Seabad Rosihan Anwar (1922-2022) : Wartawan Yang Tidak Bisa Dikalahkan

Rosihan Anwar lahir di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat, 10 Mei 1922. Pas di hari kelahiran Begawan Pers Nasional itu tahun ini keluarga akan menggelar peringatan “ Seabad Rosihan Anwar”.

| Editor: Admin
Seabad Rosihan Anwar (1922-2022) : Wartawan Yang Tidak Bisa Dikalahkan
Rosihan anwar berpoto dengan keluarga besarnya beberapa tahun lalu (poto : ist)


Lahir Empat Buku

Tapi Subhanallah, sepeninggal Ibu Zuraida Pak Ros berhasil merampungkan empat buku, terakhir memoar kisah cinta mereka dengan judul " Belahan Jiwa ". Semasa hidup Pak Ros menulis sekitar 30 buku.
Waktu saya besuk di ICU RS MMC, Pak Ros bersemangat sekali menceritakan memoar itu. Bukan keluhan mengenai gangguan jantungnya gegara bergadang untuk merampungkan buku tersebut.

Menulis bagaikan tarikan napas sehari-hari bagi Pak Ros. Setiap minggu beliau bisa melayani permintaan artikel dari belasan media, daerah, nasional, dan internasional. Ribuan tulisannya dimuat berbagai media, di daerah, nasional maupun internasional. Belakang hari, menjelang wafat, Pak Ros mengaku produktivitasnya mulai menurun. Sekarang hanya menulis secara rutin di Tabloid C&R, katanya, waktu itu.

Pak Ros menjadi kolumnis sejak Tabloid C&R berdiri, 24 Agustus 1998, hingga akhir hayatnya. Bahkan, di hari pertama dirawat ruang ICU RS MMC, 7 Maret 2011 beliau sempat menanyakan apakah tulisannya untuk kolom Halo Selebriti edisi 654/9-16 Maret 2011, sudah sampai di tangan redaksi. Dan, ia sudah mengisyaratkan itulah tulisan terakhirnya.

Saya masih ingat ceritanya. Sore hari itu rekan Indro “Warkop” kebetulan berada di RS MMC mengantar anaknya. Secara tak sengaja Indro melihat Pak Ros didorong dengan kereta menuju ruang ICU. Indro menelepon saya menanyakan apakah mengetahui Pak Ros masuk RS? Segera saya minta Indro membantu menghubungkan saya dengan keluarga yang mengantar. Di luar dugaan Pak Ros sendirilah yang menyambar telepon. Pertanyaaan pertama, dari mana saya tahu beliau masuk RS? Kedua, apakah tulisannya sudah diterima? "Tolong umumkan, mulai minggu depan saya absen,” katanya. Kenapa? “Karena saya, kan, masuk ICU,” alasannya. "Jangan khawatir, Pak Ros segera sembuh," sambar saya cepat.

Informasi mengenai Pak Ros masuk RS saya tulis di twitter yang segera disambung dengan "retweet" oleh berbagai pihak, selanjutnya informasi itu berkembang di berbagai media online. Sejumlah televisi menyiarkan di running text. Keluarga dan pihak RS terkejut karena kurang setengah jam sejak itu, RS MMC diserbu "sejuta umat" insan media. Keluarga sempat cemas, mereka menghubungi saya. Saya mencoba menenangkan. Itu hal wajar, Pak Ros bukan hanya milik keluarga, bukan hanya milik pers, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia. RS memang berhak melarang wartawan masuk, tapi keluarga wajib memberi keterangan kepada wartawan, di luar. Begitu nasihat saya pada keluarga. Ada beberapa lama RS melarang Pak Ros dibesuk.

Tapi suatu sore, saya dan rekan Marah Sakti bisa "lolos" membesuk beliau di ruang ICU. Dokter yang memergoki saya memeringatkan supaya jangan lama-lama. Pak Ros menyahuti dokter, " dia anak saya" menunjuk kami. Sore itu ia bersemangat sekali menceritakan telah berhasil merampungkan buku kisah Pak Ros dengan almarhum istrinya, Ibu Hj. Zuraida.

Dari MMC, Pak Ros dirujuk ke RS Medistra untuk menjalani kateter. Dari Medistra kemudian pindah ke RS Harapan Kita. Di sini proses observasi dilakukan. Saya dan Marah Sakti kembali menjenguk beliau menjelang tindakan bypass.

Wajahnya sumringah menyambut. Tak tampak kesan gentar menghadapi operasi bedah jantung yang menurut dokter sendiri adalah pilihan terakhir karena itu amat berisiko dilakukan pada orang seusia Pak Ros.

Bersambung ke halaman berikutnya

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya