Peran Politisi Perempuan di Indonesia Masih Jalan di Tempat

| Editor: Muhammad Asrori
Peran Politisi Perempuan di Indonesia Masih Jalan di Tempat
Dialog Kartini Bicara Pemilu ll foto : Bambang Subagio



JAKARTA - Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, Hetifah Saifudian, mengatakan, saat ini Indonesia sudah menapaki fase demokratis.

Tetapi, jika dibandingan dengan negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman, Indonesia masih menghadapi tantangan dan dilema untuk tidak mengesampingkan perempuan.

“Dalam representasi perempuan, salah satu penerapannya adalah melalui Pemilu. Dari hasil dari Pemilu itu, adalah pemimpin yang berkualitas dan memberikan kesempatan representasi berbagai komponsen berbasis gender,“ ujar Hetifah, dalam dialektika demokrasi ‘Kartini Bicara Pemilu’ bersama Direktur Perludem Titi Anggraeni, dan Ketua Umum Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Dwi Septiawati Djafar, di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (20/4).

Hetifah menembahkan, hari Kartini adalah momentum untuk refleksi bagi perempuan. Namun, dia menyimpulkan hari Kartini, adalah waktu untuk meningkatkan partisipasi perempuan lebih dalam dan bermakna.

Menurut Hetifah, belum banyak peluang-peluang baru yang terbuka. Bahkan, sebaliknya banyak yang frustasi.

“Banyak perempuan gelisah dengan situasi politik saat ini, terbatas sekali untuk menyampaikan gagasan dan turut serta mengatasi masalah,“ katanya.

Lebih jauh kata anggota komisi II DPR itu, peran politisi perempuan di Indonesia saat ini, masih jalan di tempat. Padahal, negara demokrasi tanpa keterlibatan perempuan itu justru tidak demokratis.

“Tapi,  karena masih dalam transisi demokrasi dalam 15 tahun terakhir ini, sehingga banyak tantangan yang dihadapi dalam masalah representasi perempuan tersebut,“ katanya.

Di DPR RI, baru 18 persen keterwakilan perempuan dan 12 persen di DPRD, maka tanpa perubahan kebijakan, sulit persamaan bisa terwujud. Demikian pula kata Hetifah, kalau berbicara kuota 30 persen, perempuan di daftar caleg DPR juga tergantung peraturan yang lainnya.

“Kalau Parpol sendiri tidak mempunyai komitmen untuk menjalankan aturan itu, ya sulit. Yang penting perempuan yang ada di DPR dan DPRD, harus menjadi ‘rule model, menjadi contoh yang baik bagi masyarakat,” katanya.

Menurut Titi Anggraeni, peran itu bisa dilakukan di 3 jenis pemilu; yaitu Pilpres, Pileg, dan Pilkada.
Itulah yang menjadi sirkulasi elit Indonesia. Namun, isu keterwakilan perempuan ini tak bisa hanya melalui 3 instrumen tersebut, melainkan harus lebih luas lagi. Seperti penyelenggara Pemilu. Di KPU saja hanya 1 perempuan dari 7 komisioner, dan Bawaslu hanya 1 dari 5 komisioner.

“Maka jumlah 30 persen itu penting untuk memperngaruhi keputusan. Jadi, keterwakilan itu komprehensif,” jelasnya.

Sementara Dwi Septiani, menegaskan, jika apa yang dilakukan RA Kartini sudah jelas seperti dalam surat-suratnya yang ingin mewjudkan cita-cita besar bagi perempuan. Bukan sekedar untuk kekuasaan, tapi untuk titik keseimbangan (equilibrium).

“Saat ini masih 7 Provinsi yang memiliki wakil perempuan di DPR RI, 17 Provinsi belum punya wakil di DPD RI, dan 22 provinsi yang belum mempunyai wakil di DPRD. Kalau begitu, bagaimana kita bisa memberi ruang 30 persen (blocking seat) untuk perempuan,” katanya. (infojambi.com)

Laporan : Bambang Subagio ll Editor : M Asrori

Baca Juga: PSI Tolak Batas Usia Penyelenggara Pemilu

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya