Catatan Hasril Chaniago (Wartawan Senior dan Penulis Biografi Indonesia)
Kabar mengejutkan itu datang di hari kedua Lebaran Idul Fitri, 2 Syawal 1445 H atau hari Kamis 11 April 2024. Senator Prof. Dato' Dr. Firdaus Abdullah, salah seorang putra terbaik Minangkabau yang telah mengabdikan diri untuk kejayaan Negara Malaysia, wafat di Kuala Lumpur dalam usia menjelang 80 tahun. Sehari sebelumnya saya berkomunisasi lewat WA dengan adik Alm., yaitu Bapak Hermani Abadullah, dan dapat kabar belakangan kesehatan beliau menurun.
Baca Juga: Farid Prawiranegara dan Keteladanan Pemimpin Masa Lalu
Prof. Firdaus mantan wartawan dan sastrawan yang menjabat Senator Dewan Negara Malaysia dua periode (2009-2012 & 2012-2015). Beliau juga guru besar Sosiologi dan pernah jadi Dekan Fakulti Ekonomi dan Pentadbiran serta Timbalan Naib Chancellor (Wakil Rektor) Universiti Malaya. Namanya sangat dikenal di kalangan intelektual dan pernah menjadi Ketua Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia. Prof. Firdaus juga pernah menjabat Presiden Jaringan Masyarakat Minangkabau Malaysia (JM3) yang pertama (2015-2020). JM3 adalah organisasi payung (induk) dari puluhan organisasi perantau Minang di Malaysia yang turut didirikannya bersama Tan Sri Rais Yatim yang duduk sebagai penasihat utama.
“Pemergian Allahyarham Datuk Dr. Firdaus Abdullah, 80, subuh dinihari membawa kehilangan besar kpd dunia akademi tanah air selain arena budaya dan politik,” tulis Tan Sri Dato’ Seri Utama Dr. Rais Yatim di halaman FB-nya di hari yang sama. Lebih lanjut tokoh Minang yang hampir setengah abad menjadi anggota Parlemen, enam kali menjadi menteri, dan terakhir Ketua Dewan Negara Malaysia (2020-2023) itu menulis: “(Firdaus Abdullah) seorang pemikir, penulis dan bekas Senator, pena yang diasahnya semenjak bertugas sebagai pemberita Berita Harian dlm tahun-tahun 60-han telah menghasilkan berbagai-bagai tajuk buku kontemporari dan rujukan. Minda akademiknya tersohor sudah.”
Baca Juga: Iko Baru Gadih Minang, Pandai Mangaji jo Barandai. Awak Rancak Pulo....
Saya mengenal Prof. Firdaus sejak 1996 dalam sebuah acara seminar IMT-GT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle) di Bukittinggi. Setelah itu hubungan kami cukup rapat terutama sejak tahun 2000-an setelah saya sering berkunjung ke Malaysia dan Prof. Firdaus cukup sering pula pulang kampung ke Rao Rao, Tanah Datar. Kami pernah beberapa kali sama-sama menjadi tamu Tan Sri Dato' Seri Utama Rais Yatim di Kuala Lumpur.
Beliau adalah sosok tokoh yang bersahaja dan rendah hati. Setelah sebuah pertemuan di Universitas Islam Antarbangsa Malaysia (2016), Prof. Firdaus yang waktu itu Presiden JM3, mengajak saya dan istri menghadiri acara pelantikan JM3 di Kuantan, Pahang. Dalam perjalanan pulang dalam satu mobil yang disopiri sahabat Dirwan Ahmad Darwis (waktu itu Wakil Presiden JM3), kami sempat mampir minum kopi di kawasan Bukit Tinggi, dekat Genting Highland, Negeri Pahang.
Baca Juga: Hebatnya Bali, Belum Dibangun Sudah Menyedot Pengunjung.
Akhir September 2018, saya dan Prof. Firdaus Abdullah diundang dan tampil satu panggung di seminar Sejarah dan Budaya Minangkabau dalam rangka Minang Diaspora Network-Global (MDN-G) Forum yang pertama di Kampus Deakin University, Melbourne, Australia. Beliau bicara tentang pendidikan dan SDM Minangkabau, sedangkan saya tentang kiprah tokoh-tokoh asal Minang di dunia global, khususnya Indonesia dan Malaysia.
Komunikasi kami yang cukup intens adalah selama saya dan kawan-kawan menyusun buku Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang (2023), terutama dalam tahap editing bulan Juni dan Juli 2023. Untuk buku yang sudah terbit bulan Oktober 2023 ini, Prof. Firdaus menyumbang dua bahan tulisan untuk entri tentang Prof. Ezrin Arbi (putra Minang yang jadi Ketua Perancang Bandaraya Kuala Lumpur), dan entri tentang Khatidjah Sidek (pejuang kemerdekaan dan politikus wanita asal Minang yang pernah menjadi Ketua Wanita UMNO dan anggota Parlemen Malaysia).
Prof. Firdaus Abdullah adalah seorang tokoh multitalenta yang bergiat di banyak bidang kecendekiawanan di Malaysia. Kiprah dan pemikirannya sangat dihargai dan dihormati di Dunia Melayu. Sebagai putra Minang, perhatiannya juga sangat besar terhadap tanah leluhurnya, khususnya Nagari Rao Rao di Tanah Datar.
Pernah menjadi wartawan, lalu sastrawan terkenal, beliau juga penulis yang sangat produktif. Dilahirkan pada 3 Juni 1944 di Kuang, Selangor, Firdaus Abdullah merupakan generasi ketiga keturunan Minangkabau yang hijrah ke Tanah Semenanjung. Ia merupakan anak dari Haji Abdullah bin Haji Ja’afar dan ibunya bernama Zubaidah Syarif. Ayahnya, Haji Abdullah, dibawa merantau oleh datuknya, Haji Ja’far Amin, ke Selangor dan menetap di Kuang, suatu daerah yang banyak didiami perantau Minangkabau di samping Negeri Sembilan. Haji Ja’far juga dikenal sebagai salah satu tokoh perantau Minangkabau di Kuala Lumpur. Ia adalah kemenakan dari Haji Mohamed Taib (1858-1925), berasal dari Rao-Rao, Sungai Tarab, Tanah Datar. Semasa hidupnya Haji Taib disebut sebagai orang Melayu terkaya di Kuala Lumpur pada masa penjajahan Inggris akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Nama Haji Taib diabadikan untuk nama sebuah ruas jalan di daerah Kampung Baharu, Kuala Lumpur.
Firdaus masuk pendidikan dasar di Sekolah Melayu Jalan Raja Muda dan Sekolah Menengah Methodist di Sentul, Kuala Lumpur. Selepas itu ia bekerja sebagai wartawan, lalu melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi di Amerika Serikat. Ia mendapat gelar Bachelor of Arts bidang Ilmu Politik dari Northern Illinois University (1969), dua tahun kemudian meraih gelar Master of Arts (MA) dari Ohio University. Setelah itu ia berhasil memperoleh gelar M. Phil (1975) dan Doktor Falsafah (Ph.D.) dalam bidang Sains Politik (1980), keduanya dari Columbia University, New York.
Ia adalah salah satu anak muda Selangor yang hebat dan menonjol di generasinya, seangkatan dengan Rais Yatim (Ketua Dewan Negara Malaysia, 2020-2023) dan Abdullah Ahmad Badawi (PM ke-5 Malaysia). Hampir semua pendidikannya di luar negeri adalah berkat beasiswa. Ia memperoleh Fulbright-Hays Travelling Award untuk mempersiapkan studi di Northern Illinois University (1966), Asia Foundation Scholarship untuk belajar di Northern Illinois University (1966-1968), MARA Scholarship untuk belajar di Northern Illinois University (1968-1969) dan Ohio University (1969-1971), serta Ford Foundation Fellowship selama belajar di Columbia University, New York (1973-1977).
Firdaus memulai kariernya sebagai wartawan New Straits Times, Singapura, di samping sebagai kolumnis tetap “Hati dan Nadi Dunia Pelajar” untuk koran Berita Harian Malaysia. Kemudian ia sempat menjadi pengajar Bahasa Melayu dan Malayasian Civics kepada sukarelawan Amerika di Kampus Hilo, University of Hawaii, Amerika Serikat.
Sekembali dari Amerika Serikat yang pertama (1971) ia memulai khidmat di Universiti Malaya. Mulanya sebagai penolong pensyarah (asisten dosen) lalu menjadi dosen penuh di Fakultas Ekonomi dan Pentadbiran (1972-1982), selanjutnya menjadi Profesor Madya (1982-1995) dan akhirnya menjadi Profesor Penuh (1995-2004). Dalam rentang waktu itu, ia juga kerap diserahi tugas jabatan fungsional dan struktural di lingkungan fakultas maupun universitas. Di antaranya sebagai Anggota Senat Universiti Malaya (1982-2004), Timbalan (wakil) Dekan Fakulti Ekonomi dan Pentadbiran (1983-1988), Dekan Fakulti Ekonomi dan Pentadbiran (1995-1988), dan puncaknya sebagai Timbalan Naib Chancellor (Deputi Wakil Rektor) selama tiga tahun (1998-2001).
Sebagai akademisi ia mempunyai banyak pengalaman mengajar sebagai profesor tamu dan dosen tidak tetap di dalam maupun luar negeri. Di antaranya sebagai Fellow dan Visiting Professor di Institute of International Studies and Training, Fujinomiya, Jepang (1986), Visiting Fellow di Institute of Strategic and International Studies (ISIS) Kuala Lumpur (1989), Visiting Reseacrh Fellow di Japan Institute of International Affairs, Tokyo (1992-1993), dan Adjuct Associate Professor di Northern Illinois University, Amerika Serikat (1993-1994). Selain itu ia juga pernah menjadi menjadi pensyarah tidak tetap (part-timer lecturer) di Institut Teknologi MARA, Malaysia.
Firdaus juga aktif dalam berbagai organisasi profesi dan keilmuan seperti Persatuan Sains Sosial Malaysia, Persatuan Sejarah Malaysia, dan Persatuan Ekonomi Malaysia. Di samping itu, ia juga cukup lama mengabdi di Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia. Pertama sebagai salah seorang direksi sekaligus Chairman Sub-Committee on Finance and Tender DBP (1992-1999), dan puncaknya adalah sebagai Ketua Dewan Pengarah DBP (2005-2008).
Selain seorang akademisi dan pentadbir yang mumpuni, nama Firdaus Abdullah juga sangat terkenal karena aktivitasnya sebagai penyair dan sastrawan. Dalam hal ini, karya-karyanya banyak dipengaruhi bentuk puisi lama Minangkabau, yaitu pantun. Hal ini bisa dipahami, karena sejak usia belia, bersama ayahnya ia sering mengikuti siaran RRI terutama yang dipancarkan dari Padang dan banyak menyiarkan Sandiwara Randai dan lagu-lagu Minang lama. Pengaruh Minangkabau tersebut amat jelas di mana saja ia berada dan berkarya, baik di Amerika ataupun di Moskow.
Sejak masih bekerja sebagai wartawan di dekade 1960-an, ia sudah produktif menulis puisi, sehingga kepada Firdaus pernah disematkan slogan “tiada hari tanpa puisi”. Setelah menjadi pensyarah dan guru besar pun ia tetap menulis puisi. Bahkan sampai usianya telah mencapai 80 tahun. Ratusan puisi telah ia tulis, dan banyak buku puisinya sudah diterbitkan. Sebagai penyair yang prolifik, empat karya puisinya pernah memenangkan Hadiah Karya Sastera Malaysia. Yaitu Tiga Pesan Pembangunan (1971), Lima Menungan di Lima Perhentian (1973), Niagara (1976), dan Tarawih (1982-1983).
Sebagai sastrawan dan penulis, Firdaus bergabung dalam persatuan penulis seperti PENA dan Gapena, dan dikenal aktif mengikuti berbagai forum kesusastrawan maupun kepenulisan baik di Malaysia, Indonesia, maupun di luar negari. Antara lain, ia pernah mewakili Gapena (Gabungan Penulis Nasional) menghadiri Persidangan Antarabangsa Kedua Sastera Kanak-Kanak dan Belia di Moskow, Rusia (1979), Seminar Ekonomi Asia di Tokyo, Seminar Tamadun Islam di Kuala Lumpur, dan Seminar Koperasi Pengguna di Tokyo (1985).
Firdaus Abdullah dikenal sebagai penulis yang produktif. Dua bukunya yang terakhir, Antara Yang Dikendong dan Yang Dikejar (2018) dan Cermin Belakang (2022), merupakan bentuk keprihatinannya atas nasionalisme Melayu yang menurun dan nilai-nilai bangsa yang kian pupus. Kedua hal tersebut memang menjadi fokus kajiannya sebagai seorang sosiolog dan cendekiawan terkemuka Melayu.
Jauh sebelumnya beliau telah banyak menulis mengenai topik yang sama. Di antara sederet karyanya adalah Analisa Simposium Kepimpinan Melayu: Dari Mana ke Mana (1977), Kepimpinan Melayu: Satu Rakaman Kewartawanan (1985), Prisma Mimpi (1985), dan Radical Malay politics: its origins and early development (1985). Buku puisinya antara lain Laungan (antologi pusi bersama, 1966)), Puisi Kanak-kanak (antologi bersama, 1967)), Balada Cinta di Seberang Benua (1976), Puisi-puisi Nusantara (antologi bersama, 1981), Lagu Kehidupan (antologi bersama, 1983), Bintang Mengerdip (antologi bersama, 1984), 100 Sajak Malaysia (antologi bersama, 1984), Bahasa Alam (antologi bersama, 1984), Puisi Amira dan Falahi (puisi kanak-kanak, 1986), Bunga Gerimis (antologi bersama, 1986), Puisirama Merdeka (antologi bersama PENA, 1986), Kumpulan Sajak-sajak Hadiah Sastera 1971-1973 (antologi bersama, 1987), Kumpulan Puisi Malaysia 1975-1985 (antologi bersama, 1988), Puisi Baharu Melayu 1961-1986 (antologi bersama, 1990), Merpati Putih dan Pelangi/The White Dove and the Rainbow (antologi bersama, 1990), dan Malaysia dalam Puisi (antologi bersama, 1991).
Ia memang sosok yang multi talenta dan berkiprah di banyak bidang secara menonjol. Tidak saja sebagai wartawan, akademisi, sastrawan, dan penulis yang sangat produktif. Ia telah menghasilkan ratusan tulisan dalam bentuk artikel ilmiah di jurnal dan media cetak, esai dan chapter dalam berbagai genre buku soal kebudayaan hingga sosial dan politik, serta kata pengantar untuk sejumlah buku. Ia bahkan juga pernah menjadi aktor dan bermain dalam film Esok Masih Ada arahan Dato Jins Shamsuddin.
Selepas pengabdiannya sebagai Ketua Dewan Pengarah DBP, atas sokongan PM ke-5 Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, pada bulan Januari 2009 Prof. Dato’ Firdaus Abdullah dilantik oleh Yang di-Pertuan Agong Malaysia sebagai Senator atau Anggota Dewan Negara Malaysia periode 2009-2012, dan selanjutnya dilantik lagi untuk penggal kedua periode 2012-2015. Selain sebagai senator, beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kebudayaan khususnya yang berkaitan dengan dunia Melayu dan organisasi perantau Minangkabau di Malaysia. Firdaus pernah dipercaya menjabat Presiden Jaringan Perantau Minang Malaysia (JM3) yang pertama untuk masa jabatan 2015-2020.
Sebagai salah seorang putra terbaik Negeri Selangor, Firdaus mendapat dua gelar kehormatan dari Diraja Selangor, yakni AMS (Ahli Mahkota Selangor, 1990) dan DSSA (Darjah Sultan Salahuddin Alam Syah,1999) yang membawanya berhak menggunakan gelar Dato' di depan namanya.
Senator Prof. Dato’ Firdaus Abdullah wafat di Kuala Lumpur pada Kamis 11 April 2024. Ia meninggalkan seorang istri bernama Datin Norsihar Jamaludin yang memberinya empat orang anak, yaitu Amira Sariati, Farahi Sarisatriya, Titah Khalissah Sariyati, dan Dini Nasihah Sariyati.
Selamat jalan Prof. Firdaus. Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Insya Allah, namamu akan dikenang harum dan abadi di negara Malaysia dan negeri Minangkabau.****
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com