Oleh : Dr Jerry Massie Ph.D
BAHAYA jika PDI-P terlalu lama mengusung Jokowi sebagai presiden. PDI-P memang agak kalah cepat dalam menentukan sikap politik terkait pilpres.
Hal ini menjadi bumerang bagi partai moncong putih tersebut. Pasalnya, bisa saja mereka disusul Partai Golkar baik itu elektabilitas maupun popularitas. Dimana saat ini grafik PG semakin naik. Tren mereka terus merangkak naik.
Berkaca dari hasil survei yang dikeluarkan LSI, Kedua partai tersebut adalah PDIP dan Partai Golkar. Saat ini, elektabilitas PDIP sebesar 22.2 %, lebih besar dari perolehan suaranya di pemilu 2014 yaitu 18.95 %. Elektabilitas Partai Golkar sebesar 15.5 %, lebih besar dari perolehan suaranya di pemilu 2014 yaitu sebesar 14.75 %. Elektabilitas partai lainnya rata-rata dibawah perolehan suaranya di pemilu 2014.
Dari partai-partai kontestan pemilu aru partai Nasdem, Partai Golkar dan Hanura yang secara terang-terangan mendukung Jokowi pada pilpres 2018. Bisa saja, PDI-P ketinggalan kereta.
Barangkali PDI-P kurang jeli. Jokowi bagaikan "wanita cantik" banyak yang kepincut meminangnya. Bisa jadi Golkar akan menempatkan salah satu kader mereka yakni Airlangga berpasangan dengan Jokowi.
Presiden Jokowi notabene 2 kali Walikota Solo, 1 kali Gubernur DKI Jakarta dan berpotensi dua kali presiden.
Dengan dikeluarkannya keputusan DPR tentang Presidential Threshold (PT), 20 persen suara legislatif (DPR) dan 25 persen suara nasional.
Paling tidak lawan Jokowi hanyalah Prabowo dan koalisinnya Gerindra, PKS, PAN, Demokrat atau bisa saja PPP.
Dengan naiknya elektabilitas Golkar 15,5 persen dan turunnya PDI-P ke 22,2 % akan sangat berpengaruh.
Memang dia melihat, nama-nama yang punya potensi juga mendampingi Jokowi dari TNI sudah terlihat nampaknya Jenderal (Purn) Moeldoko punya peluang yang besar.
Nama yang mengkristal saat ini yakni ekonom handal Rizal Ramli. Sejumlah tokoh-tokoh nasional alumni ITB dan UGM yang ingin mengawinkan dirinya bertandem dengan Jokowi. Adapula nama yang berpotensi Cak Imin (PKB) Puan Maharani (PDI-P), dan Surya Paloh (Nasdem).
Jika jadi di second line ada nama-nama penantang Jokowi yakni, Anies Baswedan, Agus Yudhoyono dan Gatot Nurmantyo. Memang hanya mereka yang disebut-sebut sejumlah lembaga survei.
Dengan diangkatnya Idrus Marham sebagai Menteri Sosial dan tetap dipertahankannya Airlangga Hartarto di posisi Menteri Perindustrian, maka itu sinyal kuat PG menjadi bombernya Jokowi.
Bisa saja jika lengah Golkar menyalib PDI-P . Apalagi ketua umum mereka orangnya low profile dan bersih dari masalah hukum. Sebenarnya pemilih tradisional masih banyak yang simpati dengan Golkar. Namun elektabilitas dan popularitas mereka anjlok saat Setya Novanto dipaksakan memimpin partai ini.
Tak bisa dipungkiri partai Golkar bisa dikatakan "The King of Indonesia Party". Dari partai inilah lahirlah partai besar di tanah air seperti, Partai Nasdem yang dipimpin Surya Paloh, Partainya Prabowo Subianto (Gerindra), dan Wiranto (Hanura). Namun jika ini digabungkan Golkar 91 kursi, Partai Gerindra 73, Nasdem 35 dan Hanura 16 kursi. Jadi total 215 suara di DPR dari 560 (38 persen).
Untuk pilpres nanti, paling hanya ada dua calon presiden ataupun bisa jadi Jokowi akan melawan kotak kosong. Tapi bisa terulang big match antara Jokowi dan Prabowo. Lantaran saat ini selain Prabowo belum ada satupun yang bisa mengimbangi nantan Walikota Solo dua periode ini.
Bicara "big suprise" menurut penulis barangkali hanya relatif kecil. Dengan pencapain pembangunan Presiden Jokowi akan sulit bagi para kampriotnya untuk menandinginya. Dia sosok talk less, do more (sedikit bicara dan banyak berbuat).
Sementara, Golkar menjadi brigde politik jika nanti tak diusung PDI-P. Ini sudah dipikirkan Jokowi. Bisa jadi faktor " Jokowi Pekerja Partai" menjadi bom waktu bagi dirinya. ***
Penulis adalah pengamat politik Indonesian Public Institute (IPI)
Baca Juga: Pekan Olahraga untuk Menyegarkan Wartawan Profesional
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com