Pembahasan Revisi UU MD3 Tanpa Melibatkan DPD Dipertanyakan

| Editor: Muhammad Asrori
Pembahasan Revisi UU MD3 Tanpa Melibatkan DPD Dipertanyakan
Afnan Hadikusumo, DPD RI kehilangan kewenangan ll Foto: Bambang Subagio



JAKARTA  - Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU), Afnan Hadikusumo, mempertanyakan ketidakterlibatan lembaga DPD RI dalam rencana pembahasan revisi UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) yang sedang digulirkan MPR RI.

Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK), sudah mengeluarkan putusan, agar DPR RI melibatkan DPD RI dalam setiap pembahasan rancangan undang-undang dan putusan itu, harus dilaksanakan oleh DPR RI.

“Kami sebenarnya ingin bertanya, kenapa perubahannya terbatas? Sementara tentang kewenangan DPD tidak dimasukkan. Keputusan MK itu kan harus dijalankan,” lanjut Afnan, dalam diskusi dialog Kenegaraan bertajuk "Mengapa Revisi UU MD3 Terbatas?", bersama anggota Baleg Fraksi PDI Perjuangan DPR Hendrawan Supratikno, dan pakar hukum tata Negara, Refly, di gedung DPR Jakarta, Rabu (1/3).

Namun, Afnan Hadikusumo, mengakui revisi terbatas UU MD3, khususnya terkait penguatan kewenangan DPD RI itu, sangat tergantung kepada Presiden RI dan DPR RI, kendati sudah ditetapkan tidak adanya agenda penguatan DPD RI.

Surat Presiden RI, untuk revisi itu sudah ada di meja pimpinan DPR RI dan hanya terkait 5 pasal di luar kewenangan DPD RI.

“Jadi, meski revisi terbatas UU MD3 itu, tidak ada penguatan kewenangan DPD RI, namun hal itu akan sangat tergantung kepada Presiden Joko Widodo dan DPR RI. Kalau Presiden RI dan DPR RI, menyatakan mendukung revisi penguatan kewenangan DPD RI, maka itu akan dilakukan,” ujarnya.

Bahkan, kata senantor asal Yogyakarta ini, DPD RI dengan demikian kehilangan semuanya. Yaitu, tidak memiliki kewenangan dalam memutuskan APBN maupun UU. Sehingga yang tersisa adalah tinggal harga diri dan etika sebagai anggota DPD RI.

“DPD RI sudah kehilangan semuanya, kecuali etika dan harga diri sebagai senantor,” ujarnya.

Menyinggug masa jabatan pimpinan DPD RI selama 2,5 tahun sebagaimana Tatib yang diputuskan paripurna DPD RI, seharusnya kata Afnan, itu tidak berlaku sekarang, melainkan untuk periode mendatang. Sebab, kalau langsung berlaku sekarang berarti sangat politis, dan melanggar sumpah jabatan saat dilantik oleh MA selama lima tahun.

Peran DPD Lebih Fungsional

Sedangkan Hendrawan sepakat, peran DPD RI itu, lebih fungsional dan instrumental, tidak seperti sekarang ini, yang tidak jelas.

“DPD RI hanya sebagai aksesoris seolah-olah dibagi untuk masalah daerah, tapi nyatanya yang ditangani DPR RI lebih banyak. Jadi, peran DPD ini harus lebih diwujudnyatakan,” tambah politisi PDIP itu.

Lebih jauh kata Hendrawan,  produk UU MD3 sekarang ini merupakan hasil ‘kecelakaan dan persekongkolan’ DPR RI akibat pertarungan politik yang tajam pasca Pilpres 2014. Ketika itu, ada KMP dan KIH, yang memutuskan pencalonan pimpinan MPR dan DPR RI itu dengan sistem paket, bukan proporsional.

“Makanya meski PDIP menang pemilu dan pilpres, gagal menjadi pimpinan MPR dan DPR RI, karena sistem persekongkolan itu,” ujar aggota Komisi XI DPR RI itu.

Dukungan senada dilontarkan oleh pengamat hukum Tata Negara, Refly Harun. Bahkan Refly mengaku heran dengan apa yang terjadi di republik tercinta ini, khususnya dalam hal penegakkan hukum.

“Saya bingung di negara ini, putusan MK saja tidak ditaati,” kata Refly.

Refly juga mendesak, agar DPR RI menjalankan putusan MK terkait kewenangan DPD RI. “Menurut saya DPR harus ikuti,” lanjut Refly.

Sebab kata Refly, setiap pemilih yang mencoblos di bilik suara pada Pemiliu legislatif tidak hanya memilih calon anggota DPR RI saja.

“Orang yang masuk bilik suara itu, kan juga pilih DPD tidak hanya DPR. Jadi, yang diwakili oleh DPR 560 orang itu sama dengan yang diwakili oleh 132 DPD RI. Pemilih DPD itu sama dengan pemilih DPR secara keseluruhan,” tegas. (infojambi.com)

Laporan : Bambang Subagio ll Editor : M Asrori

Baca Juga: Soal Revisi UU MD3, DPR Diminta Jangan Melenceng

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya