KAWASAN Desa Bungku dan Pompa Air, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi, mendadak terkenal dalam lima tahun terakhir. Dua desa itu jadi sorotan lantaran maraknya penambangan minyak ilegal.
Maraknya pengeboran minyak ilegal ( illegal drilling) di Bajubang bermula pada tahun 2016. Berawal dari ketidaksengajaan seorang petani di daerah itu, menemukan sumur minyak di lahan perkebunan miliknya.
Satu per satu pemodal dari Provinsi Sumatera Selatan masuk ke Desa Bungku dan Pompa Air. Dengan uangnya, para cukong mulai menyedot minyak mentah dari tanah Jambi. Sebagai pekerja, warga sekitar dijadikan buruh di pertambangan.
Awalnya hanya ada beberapa sumur. Namun, dalam kurun waktu satu tahun, sumur minyak tak berizin jumlahnya mencapai ribuan. Sumur-sumur minyak liar itu berada di Wilayah Kerja (WK) PT Pertamina Hulu Rokan Zona I Field Jambi.
Sejak ada penambangan minyak tanpa izin di kedua desa tersebut, kehidupan warga setempat, terutama di Dusun I Desa Bungku, drastis berubah. Desa yang dulunya asri, dihuni mayoritas petani sawit dan karet, menjelma seperti Texas di Amerika.
Penambangan minyak ilegal membuat warga terbuai. Penghasilan petani yang biasa hanya beberapa puluh ribu rupiah sehari, mendadak melonjak tinggi. Dalam sehari, seorang pekerja mendapat upah 300 - 400 ribu rupiah.
Hasil menggiurkan itu membuat warga terlena. Mereka tidak lagi menggarap kebun sawit dan karetnya. Kebun-kebun itu dibiarkan terlantar. Tidak lagi dirawat, apalagi mengharapkan hasil yang jauh lebih kecil dari hasil sumur minyak.
Parahnya lagi, narkoba pun masuk. Peredaran narkoba di wilayah yang sangat jauh dari kota itu sangat tinggi. Transaksi narkoba berani terang-terangan. Jual beli sabu dan ekstasi sudah seperti menjual kacang goreng. Laris manis.
Tidak sampai di situ. Warung remang-remang juga bermunculan. Entah dari mana, wanita penjaja seks berdatangan untuk mencari nafkah. Kehidupan warga dusun yang berada di tengah hutan tersebut penuh dengan kegemerlapan.
Mantan Kepala Desa Bungku, Sandhya Ananda, tidak menampik keadaan itu. Sebagai kepala desa waktu itu, Sandhya merasa miris melihat perubahan sosial yang terjadi. Sandhya khawatir anak-anak dan generasi muda desanya rusak.
Minyak mentah yang dibeli oleh para pemodal “dimasak” menjadi berbagai macam bahan bakar, mulai dari minyak tanah hingga pertamax. Kualitasnya jelas jauh di bawah standar.
Cukong dan pemilik “sumur minyak” pendapatannya sangat besar. Awalnya, pemilik modal bisa berpenghasilan dua juta rupiah per hari, tergantung luas lahan dan jumlah sumur yang dimiliki. Semakin banyak sumur, semakin besar pula uang masuk.
Dari sisi kesehatan, penambangan minyak ilegal membuat warga terkena iritasi saluran pernapasan, seperti batuk, sesak napas dan pusing. Kualitas udara buruk akibat tingkat pencemaran udara di atas ambang batas. Pengaruh lain, kulit yang terkena minyak mentah menyebabkan gatal-gatal.
Pengeboran minyak ilegal juga mengganggu kualitas air. Air sungai maupun sumur di rumah warga menjadi kehitaman, berminyak, berbuih dan bau. Banyak sumur warga sekitar tidak bisa digunakan lagi.
Untuk jangka panjang, menurut pengamat kesehatan masyarakat dari STIKES Harapan Ibu, Jambi, Subakir, bahan kimia pada minyak mentah dapat memicu kanker dan paru-paru, lantaran bersifat karsinogenik dan mengandung benzene, toluene, cylene, tembaga, arsen, merkuri dan timbal.
Dari sisi ekonomi dan bisnis, jelas pengeboran minyak ilegal sangat menguntungkan. Karena itulah banyak pula warga asli desa setempat yang ikut-ikutan menjadi pemodal.
Dari sisi hukum, pengeboran minyak secara perorangan jelas-jelas melanggar UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Bisnis ini mengancam setoran hulu migas untuk kas negara. Pada tahun 2020, sub-sektor migas memberikan kontribusi investasi sebesar US.$ 12,1 miliar. Angka ini sebenarnya bisa lebih, jika minyak hasil illegal drilling yang bisa mencapai 10.000 barel per hari diproduksi oleh negara.
Meski dampak negatif pengeboran minyak ilegal sangat besar, namun karena keuntungan yang dijanjikan lebih menggiurkan, bisnis ini sulit dihentikan. Penyelesaiannya bak mengurai benang kusut.
Apapun alasannya, pengeboran minyak tanpa izin harus dihentikan. Pasal 57 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 2001 tegas menyatakan, eksplorasi dan/atau eksploitasi migas yang dilakukan tanpa kontrak kerja sama adalah kejahatan. Sanksinya tegas, pidana penjara selama enam tahun dan denda maksimal 60 miliar rupiah.
Hasil migas sangat besar artinya bagi pemerintah daerah. Tidak sedikit Dana Bagi Hasil Migas (DBH) yang didapat oleh daerah. Karena itulah Pemerintah Provinsi Jambi berupaya menghentikan aktivitas illegal drilling di Batanghari.
Penertiban sudah sering dilakukan, bahkan sejak awal sumur minyak itu dieksplorasi dan eksploitasi. Tahun 2017, Pemprov Jambi berkali-kali menutup sumur-sumur ilegal di Desa Bungku dan Pompa Air. Tapi hasilnya belum memuaskan.
Pemprov Jambi merangkul seluruh komponen dan pemangku kepentingan, terutama TNI, Polri dan SKK Migas. Mereka membentuk Tim Terpadu Pencegahan, Pemberantasan dan Rehabilitasi Lahan bekas pertambangan tanpa izin.
Penutupan sumur-sumur minyak ilegal dianggap menyengsarakan para pekerjanya. Inspektur Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Profesor Akhmad Syakhroza turun ke Desa Bungku.
Syakhroza mendengar langsung keluhan para pekerja. Mereka berharap pemerintah melegalkan pengeboran minyak itu, karena memberi mereka penghidupan..
Aspirasi itu kemudian dibahas di kementerian. Syakhroza memberi sinyal bisa saja pengeboran minyak liar dilegalkan, asalkan lingkungan terjaga. Pernyataan itu mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2008, yang menyatakan pengeboran minyak di sumur tua bisa dilegalkan bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa.
Kebijakan itu tentu tidak semudah yang dibayangkan. Peristiwa kebakaran di kawasan sumur minyak akan mengancam. Dampak lingkungan sulit dikontrol, sehingga menimbulkan problem baru.
Kegiatan eksploitasi minyak bumi memiliki resiko besar. Butuh pengamanan ekstra ketat. Penambangan minyak bumi tidak bisa dilakukan sembarang orang. Ada aturannya. Harus punya keterampilan khusus.
UU Migas mengatakan, kegiatan hulu migas hanya bisa dilakukan oleh KKKS dengan badan pelaksana dan badan usaha tetap.
Pasal 1 angka 5 UU itu menegaskan, kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan eksplorasi dan eksploitasi.
Tegas. Hanya pemerintah yang boleh melaksanakan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi migas. Eksploitasi minyak bumi butuh investasi besar. Dibutuhkan KKKS sebagai investor.
SKK Migas sudah berupaya mengatasi illegal drilling. Berbagai solusi dilakukan. Penanganan illegal drilling sangat penting untuk penyelamatan industri hulu migas sebagai aset negara.
Kepala Departemen Humas SKK Migas Sumbagsel, Andi Arie Pangeran menyebutkan, banyak hal yang bisa diungkap dari penanganan illegal drilling. Peran masing-masing sektor dibutuhkan dalam kerangka illegal drilling.
“Diharapkan sinergi dan kontribusi semua pihak demi kemaslahatan banyak orang. Kami berharap pemerintah segera mengeluarkan aturan-aturan untuk kegiatan illegal drilling, agar ada kejelasan,” ujar di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, awal November 2021.
Illegal drilling sangat mengganggu investasi dan produksi migas nasional. Apalagi pada tahun 2020 hingga 2021 Indonesia dilanda pandemi Covid-19 yang mengakibatkan turunnya harga minyak dunia. ***
Penulis : Rifky Rhomadoni
Baca Juga: SKK Migas Gelar Sosialisasi dan Media Kompetisi 2016
BERITA KAMI ADA DI GOOGLE NEWS | Ikuti juga Channel WhatsApp INFOJAMBI.com