Catatan : Hasril Chaniago
Aku tak menyangka Men berangkat begitu cepat, di usia awal 60-an. Lebih 40 tahun persahabatan kita takkan mampu dihapus oleh waktu.
Baca Juga: Farid Prawiranegara dan Keteladanan Pemimpin Masa Lalu
Karena kesibukan, sejak pagi hingga malam hari Sabtu (16/11), aku baru mengetahui kepergianmu tadi malam. Langsung kuhubungi kawan2an Veteraners seperti Syafruddin Al untuk mendapat informasi lengkap kepulanganmu.
Hal paling berkesan dari persahabatan kita adalah ketika Men berkeras minta saya menulis Kata Pengantar untuk buku Men "The Soccer Traveller" bulan Januari 2021. Aku speechless, untuk mengenang pergaulan kita lebih 4 dekade, saya nukilkan tulisan itu di bawah ini:
Baca Juga: Hebatnya Bali, Belum Dibangun Sudah Menyedot Pengunjung.
Hardimen Kito, Sahabat yang Fenomenal
Saya pertama kali mengenal (tepatnya melihat) Hardimen Koto –tapi dia belum kenal dengan saya– pertengahan tahun 1983. Waktu itu saya menonton pertandingan sepakbola PS Arseto Solo dengan PS Semen Padang di Stasion H. Agus Salim Padang. Saya sengaja datang dari Bukittinggi –pos pertama saya sebagai wartawan Singgalang– untuk menonton pertandingan tersebut karena ingin bertemu dengan Asmawi Jambak, kiper PS Arseto.
Baca Juga: Pilgub Sumbar 2024 : Gamawan Fauzi Comeback, Rindu Sosok Pemimpin Merakyat
Menurut cerita kawan-kawan saya, Asmawi adalah alumni Sekolah Teknik Negeri (STN ) 1 Bukittinggi, sekolah menengah pertama asal saya. Ketika saya masuk, Asmawi sudah tamat dan meneruskan di STM Negeri Solok.
Untuk bisa bersalaman dengan Asmawi seusai pertandingan, saya harus berebut dengan para wartawan yang berkerubut mewawancarai kiper yang juga pemegang band kapten PS Arseto itu. Salah satu wartawan yang penampilan dan pertanyaannya berbeda adalah Hardimen Koto.
Saya tahu namanya karena ia memperkenalkan diri: “Saya Hardimen Koto dari Harian Semangat,” katanya.
Saya ingat persis, salah satu pertanyaan Hardimen adalah: “Siapa pesepakbola idola Anda.”
Tanpa perlu berpikir, Asmawi spontan menjawab: “Peter Shilton!”
Dua bulan kemudian, kami dipertemukan dalam arena “pendidikan” jurnalistik di Universitas Andalas yang diselenggarakan perguruan tinggi itu bekerja sama dengan Departemen Penerangan RI dan PWI Pusat. Saya dari Harian Singgalang dan Hardimen Koto dari Harian Semangat. Selama tiga bulan (Agustus – Desember 1983) kami sama-sama menjadi “mahasiswa” pendidikan non-gelar (non-degree course) yang diikuti 30 wartawan se-Sumatera Barat.
Berkebetulan, di akhir masa pendidikan, kami berdua sama-sama memperoleh predikat sebagai “lulusan terbaik”. Maka bersama-sama pulalah kami tampil ke depan menerima “ijazah” dari Rektor Universitas Andalas Prof. Drs. Mawardi Yunus.
Dua-tiga tahun kemudian, saya dipromosikan jadi redaktur, lalu Redaktur Pelaksana Harian Singgalang di Padang. Salah satu program kerja saya adalah meningkatkan kualitas liputan olahraga, khususnya sepakbola yang banyak pembacanya. Tak ada pilihan lain, saya pun “membajak” Hardimen pindah ke Harian Singgalang.
Setahun-dua dia menjadi redaktur merangkap reporter olahraga, liputan olahraga khususnya sepakbola di Harian Singgalang meningkat jauh lebih baik. Pembaca koran pun meningkat. Ini berkat pembaruan yang dilakukan Hardimen.
Tapi saya menyadari, liputan spesialisasi, seperti olahraga apalagi sepakbola, tidak menyediakan lahan yang luas untuk berkembang di koran daerah. Karena itu, ketika Hardimen kemudian menyatakan niatnya ingin mengembangkan karier ke Pulau Jawa, ke grup media besar, saya tak keberatan.
Malahan mendukungnya. Maka ia pun kemudian berlabuh di grup Kompas-Gramedia. Pertama ditempatkan di Harian Surya di Surabaya, kemudian Hardimen betul-betul menemukan habitatnya ketika ditarik ke Tabloid BOLA Jakarta.
Bagaimana kiprah dan sepak terjang Hardimen Koto selanjutnya tak perlu saya ulas di sini, karena banyak yang lebih tahu daripada saya. Hanya saja, hal yang selalu saya ingat, setiap berbicara mengenai sepakbola di Indonesia (artinya juga sepakbola dunia), Hardimen akan selalu menjadi buah bibir.
Kalau saya bertemu dengan teman yang penggemar sepakbola, dan tahu saya seorang wartawan, maka sering saya menerima pertanyaan:
“Kenal dengan Hardimen Koto!?”
Sesungguhnya pertanyaan seperti itu sudah menggambarkan bagaimana reputasi Hardimen di depan publik, khususnya publik pencinta sepakbola.
Selain menjadi wartawan olahraga –khususnya sepakbola– yang hebat, dia juga seorang presenter dan komentartor sepakbola di berbagai stasiun televisi. Juga penulis kolom di banyak media.
Bukan hanya itu. Ia bahkan sudah jauh melangkah sampai ke dunia bisnis sepakbola. Di antaranya sebagai agen pemain-pemain asal Afrika yang bermain di klub-klub Liga 1 Indonesia.
Hardimen adalah tipe sahabat yang selalu menjaga hubungan silaturahim. Dalam istilah Minang dikatakan, cadiak indak membuang kawan (orang pintar yang tidak melupakan kawan). Beberapa kali kami bertemu, di Surabaya, Jakarta dan entah di mana lagi, Hardimen selalu men-service saya.
Hardimen menurut saya adalah wartawan yang fenomenal. Memulai karier di daerah, kemudian sukses meniti karier di Ibukota. Hanya sedikit orang yang bisa dipersandingkan dengan Hardimen.
Salah satunya, yang saya juga kenal baik, adalah Asro Kamal Rokan. Ia juga memulai karier dari daerah (Medan), lalu hijrah ke Jakarta sebagai wartawan olahraga Harian Merdeka. Di Ibukota Asro terus mencapai puncak karier, antara lain pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Merdeka, Pemred Harian Republika dan Pemimpin Umum LKBN Antara.
Selamat, Men, atas terbitnya buku Anda ini: The Soccer Travel. Pasti menarik dan enak dibaca!
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com