SEBAGAIMANA umumnya kota yang dikelilingi laut, Ambon terbentuk menjadi wilayah yang multikultur. Nenek moyang orang Bugis, Buton, Banjar, Arab dan suku-suku lainnya mendarat ratusan tahun lalu di wilayah ini dan hidup berdampingan dengan penduduk lokal. Percampuran tersebut meninggalkan gaya tersendiri yang membentuk masyarakat Ambon yang dikenal ramah, easy going dan melodius. Di kafe atau restoran pinggir pantai yang saya singgahi, selalu terdengar lagu pop Ambon yang merayu-rayu yang membuat hati pendengarnya mendadak jadi sendu.
Kehidupan malam di bumi raja-raja ini memang dekat dengan musik dan kuliner seafood. Dari restoran kelas atas di sepanjang Teluk Ambon hingga penjual nasi pinggir jalan tersaji ragam ikan segar yang bisa dipilih sendiri oleh pemesannya untuk diolah sang koki menjadi hidangan istimewa.
Selama kunjungan singkat di bulan Februari yang cerah dan tidak terlalu panas, saya berpuas-puas makan hidangan laut terutama ikan bakar yang berbumbu minimalis namun berasa dan beraroma maksi sebab diolah menggunakan bahan-bahan berkualitas nomor satu. Sambil bercanda orang Ambon berkata bahwa mereka hanya menyajikan ikan yang mati satu kali. Artinya ikan yang dimasak di sini langsung diangkat dari laut, bukan yang sudah dipetieskan dan diawetkan seperti jamak dijual di kota-kota besar. Selain jenis ikan dari laut dalam (gurapu, mubara, bawal, kembung dan lain-lain), sotong dan cumi-cumi juga banyak di sini.
Berbeda dengan ikan bakar di wilayah barat Indonesia yang biasanya ditemani sambal cabe pedas, saus pelengkap ikan bakar di Ambon lebih kuat rasa asam dan manisnya, yang dikenal dengan nama colo-colo. Diolah dari irisan cabe rawit, tomat, bawang merah, bawang putih dan daun kemangi serta dituang perasan air lemon, colo-colo menjadikan ikan bakar seperti cemilan. Lezat dan ringan sehingga penggemar ikan bakar tak terasa telah menghabiskannya sebelum nasi tiba. Makanan khas Ambon seperti colo-colo ini, ataupun papeda dan swami konon dipengaruhi oleh kuliner orang-orang Buton yang banyak merantau ke Kepulauan Maluku.
Banyaknya penjual makanan dan kafe-kafe di Kota Ambon sepertinya bukan ditujukan secara khusus menjamu para wisatawan. Warga Ambon sendiri merupakan para penikmat makan malam di luar rumah. Kehidupan kota kembali semarak setelah senja jatuh. Banyak orang muda dan tua keluar rumah untuk berkongkow dengan kawan-kawannya.
Salah satu pusat kuliner pinggir jalan yang terkenal di kota para raja ini adalah di sepanjang Jalan Ratulangi Ciampelas dan sebuah lorong tak jauh dari sana yang dinamai Lorong Arab. Terdapat lebih duapuluh gerobak penjual nasi berjajar di sepanjang trotoar. Jika di lorong Arab penjual makanan bekerja pada siang hari, di Ciampelas dimulai pada senja setelah jam 7 malam hingga berakhir pada dini hari.
Harga makanan di sini jauh lebih murah dibanding restoran di pinggir pantai Tantui Kodya Ambon. Seekor ikan kurapu segar berukuran besar misalnya dihargai seratus ribu, cumi seukuran telapak tangan berharga lima puluh ribu atau kakap merah ukuran sedang seharga tigapuluh lima ribu. Terserah pembeli mau digoreng atau dibakar dan biasanya dalam waktu yang tak terlalu lama hidangan siap tersaji plus sayur segar dan sepiring nasi hangat.
Selain penjual seafood, makanan lain yang patut dicicip adalah rujak buah. Di pinggir Pantai Natsepa, Kabupaten Maluku Tengah, terdapat belasan kios penjual rujak yang semuanya dikelola oleh para Mama. Rujak Ambon jadi spesial karena bertabur kacang giling yang renyah dan buah-buah yang segar seperti jambu bol, nanas, ubi manis. Berjarak hanya 30 menit dari pusat kota, rujak Ambon menjadi selingan yang pas sambil menikmati hembusan angin pantai di sore hari. (infojambi.com)
Laporan : Asnelly Ridha Daulay
Baca Juga: Hoaks dan Bangkit dari Laut Jadi topik utama HPN 2017
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com