Ujung Kasau dalam Arsitektur Tradisional Kerinci

| Editor: Doddi Irawan
Ujung Kasau dalam Arsitektur Tradisional Kerinci


PENULIS : M. ALI SURAKHMAN
EDITOR : DORA





Kayu Kasau




BENTUK asli perkampungan yang ditempati oleh kumpulan orang di daerah Kerinci disebut “nagehi” (negeri) atau dusun, dimana negeri telah mempunyai tatanan kemasyarakatan yang dipimpin oleh kepala-kepala suku berpangkat ninik mamak dan depati. Kampung orang Kerinci ini semacam republik kecil yang berpemerintahan.





Negeri berasal dari bahasa Sansekerta berarti kota, perkotaan atau kerajaan. Umumnya istilah dusun lebih populer di Kerinci, sedangkan dusun ada yang besar dan ada pula yang kecil, tergantung kepada faktor jumlah penduduk yang bermukim pada satu perkampungan.





Dusun atau negeri di Kerinci merupakan kesatuan geografis, yuridis, politik dan administrasi. Mendirikan sebuah dusun erat kaitannya dengan faktor manusia dan lingkungan, seperti di pinggir sungai atau danau, di atas dataran perbukitan.





Pada zaman dahulu untuk melindungi dari serangan musuh atau binatang buas, sekeliling dusun digali parit-parit pertahanan dan di pagar dengan tumbuhan sekuang (pandan duri) atau aurduri.





Berdirinya sebuah dusun tersimpul pada ungkapan lama yang berbunyi : berdiri rumah sekata tungganai, berdiri luhak sekata penghulu, berdiri alam sekata raja. Dusun pada hakekatnya mencerminkan negeri keseluruhan atau dusun merupakan sebutan lain dari negeri.





Dusun dibangun pada sebidang tanah dalam garis empat persegi panjang. Bangunan rumah di dalam garis empat persegi panjang memiliki dua tipe, yaitu rumah panjang (type longhouse) dan rumah mandiri (type singlehouse).





Ukuran tanah tempat berdirinya bangunan rumah tradisional Kerinci, panjang sekitar 75 meter. Ukuran ini bisa lebih besar sesuai dengan topografi lahan dan kebutuhan perkembangan masyarakat.





Tanah empat persegi panjang ini dinamai “parit bersudut empat”. Status tanah parit bersudut empat adalah tanah hak adat atau menurut ketentuan adat Kerinci dinamai tanah arah-ajun ninik mamak.





Tanah parit bersudut empat adalah milik kaum ibu (anak betino) atau pihak perempuan. Merekalah yang memiliki hak pakai tanah untuk bangunan rumah, dan diatur menurut ketentuan hukum ninik mamak.





Penguasaan atas tanah arah-ajun menjadi hak milik pribadi tidak diperkenankan, apalagi diperjual-belikan oleh si pemakai.





Untuk lebih jelasnya asal pemukiman penduduk di daerah Kerici, yang mana masuk





kepada kata pusaka turun-menurun disebut “negeri yang empat”, yaitu :





  1. Talang atau Taretak, ialah pondok di dalam hutan di pinggir sungai yang ditempati sekelompok kecil orang.
  2. Koto, ialah tempat pertama pemukiman manusia, tempat mula-mula orag meneruko negeri sebagai cikal bakal perkembagan masyarakat.
  3. Kampung, ialah tempat dimana orang sudah mempunyai lembaga lembaga kerapatan (musyawarah adat), adat di atas tumbuh lembaga di atas tuang.
  4. Dusun, ialah tempat pemukiman manusia banyak berpuak-puak dan bersuku – suku, tatanan kehidupan masyarakat sudah teratur, memiliki balai adat dan masjid, lengkap dengan kebesaran adat lama pusaka usang.




Rumah tradisional Kerinci terbagi atas dua tipe yaitu :





a. Rumah Panjang sering juga disebut Rumah Larik, yang mana bangunan atapnya merupakan garis lurus (simetris).





b. Balai Bagonjong Dua atau rumah berpucuk dua, yang mana bangunan atapnya sedikit melengkung ujung ke ujung, seperti lentik perahu kayu. Rumah ini merupakan corak mandiri.





Disamping kedua tipe rumah tersebut terdapat pula bangunan lumbung padi yang dinamai “rangkiyoa”, gunanya untuk tempat menyimpan padi. Konstruksi lumbung padi ini bahagian atas lebih besar dari bahagian bawah melalui sebuah pintu berukuran.





Terlebih dahulu diangkut lewat jenjang yang terbuat dari sebatang kayu berakuk atau tangga jantan. Rumah tradisional Kerinci saat sekarang boleh dikatakan hampir punah, karena penduduk Kerinci lebih cenderung membangun rumah model baru mengikuti era kemajuan pembangunan.





Pada umumnya sifat Suku Kerinci lebih mudah menyerap nilai-nilai budaya baru. Di sisi lain, mereka juga lebih mudah melupakan produk kebudayaan nenek moyangnya. ***


BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | INSTALL APLIKASI INFOJAMBI.COM DI PLAYSTORE

Berita Terkait

Berita Lainnya