tambang.

Paradoks batubara Jambi pada akhirnya menunjukkan bahwa besarnya produksi dalam satuan ton dan rupiah bukan indikator keberhasilan pembangunan. Jutaan ton batubara diangkut keluar setiap tahun, puluhan triliun rupiah dicatat dalam statistik ekonomi, tetapi lapangan kerja yang tercipta sangat terbatas, ketimpangan melebar, dan beban ekologis terus menumpuk. Ketergantungan pada batubara menciptakan pertumbuhan yang rapuh, tidak inklusif, dan berisiko tinggi di masa depan, terutama ketika transisi energi global semakin cepat.

Dalam konteks ini, data produksi dan serapan tenaga kerja seharusnya menjadi dasar refleksi kebijakan. Batubara terbukti bukan lokomotif pembangunan ekonomi daerah yang berkelanjutan. Tanpa transformasi menuju sektor-sektor yang lebih padat karya, berbasis nilai tambah lokal, dan ramah lingkungan, Jambi akan terus terjebak dalam paradoks, kaya sumber daya, tetapi miskin manfaat nyata bagi masyarakatnya sendiri. ***

 

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya