Oleh: Bahren Nurdin
PENINGGALAN budaya kerja Covid-19 yang menonjol adalah Work From Home ( WFH) alias bekerja dari rumah di mana aktivitas profesional dilakukan dari tempat tinggal masing-masing.
Baca Juga: Ketika Bank Menjadi Sarang Perampok
Awalnya muncul sebagai respons terhadap pembatasan sosial, WFH kini mengemuka kembali dengan pemprov DKI Jakarta mengadopsinya sebagai strategi mengatasi kemacetan dan polusi udara yang semakin parah.
Namun, apakah WFH sesungguhnya solusi atau malah menjadi masalah dalam kehidupan kerja modern? Agaknya hal ini perlu didiskusikan serius mengingat dampak dan implikasi yang ditimbulkan.
Baca Juga: WFH, Pendaftaran Nikah Dilakukan Secara Online
Bagi saya, WFH dapat menjadi solusi yang efektif jika diterapkan dengan bijak, terutama untuk pekerja yang fokus pada tugas administratif atau berbasis komputer. Bagi individu semacam ini, lingkungan rumah dapat menjadi tempat yang produktif, memungkinkan mereka untuk lebih berkonsentrasi pada pekerjaan tanpa terjebak dalam kemacetan perjalanan.
Ada beberapa pekerjaan yang memungkinkan untuk dilakukan di rumah seperti pekerjaan berbasis teknologi, keuangan, layanan pelanggan, penelitian online, survei, dan analisis pasar, konsultasi bisnis, hukum, dan teknologi, konsultasi kebugaran dan gaya hidup, penerjemahan teks tertulis atau interpretasi bahasa secara online dan lain-lain.
Baca Juga: Waspada : Pilkada Bertaruh Nyawa
Namun, kita harus berhati-hati agar WFH tidak menjadi bumerang, terutama di sektor layanan dan pendidikan. Profesi yang memerlukan interaksi tatap muka, empati, dan kolaborasi, seperti bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan, tidak boleh secara paksa mengadopsi WFH.
Seorang dokter tidak dapat mendiagnosis pasien secara efektif melalui layar komputer, dan guru memiliki tantangan dalam menjaga interaksi mendalam dengan siswa jarak jauh.
Tatap muka dalam bidang pendidikan memiliki nilai yang tak ternilai harganya, karena interaksi langsung antara guru dan siswa memiliki dampak yang mendalam pada proses pembelajaran dan perkembangan siswa.
Melalui tatap muka misalnya, guru dapat membangun hubungan personal dengan siswa. Ini membantu guru memahami kebutuhan, kekuatan, dan tantangan individu secara lebih baik, sehingga mereka dapat menyusun strategi pembelajaran yang lebih sesuai.
Maka dari itu, rumah sakit, sekolah, universitas, dan kantor pemerintah harus tetap memberikan layanan langsung. Dalam hal ini, WFH mungkin bukan solusi, melainkan justru menciptakan masalah dalam pelayanan publik yang sangat diperlukan.
Tatap muka dalam layanan publik di pemerintahan juga memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan kualitas dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat. Interaksi tatap muka memungkinkan petugas pemerintah untuk memberikan pelayanan yang lebih personal dan responsif. Petugas dapat langsung menanggapi kebutuhan dan pertanyaan masyarakat secara spesifik.
Jadi, meskipun teknologi komunikasi telah memungkinkan layanan jarak jauh yang lebih efisien, tetap penting untuk mempertimbangkan pentingnya interaksi tatap muka dalam menyediakan layanan publik yang berkualitas, meresponsif, dan mampu memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat.
Akhirnya, WFH memiliki potensi sebagai solusi efektif dalam dunia kerja modern jika dikelola dengan cermat dan diterapkan pada sektor yang tepat. Meskipun memberikan fleksibilitas dan efisiensi bagi beberapa pekerjaan, harus diingat bahwa tidak semua pekerjaan dapat dilakukan dari jauh.
Oleh karena itu, dalam mengintegrasikan WFH dalam tatanan kerja, perlu adanya pemikiran strategis yang cermat untuk memastikan keseimbangan antara produktivitas dan interaksi manusiawi yang esensial. Semoga.
Penulis adalah Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com