INFOJAMBI.COM - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Nasdem, Supiadin Aries Saputra, menilai kasus dugaan korupsi pembelian Helikopter Agusta Westland (AW) 101 penuh kejanggalan.
Menurut Supiadin, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) belum menemukan adanya kerugian negara, seperti yang disebutkan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo.
“Ya itulah, kami akan tanya pada Panglima TNI kenapa kerugian negara, karena secara prosedur tidak ada masalah. Kalau prosedur tidak dijalani, tidak mungkin pesawat itu sampai ke sini. Jadi prosedurnya sudah benar,” kata Supiadin di Media Center Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyebut adanya kerugian negara sebesar Rp.220 miliar dari nilai proyek sebesar Rp.738 Miliar dalam pembelian Heli AW 101. Pembelian AW 101 juga dinilai menyalahi prosedur hukum dan menjatuhkan wibawa TNI AU selaku pelaksana pembelian alutsista tersebut.
Supiadin mengatakan, jika ditemukan adanya kerugian negara, hendaknya diserahkan terlebih dahulu kepada angkatan masing-masing. "Jangan langsung mempublikasikan ada kerugian negara," ujar politisi Fraksi Partai Nasdem itu.
Supiadin yang juga anggota Badan Anggaran DPR mengatakan, penggunaan anggaran itu sama, tapi dalam pengusulan alutsista ada pada masing-masing angkatan. Pengusulan harus di bawah pengawasan panitia, pengusul dan pengadaan yang di bawah Panglima TNI dan Menhan.
"Jadi seharusnya Panglima TNI sudah tahu, tidak ada pengajuan alutsista tiba-tiba datang ke sini, Mabes TNI tidak tahu itu tidak masuk akal,” katanya.
Saat ini sudah ditetapkan tersangka, yaiti Marsma TNI FA selaku pejabat pembuat komitmen (PPK), dan Letkol Adm TNI WW selaku pemegang kas. Kemudian, Pembantu Letnan Dua SS yang menyalurkan dana pada pihak tertentu.
Sementara itu, Marsekal Muda TNI SB yang pernah menjabat Asisten Perencana Kepala Staf Angkatan Udara, disebut ikut bertanggung jawab dalam proses pembelian helikopter AW101.
Conny Rahakundini berpendapat, apabila kasus AWA diteruskan akan membawa banyak masalah. Conny mengaku telah membuat laporan untuk Presiden tertanggal 16 Februari 2017.
Menurut Conny, untuk mencapai visi Presiden tentang negara poros maritim dunia, ada dua hal penting, bagaimana pembangunan proses kekuatan berikut proyeksinya dan bagaimana masalah industri pertahanan. Langkah tersebut perlu dilakukan presiden demi terwujudnya kemandirian profesionalisme TNI.
Conny menilai Kapolri lebih banyak bekerja dibandingkan Panglima TNI dalam anggaran pertahanan/kemanan negara. Hal itu bisa dilihat dari langkah Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang berhasil menggelembungkan anggaran keamanan dari Rp.44 triliun tahun 2014 menjadi Rp.87 triliun pada 2017 atau hampir 2 kali lipat.
"Jadi Pak Tito sudah bisa menerangkan, ini lho nanti keamanan akan seperti ini, ancamannya ini, yang harus dibeli ini dan sebagainya dan berhasil beliau," ujar Conny.
Sementara Panglima TNI pada tahun 2014 anggaran pertahanan sebesar Rp.84 Triliun dan tahun 2017 menjadi Rp.108 Triliun. Harusnya kalau hitungan kasar, Panglima TNI mestinya memperoleh anggaran Rp.168 triliun, sebab TNI telah berubah dan berbenah.
Presiden pernah menyebut TNI akan membangun kekuatan tentara poros maritim dunia, otomatis akan menjadi negara poros dirgantara dunia.
"Saya tidak tahu, kenapa Panglima memperoleh jatah (anggaran) tidak sesuai dan harapan menjadi negara poros maritim. Apakah beliau tidak bermanuver atau terlalu bermanuver di tempat yang lain? Ini ada kaitannya dengan konflik yang harus dibahas sekarang, " ujarnya. (bambang subagio - jakarta)
Baca Juga: Koramil 415-11 Jambi Timur Sosialisasi Wawasan Kebangsaan
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com