Laporan Bambang Subagio
INFOJAMBI.COM — Penggunaan anggaran DPR yang tak transparan, membuka celah praktik korupsi, mengingat sulitnya melakukan pengawasan dilingkungan wakil rakyat.
Karenanya, untuk menghindari praktik korupsi, diperlukan sistem transparansi berupa pemakaian sistem uang elektronik data e-money, untuk meningkatkan transparansi penggunaan anggaran.
“e-money diperlukan, karena sistem transparan menjadi salah satu cara untuk menangkal praktik korupsi di Parlemen,“ kata anggota Komisi XI DPR, Nurhayati Ali Assegaf, saat diskusi bertajuk ‘Korupsi dalam Sistem Anggaran DPR’ di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Menurut politisi Demokrat itu, ketika menggunakan anggaran untuk tugas ke luar negeri, dirinya diberi uang dalam bentuk dolar AS. Padahal, saat menggunakannya Anggota DPR bisa saja menggunakan kartu kredit dan bisa juga dibelanjakan dalam bentuk rupiah.
Persoalan itu, membuat kerumitan dalam transparansi anggaran. Apalagi, apabila ada Anggota DPR yang tidak tahu berapa besaran anggaran, namun harus menggunakan anggaran yang telah ditandatanganinya.
"Saya ingin e-Money tidak diterapkan di masyarakat banyak saja, namun digunakan di DPR. Tidak ada lagi tanda tangan uang satu atau dua juta. Jadi harus dimulai dari lingkungan wakil rakyat Senayan penggunaan e-Money,” katanya.
Nurhayati mengaku sangat malu, ketika ada Anggota DPR terjerat korupsi dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlebih jika yang terkena OTT berasal dari Fraksi Partai Demokrat.
“Anggota DPR, terus diolok-olok masyarakat. Padahal, perbuatan itu dilakukan oleh segelintir orang, tapi masyarakat menggeneralisir semua anggota DPR itu korup. Kasihan anak-anak dan keluarga saya,” tegasnya.
Industri Korupsi Paling Dinamis
Sementara, politisi PDI-P, Hendrawan Supratikno, mengakui maraknya praktik korupsi dilingkungan Senayan, sebagai dampak perubahan sistem demokrasi. Adanya perubahan demokrasi liberal di Indonesia yang berubah secara perlahan menjadi demokrasi transaksional.
Menurut Hendrawan, demokrasi transaksional terjadi tak lepas dari mahalnya ongkos politik. Kondisi itu, tak ayal menyebabkan ketika menjadi calon Anggota Legislatif, terpaksa mengeluarkan banyak uang untuk membeli suara pemilih.
"Ini semua terjadi, karena sistem demokrasi kita secara pelan-pelan berubah menjadi demokrasi transaksional,” katanya.
Hendrawan mengakui, secara faktual industri korupsi di Indonesia merupakan salah satu industri yang paling besar dan dinamis. Perputarannya sangat tinggi, SDM yang terlbat juga merupakan talenta-talenta yang luar biasa.
“Saya ga’ mau menyebut orang perorang. Tapi bayangkan, nama-nama yang terjerat industri adalah nama-nama sangat potensial. SDM yang mutunya tinggi,“ katanya.
Wakil rakyat dapil Jateng itu, menyebut ada lima industri terbesar di Indonesia. Yakni industri demokrasi, industri iman, industri korupsi, industri wisata dan industri kesehatan serta kecantikan.
“Industri korupsi sudah menjadi fakta sehari-hari, kalau tidak ada berita korupsi, kita seperti orang bingung di depan TV, kalau KPK tidak mengumumkan OTT dalam satu minggu saja, orang merasa sepi dan kita sudah kecanduan,“ katanya.***
Editor : M Asrori S
Baca Juga: Mirzalina Akhirnya Masuk Penjara
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com