Soal Haji, Diplomasi Pemerintah Indonesia-Saudi Arabia Dinilai Masih Lemah

| Editor: Muhammad Asrori
Soal Haji, Diplomasi Pemerintah Indonesia-Saudi Arabia Dinilai Masih Lemah
Waka Komisi Agama DPR, Deding Ishak, saat diskusi legislasi Haji ll Foto: Bambang



JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Agama DPR, Deding Ishak, meminta Pemerintah Indonesia terus meningkatkan peran diplomasi dengan negara Arab Saudi, untuk memberikan pelayanan secara maksimal kepada Jemaah haji Indonesia.

Sebab, dengan jumlah Jemaah haji terbesar dan umat muslim terbesar di dunia, mestinya pelayanan yang diperoleh Indonesia setara dengan negara Iran.

“Saudi Arabia lebih merespon tindakan Iran, ketimbang maunya  Indoensia. Misalnya soal perbaikan  di Mina dan sebagainya,“ ujar Deding Ishak, saat diskusi dalam forum legislasi 'Mungkinkah Penambahan Kuota Haji akan Merata?' bersama Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Partai Gerindra, Sodik Mujahid dan pengamat haji, M Subarkah, di gedung DPR RI Jakarta, Selasa (14/2).

Selama ini kata Deding, Pemerintah dinilai lemah dalam melakukan diplomasi dengan Pemerintah Saudi Arabia. Kementerian Agama selaku wakil Pemerintah Indonesia, dinilai tak berdaya dan langsung menandatangani perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Saudi yang bersikap semaunya saja. Padahal kontrak/perjanjian dengan Pemerintah Saudi Arabia mestinya menguntungkan kedua belah negara.

“Mereka (Arab Saudi-red) seenaknya dan kita diam. Mestinya kita protes dan bagaimana protesnya kita, ya negara yang melakukan peran diplomasi. Peran diplomasi ini yang lemah,“ ujar politisi dari Partai Golkar itu.

Karenanya, Deding berpendapat, dalam perubahan UU 13/Tahun 2008, DPR sepakat untuk menempatkan Kemenag sebagai legulator sekaligus supervisor dan secara teksnis harus ada badan, tetapi bukan swasta yakni Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).

DPR ini tidak akan mengubah posisi peran pamerintah menjadi peran swasta, tapi ada badan khusus yang day  to day, mengelola mengenai perhajian yang kita tawarkan.

“Jadi LPNK semacam di BPP2 TKI-lah, jadi secara khusus seperti itu,“ ujarnya.

Deding menambahkan, secara jujur dan terbuka, Pemerintah dinilai lalai dan implikasinya bahkan para calon jemaah haji terpaksa atau nekad berangkat melalui negara Philipina.

“Ini sangat berbahaya, mereka adalah korban Pemerintah dalam konteks pengawasan haji, karena Pemerintah asyik dengan hal-hal teknis,“ katanya.

Sedangkan Sodik Mujahid, mengatakan, Saudi Arabia dan Indonesia memiliki kultur keagamaan yang sama, maka semaksimal mungkin lobi haji itu bisa berhasil. Dengan memperkuat diplomasi agar kuota haji bisa terus bertambah, atau bisa mengoptimalkan sisa kuota haji dari negara lain.

“Jumlah jamaah haji yang besar ini, seharusnya menjadi kekuatan besar agar penyelenggaraan haji makin baik. Seperti halnya yang dilakukan Iran dan Turki,” ujarnya.

Karena itu, Sodik, menyayangkan jika adanya dugaan, pejabat Indonesia itu dalam lobi selalu mendahulukan ‘komisi atau fee’. Itulah mungkin yang menyebabkan penyelenggaraan ibadah haji kurang baik. Namun, hal itu harus dikonfirmasi kebenarannya.

“Itu katanya. Tolong dikonfirmasi lebih lanjut soal ‘komisi’ haji itu,” katanya.

Ditambahkan Sodik, Jemaah haji Indonesia terbesar dari negara-negara lainnya, tapi tidak ada bargaining posision. Untuk miliki bargaining position, Indonesia harus jual potensinya untuk dapat nego dengan Arab Saudi. Indonesia dan Arab Saudi, memilki agama yang sama dan kultur yang sama.

“Seharusnya Indonesia gunakan diplomasi, serius, bercanda dan berani main gertak. Infonya, nego pejabat Indonesia dengan Kerjaan Arab sering gagal, karena pejabat Indonesia minta komisi,“ katanya. (infojambi.com)

Laporan : Bambang Subagio ll Editor : M Asrori

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya