JAKARTA - Seluruh fraksi dan kelompok DPD menyetujui reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN dikembalikan ke dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Hanya saja, masih terdapat beberapa perbedaan diantara anggota MPR, seperti apakah perubahan UUD 45 itu hanya untuk menghidupkan kembali GBHN atau ada hal-hal lain. Kalau terjadi perubahan UUD 45 ada yang minta terbatas GBHN saja. Tetapi ada juga yang sesuai pasal 37.
“Semua fraksi dan kelompok menyetujui model GBHN dikembalikan ke sistem ketatanegaraan Sementara sejumlah fraksi tidak sepakat dengan bentuk hukum dari GBHN. Ada yang meminta UU, ada yang minta TAP MPR dan ada yang minta dicantumkan di dalam UUD NRI 1945,“ ujar Bambang Sadono, dalam dialog 4 Pilar MPR RI, soal perkembangan amandemen bersama pakar hukum tata negara UI, Satya Arinanto di gedung MPR RI Jakarta, Senin (27/2).
Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Bambang Sadono, menegaskan, masalahan yang tidak sempat dibahas dan masih akan dikaji, badan pengkajian adalah siapa yang akan menyusun GBHN dan apa isi yang akan dimasukkan ke dalam GBHN. Itu yang akan menjadi kajian badan pengkajian mendatang.
Fraksi dan kelompok DPD, juga tidak menemukan kesepakatan sanksi hukum apabila GBHN tidak dilaksanakan.
“Ada yang meminta tidak ada sanksi hukum, ada yang meminta ada sanksi hukum, tapi ada yang juga yang tidak berpendapat,“ ujar Bambang Sadono.
Bambang mengungkapkan, PDI Perjuangan, PAN, PKB, NasDem mendukung dalam bentuk GBHN, Demokrat setuju ada sanksi hokum, tapi dalam bentuk UU seperti UU No.25/2004 dan UU No.17/2007, tentang perencanaan pembangunan jangka panjang.
Sementara Golkar, meminta untuk mempertimbangkan dalam bentuk UU, bagaimana efektifitasnya sebuah UU, karena MPR RI, bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara.
Gerindra setuju revisi UU No.25/2004 dan UU No.17/2007, untuk menegaskan kembali kewajiban dalam perencanaan pembangunan yang terintegrasi sebagaimana TAP MPR RI sebagai produk hukum. Sehingga, dibutuhkan TAP MPR RI yang baru dan amandemen itu dilakukan secara komprehensif.
PKS berharap perubahan itu, jangan sampai rentan digugat, judicial review. Maka proses amandemen harus melibatkan lembaga terkait, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan lain-lain. PPP masih mempertimbangkan seperti GBHN dan Hanura perlunya dukungan politik.
Sedangkan Satya Arinanto menyatakan, hal serupa apabila amandemen itu membutuhkan dukungan politik konkret. Dulu, DPD RI untuk penguatan kewenangannya mampu mendapat dukungan politik sampai 1/3 fraksi MPR RI. Tapi, saat ini merujuk pada rumusan Pasal 37 UUD 1945, sepertinya lebih sulit.
“Sekarang kita nunggu dorongannya harus ada. Dorongannya secara politis, sudah pernah beberapa kali diupayakan tidak pernah kuorum. Makin banyak makin mudah,” kata Satya.
Dampak dari belum penuhnya dukungan itu, lanjut Satya, telah menjadikan kondisi rencana perubahan itu belum pasti.
“Sekarang petanya masih bermacam-macam, di DPR maupun di DPD. Pintunya di kedua lembaga ini. Kita masih lihat permasalah lain yang lebih condong pada permasalahan internal. Apakah dengan masalah internal ini dalam waktu dekat bisa menghasilkan dukungan apa enggak,” lanjut Satya.
Hanya saja, Satya menyarankan, agar DPD RI menuntaskan masalah di internal dulu. Misalnya, soal masa jabatan pimpinan DPD RI, apakah 2,5 tahun atau 5 tahun?
“Saya kira masalah jabatan pimpinan DPD RI ini yang mesti diselesaikan dulu, baru mencari dukungan politik,” ujarnya. (infojambi.com)
Laporan : Bambang Subagio ll Editor : M Asrori
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com