Rekonsiliasi Pasca Pilpres 2019, Perlukah?

| Editor: Wahyu Nugroho
Rekonsiliasi Pasca Pilpres 2019, Perlukah?


Oleh : Mochammad Farisi,LL.M
Ketua KOPIPEDE Prov.Jambi

Baca Juga: Agung Laksono: Saya Legowo, Azis Jadi Ketum Kosgoro









INFOJAMBI.COM - Demokrasi Indonesia sedang tumbuh pesat, ditandai dengan semakin berkembangnya
hak-hak politik masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia.Tak heran jika politik
yang sering diidentikkan dengan pemilu menjadi amat dinamis, bahkan gaduh. Tidak
hanya sebelum dan waktu pemilu, namun setelah pemilu stabilitas politik menjadi
sangat mahal, berbagai macam kompromi dan consensus coba dicapai.





Indonesia baru saja melampaui masa pemilu 2019 yang penuh drama, kematian ratusan

petugas KPPS menjadi sinetron horor berkepanjangan beberapa minggu pasca

pencoblosan.

Baca Juga: Rekonsiliasi dan Kolaborasi, Anis Matta Apresiasi Pertemuan Kapolri-Muhammadiyah





Propaganda kecurangan juga terus dihembuskan oleh pihak yang kalah

berdasarkan hasil situng KPU. 





Ancaman demo juga terus menggaung, sampai pada

titiknya terjadi bentrok didepan Bawaslu RI yang menewaskan pendemo. Bahkan cerita

pembunuhan tokoh-tokoh nasional menjadi bumbu penyedap cerita pemilu.





Meja hijau menjadi pintu terakhir bagi para kontestan mencari keadilan. Masing-masing

paslon dan penyelenggara diberikan kesempatan yang adil melalui para pendekar pendekar hukumnya untuk bertarung beradu argument, bukti dan saksi. Akhirnya

Putusan Mahkamah Konstitusi menyudahi segala macam kegaduhan politik pasca

pilpres. Rakyat Indonesia Menang.





Ketegangan mereda, masing-masing paslon khususnya yang kalah sudah bisa

menerima hasil pemilu, namun perjuangan membangun bangsa ini belum selesai,

pemilu menyisakan jurang polarisasi masyarakat yang terbelah cukup tajam, perlu

ihktiar bersama merajut persatuan yang sempat tercerai berai. Rekonsiliasi menjadi

kunci mencapai stabilitas politik.





Dalam kamus KBBI rekonsiliasi mempunyai makna "perbuatan memulihkan hubungan

persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan” menilik dari

pengertian tersebut maka sejatinya bahwa setiap anak bangsa ini adalah saudara,

dibingkai oleh BhinekaTunggal Ika, meskipun berbeda pilihan politik, namun ras kebangsaan harus menjadi prioritas utama, maka seharusnya memulihkan

persahabatan lebih mudah untuk dilakukan.





Lantas siapa yang harus memulai, kapan dan bagaimana bentuk rekonsiliasi pascapilpres?





Dalam situasi pasca pilpres seperti ini presiden terpilih harus memulai berfikir

rekonsiliasi, meskipun tidak mudah, tetapi bagaimanapun secara moral pihak yang

menang harus mengambil inisiatif untuk melakukan rekonsiliasi. Upaya ini harus

dilakukan sendiri secara langsung ataupun melalui orang yang dipercaya dan juga

dihormati oleh pihak yang kalah, komunikasi harus dilakukan pada semua pihak yangdalam pilpres kemarin saling berhadapan.





Rakyat Indonesia pasti senang manakala

para pemimpinnya tetap rukun dan saling menyapa.





Pihak yang kalah juga harus cepat menyesuaikan suasana hati, evaluasi menjadi pilihan

utama untuk konsolidasi dan menentukan arah selanjutnya.





Hukum tetap harus

ditegakkan dan kepentingan bangsa kedepan jauh lebih penting. Menerima tawaran

rekonsiliasi dengan mengedepankan kepentingan Negara dan rakyat harus segera disambut, mau masuk kabinet ataupun opisisi sama-sama terhormat. Check n

balancesis atau menjadi penyeimbang juga jalur perjuangan yang konstitusional, perjuangan diparlemen sejatinya adalah perjuangan rakyat juga.





Kepentingan nasional harus menjadi prioritas utama menatap Indonesia 5 tahun

kedapan. Masyarakat sejatinya sudah lelah dengan konflik para elit, masyarakat

didaerah cenderung lebih mudah mencair, apalagi bila para elit memberikan teladan.





Kondisi social masyarakat Indonesia yang masih mempratekkan patron klien,

rekonsiliasi yang terjadi antar elit akan cepat menular ke akar rumput.





Khususdi Provinsi Jambi masyarakatnya heterogen terdiri dari beragam suku seperti; Melayu, Jawa, Kerinci, Minangkabau, Batak, Sunda, Banjar, Bugis dll. hasil survey Sigma Indonesia yang melakukan survey potensi konflik pemilu pada bulan maret sebelum pilpres, hasilnya adalah 83,3% masyarakat akan menerima kekalahan, 7,3% protes tapi

dalam hati dan hanya 0,3% yang akan melakukan demonstrasi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai cerdas berdemokrasi dan siap apabila calon pilihannya

menang ataupun kalah.





Rekonsiliasi di daerah cenderung lebih mudah dilakukan asal semua elemen masyarakat

berfikir untuk kepentingan bangsa dan Negara. Rekonsiliasi akan efektif bila sejak awal sebelum pemilu pihak-pihak yang bertarung sudah saling bertemu, bersilaturahmi dan

berkomitmen siap menang dan siap kalah.





Bulan syawal harusnya menjadi momen yang pas bagi seluruh elemen diJambi melonggarkan ketegangan. Para tokoh masyarakat,

tokoh agama dan tokoh adat harus mengambil inisiatif menjadi mediator

menghubungkan talisilaturahmi para pihak yang sempat berlawanan dalam pillres.





Forkompinda juga mempunyai peran sentral, dengan segala sumberdaya yang dimiliki

menggelar halalbihalal mengundang seluruh elit parpol, tokoh masyarakat, komunitas,

suku, ormas, LSM, OKP akan sangat efektif merajut persatuan dan me-rekonsiliasi

segala perbedaan yang pernah ada.





Gelaran pilkada; pilgub dan pilbub 5 kabupaten di

tahun 2020 juga menguntungkan, suasana pasca pilres cepat cair, para elit serta

masyarakat mulai berfikir bagaimana mensukseskan pilkada.





Akhirnya kita semua berharap bahwa para tokoh dan seluruh masyarakat negeri ini

segera matang berdemokrasi. Bagi yang kalah dalam pemilu secara legowo dan ksatria

mengakui kekalahan, dan kemudian mengucapkan selamat kepada yang menang, dan sebaliknya yang menang segera berfikir rekonsiliasi menyatukan elemen untuk

membangun bangsaini 5 tahun kedepan.


BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya