Waktunya Membeda-bedakan Siswa

| Editor: Wahyu Nugroho
Waktunya Membeda-bedakan Siswa

Oleh: Amri Ikhsan

guru-mas-865x450.jpg" alt="" width="865" height="450" />

“Semua yang sama tidak boleh dibeda-bedakan, dan semua yang beda tidak boleh disama-samakan“.(Sebuah diktum).

Meskipun guru sudah berusaha melaksanakan pembelajaran secara maksimal, namun pada kenyataannya masih ada siswa yang belum memahami apa yang dikomunikasikan guru. Karena memang tidak semua siswa memiliki kemampuan yang sama dalam pembelajaran.

Bisa jadi, siswa memiliki usia yang relatif sama dan datang ke sekolah bersama-sama, tapi niat, tujuan, perasaan, hobi, kepribadian, kesukaan atau ketidak-sukaan belum tentu sama. Kemampuan siswa bisa tidak sama, mungkin ada yang sudah mengerti banyak hal, tetapi ada juga yang belum mengerti apapun.

Sebenarnya, persamaan siswa hanya pada hak mereka untuk mendapatkan pembelajaran bermutu dari sekolah dan mungkin bisa diseragamkan yang lain adalah baju atau busana. Selebihnya, sekolah harus ‘hati hati’ dalam membuat keseragaman. Membeda-bedakan ( differensiasi) siswa bukan suatu yang negatif bahwa bisa positif bagi kemajuan siswa.

Diyakini, guru yang sebenarnya (the truly teacher) harus memahami dan memfasilitasi pembelajaran untuk setiap siswa yang berbeda. Guru ini harus sadar, bahwa siswa itu unik, spesial. Idealnya tidak boleh ada satu metode, satu jenis tugas, satu perintah, satu pendekatan, dan lainnya untuk semua siswa.

Guru harus mencari strategi untuk mengakomodasi dari semua perbedaan ini, agar pembelajaran berlangsung secara maksimal, menyiapkan segala kebutuhan agar perbedaan ini menjadi kekuatan bagi pembelajaran. Keberagaman dari setiap siswa harus selalu menjadi perhatian semua pihak, jangan sampai perbedaan menjadi titik lemah guru dalam pembelajaran: guru frustasi, marah marah, tidak kreatif, dan sebagainya.

Guru yang sebenarnya ‘wajib’ membeda-bedakan siswa, karena memang siswa itu berbeda. Pembelajaran yang membeda-bedakan (diferensiasi) itu, akan memberikan ruang dan panggung bagi siswa untuk memilih sesuatu yang berbeda sesuai dengan apa yang diinginkan. Tujuan pembelajaran bisa sama, tapi cara mencapai tujuan itu bisa beragam, asal ‘garis finish’nya sama, sama sama memahami, sama sama mengerjakan.

Pembelajaran diferensiasi, berarti mencampurkan semua perbedaan untuk mendapatkan suatu informasi, membuat ide dan mengekspresikan apa yang mereka pelajari. Dengan kata lain, bahwa pembelajaran diferensiasi adalah menciptakan suatu kelas yang beragam dengan memberikan kesempatan dalam meraih konten, memproses suatu ide dan meningkatkan hasil setiap murid, sehingga murid-murid akan bisa lebih belajar dengan efektif. (Tomlinson, 2001).

Sekolah yang efektif dengan guru yang sebenarnya, akan memandang diferensiasi pembelajaran dalam kondisi tertentu harus dilakukan dalam mewujudkan rasa keadilan pada keberagaman siswa, beragam minat, cita-cita dan bakat, kecerdasan, latar belakang sosial ekonomi, tradisi keluarga, budaya sekitar. Kesemuanya ini, dipastikan akan mempengaruhi interaksi siswa dalam pembelajaran.

Secara praktis, dalam pembelajaran yang berdiferensiasi, siswa yang berbeda-beda itu tidak harus selalu mengerjakan hal yang sama. Tujuan pembelajaran tentu saja harus sama, misalnya ‘memahami sesuatu’ tapi cara, metode, waktu memahami sesuatu berbeda-beda, yang jelas semua siswa akan mampu ‘memahami’ sesuatu itu.

Pada pembelajaran berdiferensiasi, misalnya, tujuan pembelajaran atau tugas akhir pembelajaran bisa saja sama: sama-sama membuat makanan, misalnya. Tapi, apa yang harus dibuat oleh siswa bisa saja berbeda. Dan perbedaan inilah yang menjadi kekuatan pembelajaran. Guru, misalnya bisa saja menyiapkan tidak hanya satu atau dua topic ‘makanan’. Guru bisa menyiapkan tiga, empat, lima atau lebih topik-topik ‘makanan’ dengan mempertimbangkan ‘kondisi’ siswa.

Ini semua dilakukan untuk mengakomodasi keberagaman siswa yang berhubungan dengan kesukaan tentang makanan. Guru bahkan bisa saja memberi otonomi penuh kepada siswa, untuk makanan yang menunya sesuai dengan selera siswa. Inilah kelas yang pembelajarannya telah didiferensiasi.

Memang guru harus punya ekstra energi guna menyiapkan pembelajaran. Guru ‘dilarang nyolong’ masuk kelas tanpa persiapan matang. ‘Keringat’ dalam menyiapkan pembelajaran yang berbeda-beda adalah kekuatan yang akan melenjitkan kemampuan siswa. Membeda-bedakan siswa dalam konteks ini adalah sebuah keharusan, sengaja membedakan dengan tujuan mulia.

Diferensiasi dapat terjadi pada: konten, proses, produk, dan lingkungan. Diferensiasi pada konten adalah pembedaan pada informasi dan ide yang mana siswa sedang berusaha untuk meraih tujuan pembelajaran. Diferensiasi pada proses adalah pembedaan pada bagaimana murid mengambil, memproses dan memahami konten. Diferensiasi pada produk adalah pembedaan pada bagaimana murid menunjukkan apa yang mereka ketahui, fahami, dan bisa lakukan. Diferensiasi pada lingkungan adalah pembedaan pada iklim atau suasana kelas (Tomlinson).

Diyakini, membeda-bedakan siswa dalam pembelajaran terpusat pada bagaimana mencapai tujuan belajar, pokoknya siswa ‘paham dan mengerti’ tentang suatu fenomena, walaupun dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, waktu penyelesaian yang tidak sama dan lainnya.

Walaupun ‘berbeda-beda’ (diferensiasi), tapi tidak menambah beban siswa dalam belajar, tetapi justru menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan merangsang anak, untuk terus belajar sehingga akan membantu anak dalam mencapai kesuksesan dalam belajar (Hollas,2005:3).

Diferensiasi pembelajaran dilakukan, guru harus melakukan: 1) mengembangkan profil siswa; 2) memberikan materi dengan format bervariasi dan dengan tingkat kesulitan yang berbeda; 3) melihat proses kognitif yang berbeda: mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan. (Anderson & Krathwohl, 2001). Kemudian, 4) memberikan pilihan dalam kegiatan belajar dan penilaian; 5) melakukan pengelompokkan yang fleksibel dan penyusunan kelompok kecil; 8) mengeksplorasi ‘cubing’. (Tomlinson, 2001).

Cubing’ adalah sebuah strategi yang dikembangkan oleh Cowan dan Cowan (1980), untuk mengekspos siswa dengan perspektif dan cara berpikir yang berbeda terhadap sebuah topik. Dalam strategi ini, enam sisi kubus menguraikan latihan, tugas dan jenis pertanyaan yang berbeda-beda. Tiap sisi kubus mewakili tampilan enam tugas kognitif yang dikemukakan oleh Bloom. Jadi, tiap sisi memberi tantangan bagi siswa untuk mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, menilai, dan menghasilkan.

Pembelajaran di masa pandemi (PJJ), bisa jadi waktu yang paling pas menerapkan diferensiasi pembelajaran, karena ada “kebebasan” siswa menentukan waktu, sumber ajar, cara belajar, bahkan hingga target belajar yang lebih leluasa berkreasi menyelesaikan tugasnya.

PJJ dengan skema daring, yang dilakukan dari rumah, guru ‘tidak boleh’ marah bila ‘tugas’ yang dikirim beragam, agak terlambat, tidak kirim tugas tapi kirim pesan: “mohon maaf, kuota saya habis”. Ini cara paling alami siswa belajar.(Penulis adalah Pendidik di Madrasah)

Baca Juga: Nasib Guru Non-PNS Terancam, Zola Akan Berjuang Mati-Matian

BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com

Berita Terkait

Berita Lainnya